"Aku harus menyampaikan ini padamu," ucap Naomi Waltz dengan pelan, dan hampir tidak terdengar. "Aku tidak bisa mengajak dia ke sini. Dia membatalkan niatnya untuk bertemu denganmu," kata Naomi pada Arion James, atasannya.
Malam ini seharusnya dia membawa wanita bayaran itu menghadap bosnya. Tapi wanita itu seperti seorang pengecut. Kabur sebelum bertemu dengan Arion. Kini Naomi yang harus menerima konsekuensinya karena dia gagal melaksanakan misinya. Dia terpaksa datang ke penthouse Arion untuk menyampaikan kabar itu."Kenapa kau membiarkan dia pergi?"Arion berucap pelan sambil menatap tajam pada Naomi. Dia melangkah menghampiri gadis itu, lalu mengunci Naomi di tempatnya. Sejak dulu dia tidak pernah suka dengan kegagalan. Tapi malam ini asisten pribadinya itu justru mengecewakannya."Aku .... Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena dia langsung pergi tanpa memberiku kesempatan untuk berbicara," jawab Naomi dengan suara bergetar.Naomi mundur beberapa langkah. Dia tidak berani menatap Arion. Malam ini bosnya itu tampak sangat menakutkan. Meskipun dia mengenal Arion dengan temperamennya yang buruk, selama ini dia belum pernah menerima amukan dari Arion. Hampir dua tahun menjadi asisten pribadi laki-laki itu, Naomi berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik."Seharusnya kau memberi tahu dia bahwa aku akan memberi dia uang yang banyak bila bersedia menjadi istri pura-puraku."Arion sengaja menekan suaranya karena saat ini hatinya terasa mendidih. Naomi telah menggagalkan rencananya. Dan dia tidak terlalu suka mendapatkan kenyataan itu.Kepalanya tiba-tiba terasa berdenyut-denyut. Kalau bukan karena ibunya yang mendesak dia agar dia segera menikah, dia tidak mungkin berbuat sejauh ini. Apa salahnya di usianya yang ke tiga puluh lima dia belum menikah. Tapi ibunya tidak mau tahu.Naomi menarik napas dalam-dalam. Sepertinya sulit baginya untuk meyakinkan Arion agar bisa mengerti bahwa dia memang tidak memiliki kuasa untuk menahan wanita itu pergi. Wanita bayaran itu pasti sudah mengetahui sifat buruk Arion, makanya dia memilih pergi sebelum pertarungan mulai berlangsung. Bahkan wanita itu tidak tertarik dengan iming-iming imbalan yang akan Arion berikan bila misi mereka berhasil."Aku benar-benar minta maaf," pinta Naomi dengan sorot mata sendu. "Kau boleh memecatku atau melakukan apa pun. Aku tidak akan menentangmu," ucap Naomi pasrah. Mungkin setelah ini dia harus mencari pekerjaan lain.Arion mengulas senyum misterius. Dia melangkah maju mendekati Naomi. Matanya sama sekali tidak berkedip saat menatap Naomi."Kau mau pergi ke mana?" tanya Arion saat melihat Naomi berjalan mundur menjauhinya."Aku ingin pulang. Sudah tidak ada lagi yang perlu aku bicarakan."Arion melangkah maju. Dengan sengaja dia menghalangi Naomi pergi. Dari jarak sedekat ini dia bisa mencium aroma tubuh Naomi yang sangat harum. Seketika gairahnya tersulut dengan panas.Entah kenapa malam ini Naomi tampak berbeda dari Naomi yang biasanya dia temui. Wajah Naomi tidak terpoles makeup, tapi memancarkan kecantikan alami. Dan rambutnya. Baru kali ini dia melihat Naomi menggerai rambutnya yang ternyata sangat ikal dan panjang. Arion tergoda ingin membelai rambut itu, meraupnya dan merasakan kelembutannya."Biarkan aku pergi." Naomi mendorong tubuh Arion agar tidak menghalangi jalannya."Siapa bilang kau boleh pergi." Arion mendekatkan kepalanya di samping telinga Naomi. Setelah itu dia memegang tangan Naomi erat."Lepaskan tanganku." Naomi meronta-ronta, mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Arion."Kau bilang aku boleh melakukan apa saja." Arion berbisik pelan, lalu dia meniup denyut nadi di leher Naomi yang berkedut dengan kentara.Naomi bergidik ngeri. Lalu dia berusaha melepaskan diri dari Arion, dan mendorong Arion mundur. Sayangnya usahanya tidak membuahkan hasil.Arion bergeming. Dia tidak akan membiarkan Naomi pergi begitu saja. Dengan tatapan menggoda, Arion mendekatkan kepalanya di samping kepala Naomi kembali. Dia pun berbisik pelan di telinga Naomi."Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau sembunyikan dariku."Selama ini Arion bukannya tidak tahu kalau Naomi menaruh hati padanya. Hanya saja dia tidak terlalu menggubrisnya. Naomi masih muda. Terdapat jarak yang membentang jauh di antara mereka berdua. Usia mereka terpaut dua belas tahun. Selain itu dia masih memiliki trauma karena tunangannya mengkhianatinya dan berselingkuh dengan adiknya.Sementara itu Naomi berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman tangan Arion, dan berhasil. Lalu, dia menampar pipi Arion keras. Napasnya tersengal-sengal karena berusaha menahan amarah yang menggelegak di dalam dadanya."Aku tidak seperti yang kau kira," ucap Naomi membela diri.Naomi menggerakkan tubuhnya agar bisa terlepas dari Arion. Tapi, tindakannya ini justru membuat Arion semakin menekan tubuhnya. Arion kembali memegang kedua tangan Naomi kuat."Sudah terlambat. Kau tidak bisa menarik kembali kata-katamu tadi." Kata-kata Arion terdengar sangat dingin. Tatapan matanya tajam dan mematikan.Naomi seolah ditampar dengan keras. Dia sangat menyesali ucapannya beberapa saat yang lalu. Seharusnya dia tidak mengatakan apa-apa. Perkataannya ternyata disalahartikan oleh Arion."Kau salah ...." Naomi menggelengkan kepalanya cepat.Kemudian sesuatu yang tidak pernah Naomi duga sebelumnya kini terjadi dirinya. Joe merobek bagian depan gaun yang dia pakai. Tangan Naomi yang bebas secara otomatis terangkat, lalu menutupi bagian dadanya yang terbuka."Bukankah ini yang kau inginkan?"Wajah Naomi langsung memerah begitu mendengar kata-kata penuh hinaan yang Arion lontarkan padanya. Naomi merasa terhina . Dengan sekuat tenaga dia mendorong Arion, tapi tetap gagal. Tenaganya sangat lemah."Malam ini kau akan mendapatkan apa yang kau impikan selama ini." Arion berkata dengan dingin.Malam ini dia hanya ingin melepaskan rasa stresnya karena rongrongan ibunya yang tidak kunjung berhenti. Untuk sekali ini saja dia ingin bersenang-senang dengan Naomi. Setelah ini hubungan mereka akan kembali seperti semula, sebagai atasan dan bawahan.Naomi menggeleng cepat. Kelopak matanya terasa panas. Tubuh dan hatinya terasa sakit semua, tapi dia tidak mampu melakukan apa-apa.Arion memegang wajah Naomi. Bibirnya mulai menyentuh pipi Naomi, lalu turun dan berhenti tepat di bibir Naomi. Dengan rakus Naomi memagut bibir Naomi, membiarkan Naomi kesulitan bernapas. Kedua tangannya merobek sisa gaun yang masih menempel di tubuh Naomi."Begini lebih bagus," ucap Arion melirik sebentar tubuh Naomi yang polos. Dia kembali mencium Naomi, dan menuntut gadis itu agar membalas ciumannya.Naomi mengatupkan bibirnya rapat. Dia tidak akan pernah sudi memuaskan kesenangan Arion. Dia masih memiliki harga diri meskipun Arion telah berhasil mempermalukan dirinya habis-habisan.Arion merasa semakin tertantang. Dia menarik Naomi, lalu menjatuhkannya di atas kasur. Dia menindih Naomi. Tangannya bergerak dengan leluasa menyentuh bagian-bagian tubuh Naomi yang sensitif.Arion mencium Naomi lagi dengan panas, tidak membiarkan gadis itu berbicara lagi. Lalu, dia memaksa Naomi untuk menerima dirinya sepenuhnya. Meskipun pada awalnya Naomi meronta-ronta , akhirnya dia tidak bisa berbuat apa-apa. Naomi pasrah dengan berurai air mata."Kau masih perawan." Mata Arion membelalak lebar setelah mendapati kenyataan yang langsung memukul tepat pada dadanya. Dia menjadi yang pertama bagi Naomi.Arion menatap wajah Naomi lekat-lekat, lalu menggeser tubuhnya menjauh dari gadis itu. Dalam diam Arion merenungi kenyataan yang baru saja dia dapatkan. Siapa yang menyangka dibalik penampilannya yang sering bergaul dengan kaum laki-laki, Naomi belum pernah berhubungan dengan salah satu di antara mereka."Sekarang tidak lagi," ucap Naomi pahit dengan bibir bergetar.Kemudian Naomi meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Dengan kasar dia mengusap air matanya yang tidak mau berhenti. Ini adalah pengalaman pertama baginya, jadi dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan setelah melakukan hubungan seks dengan Arion.Raut wajah Arion berubah kaku dan sedikit keruh. Dia menyesal telah bertindak di luar kendali. Biasanya dia tidak seperti ini, selalu berpikir secara matang sebelum bertindak. Kali ini dia lepas kendali, dan dia menyalahkan beberapa gelas wine yang dia tenggak sebelum Naomi datang menemuinya."Malam sudah larut. Tidurlah. Besok aku akan mengantarmu pulang." Setelah mengatakan itu Arion beranjak dari ranjang, lalu meninggalkan Naomi yang berbaring miring membelakanginya.***Keesokan harinya. Arion menyeduh kopi di dapurnya. Semalaman dia tidak bisa tidur. Saat ini dia membutuhkan kafein untuk mengusir rasa kantuk yang mulai mendera, yang membuatnya ingin tidur. Tapi dia tidak bisa melakukannya. Hari ini dia memiliki janji temu dengan salah seorang pemilik perusahaan penyulingan anggur.Kepalanya terangkat saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Naomi keluar dari kamarnya dengan langkah gontai. Wanita itu tidak berani menatapnya dan wajahnya terlihat sangat pucat. Kelihatannya semalam Naomi sama seperti dirinya, tidak bisa tidur karena memikirkan kejadