halo, hola, readers. Maaf baru update lagi. Kondisi kesehatan dan adanya projek lain membuat saya sedikit menunda waktu update. Semoga teman-teman masih bersedia mengikuti cerita ini. Salam hangat dari Farhan dan Kalila :-) *** Pergi. Mendadak dada Kalila terasa sesak mendengar kata itu. Kepalanya tertunduk dan tangannya meremas tepi rok. Apa saat itu hampir tiba? Kenapa terburu-buru mengurus balik nama rumah dan mobil? Ia anak tunggal. Tidak akan terjadi konflik rebutan harta warisan dengan siapa pun. Tidak mungkin ia akan berebut dengan Farhan. Lagi pula, setahu Kalila harta Wisnu hanya rumah ini dan isinya. Pria itu lebih banyak bersedekah ketimbang menyimpan uang untuk diri dan keluarganya. Wisnu tidak pernah membeli sesuatu berlebih. Semua hanya seperlunya dan kalau benar-benar dibutuhkan. Wisnu tidak akan membeli barang baru jika yang lama masih bisa dipakai. Seandainya ia membeli barang baru, maka barang lama akan ia berikan pada orang lain. First in first out. Begitu prin
“Kamu yakin negosiasi dengan Kaivan akan berhasil?” Farhan menatap lurus-lurus Andromeda. Seharian ini Farhan harus ikut Andromeda koordinasi terakhir dan simulasi beberapa rencana yang akan mereka lakukan dan itu membuat otak dan fisik Farhan sangat letih, lebih capek dari mengajar selama berjam-jam di depan kelas. Sorot mata pria itu meredup dan digelayuti kekhawatiran juga ketakutan. Musuh mereka bukan kaleng-kaleng, bukan penjahat kelas teri. Andromeda mengangguk yakin. Diseruputnya sisa kopi di dalam gelas. “Aku punya kartu As Kaivan dan Atmaveda grup. Dia tidak akan berkutik di depanku.” “Dia tidak sebodoh yang kamu kira, Da.” “Dia memang tidak bodoh. Tapi aku juga bukan polisi ingusan.” Andromeda menatap keluar jendela ruang kerjanya yang masih dibiarkan terbuka. Diambilnya pulpen dari kemeja kemudian memutar-mutarnya. “Aku pastikan, dia bertemu lawan sepadan.” Pandangan Andromeda kembali tertuju pada Farhan. “Kamu tidak perlu khawatir, Kawan. Semua sudah aku hitung.” Ia be
Bibir Andromeda melengkung lalu mendekati meja. Ia membungkuk lalu duduk bersila hingga tubuhnya dan Kaivan berada dalam satu garis lurus. Mulutnya masih terkatup rapat sementara otaknya sibuk menakar kekuatan Kaivan dan permainan yang mungkin disiapkannya. Baru saja tubuh Andromeda berada di atas tatami, dinding di samping kirinya tiba-tiba bergeser lalu dua lelaki tegap berjas dan berkacamata hitam keluar dari balik dinding dan berdiri dua meter di belakang Andromeda. “Saya kira kita akan bicara empat mata.” Tatap tajam Andromeda menerobos rongga mata Kaivan. “Rupanya Anda tak seberani yang saya kira. Anda tak lebih dari seekor kecoa.” Andromeda tersenyum meremehkan. Kai tertawa. “Ternyata benar kata orang, Anda polisi bermulut besar.” Pria itu berdecak. “Toh, Anda juga tidak datang sendiri, bukan?” Hiasan gantung di belakang Kaivan tiba-tiba tergulung. Dinding di belakangnya menjelma layar lebar yang memperlihatkan orang-orang Andromeda di sekitar rumah Kaivan. “Saya hitung, ad
“Harus banget gitu, Pa, nerima Bang Farhan?” Tatap takut-takut Kalila menyapu wajah laki-laki berusia 50 tahun yang duduk di kursi malas ruang tengah. Bukan ingin membantah, tetapi sebelum hari ini, Kalila tidak pernah diajak bicara tentang rencana perjodohan atau pernikahan. Ia tidak habis pikir, tidak ada angin tidak ada badai, papanya mendadak memintanya agar menerrima Farhan. Jangan-jangan Papa kena pelet Bang Farhan. “Farhan baik, La. Papa kira tidak ada alasan untuk menolak lamarannya.” Wisnu berdiri lalu meletakkan buku di rak. Ia beralih ke sofa di dekat dinding, duduk di samping Kalila. Salah satu tangannya diletakkan di bahu sofa, tepat di belakang Kalila.Kalila menghela napas. Wangi mint dan melati dari cangkir tehnya tidak mampu mengusir gelisah di hati. Farhan memang manusia nyaris tanpa cela. Banyak orang mengidamkan kulkas tujuh pintu itu menjadi pendamping hidup. Namun, tidak bagi Kalila. Jarak usia yang cukup jauh, sikap dingin Farhan, menjadi alasan baginya untuk
Ide pernikahan yang dilontarkan sang papa merusak mood Kalila pagi itu. Jadwal kegiatan yang telah tersusun har ini seketika ambyar. Waktu dan kesempatan berpikir yang diberikan padanya hanya formalitas. Kalila yakin seratus persen kalau papanya diam-diam sudah menerima lamaran Farhan. Semakin berpikir tentang Farhan, hati Kalila semakin meradang. Tiba-tiba ia teringat surat dari Haiyan enam bulan lalu. Ia harus segera menemui Haiyan dan meminta pria itu cepat-cepat melamarnya. Kalila yakin, Haiyan bisa menggeser Farhan dari hati Wisnu.Mengingat Haiyan, gelisah di hati Kalila sedikit berkurang. Gadis berkulit putih dengan mata bulat itu buru-buru menghabiskan sisa teh dan beranjak mendekati meja makan. Semoga Mas Haiyan bisa membantuku, batinnya sembari membereskan bekas sarapan dengan gerakan kasar sehingga menimbulkan kegaduhan akibat piring dan gelas yang saling bertemu. Dibawanya peralatan makan itu ke dapur dan diletakkan dengan keras di atas sink. Dapur semakin riuh dengan tam
“Jadi ada berita panas apa sampai-sampai aku bakal pingsan kalau denger?” seru Kalila tak sabar ketika Miranti meneleponnya lagi. Seingat Kalila, ia belum pernah pingsan karena mendengar sebuah berita. Namun, ia pernah hilang kesadaran saat menjadi pemimpin upacara sewaktu SD. Saking gembiranya ditunjuk sebagai pemimpin upacara, Kalila susah tidur dan tidak sempat sarapan keesokan harinya. Di bawah sengatan matahari waktu dhuha, Kalila roboh ketika upacara baru setengah jalan. “Kamu, kan, jurnalis. Masa iya, nggak denger gosip panas hari ini?” Nada bicara Mira seolah ia adalah manusia paling tahu berita ter-update. “Aku nggak ngampus hari ini. Nggak ke markas juga.” “Aku juga nggak ngampus, tapi tetep, dong, update berita.” Miranti tertawa penuh kemenangan. Sesaat Kalila menghela napas, antara kesal dan penasaran. Perempuan penggemar warna maroon itu ingin mengakhiri pembicaraan, pura-pura tidak butuh, tetapi jiwa keponya meronta. Akhinya Kalila memilih bertahan, mencoba meng
Ponsel di tangan Kalila terlempar ke sembarang arah di atas ranjang berseprai motif geometris. Ia merebahkan badan, menatap langi-langit kamar dengan kepala penuh pertanyaan dan kemungkinan jawaban. Segala ingatan tentang Haiyan adalah menyenangkan. Pria itu senior di Teater Semut Merah, tetapi bisa memperlakukan juniornya dengan baik. Dia tahu kapan harus bersikap tegas dan keras serta kapan menjadi teman sekaligus kawan nongkrong yang menyenangkan. Haiyan memiliki senyum yang mengingatkan Kalila pada bunga matahari di halaman depan, cerah dan memberi kesan hangat. Ia juga punya tatapan teduh. Siapa pun yang melihatnya akan merasa diperhatikan dan diperlakukan spesial. Sering, orang salah paham. Mereka menyangka menjadi bagian istimewa dalam semesta hidup Haiyan padahal hanya teman biasa. Untuk alasan itulah, Kalila selalu berusaha menindas debar di dada setiap kali bertemu Haiyan dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar lawan main dalam pentas teater atau pembacaan puisi. Lalu
“Aku tidak mungkin menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa,” keluh Kalila. Seketika paras gadis itu semuram langit sore yang mengelam karena matahari nyaris bersembunyi di batas cakrawala. Tangannya masih sibuk mengaduk gelas padahal sejak tadi isinya telah tercampur sempurna. Sementara itu, kedua matanya menatap bingung Haiyan. Kolaborasi Chanyeol dan Winter menyanyikan Yours yang memenuhi restauran tidak mampu mengusir gelisah di hati Kalila. Permintaan pria itu seperti ajakan kawin lari bagi Kalila. Dua puluh dua tahun lebih menginjakkan kaki di bumi, Kalila tidak pernah menyembunyikan apa pun dari papanya. Bahkan hanya bersitegang dengan Miranti atau tertinggal bus Trans Jogja bisa jadi bahan obrolan di meja makan atau saat duduk-duduk berdua. Kalila hampir tidak pernah melewatkan kesehariannya dari penglihatan dan telinga sang papa. Lalu, bagaimana mungkin ia bisa bermain petak umpet untuk urusan sebesar ini? “Kamu pasti tahu gimana papamu.” Haiyan memecah sunyi. “Prof. Wisn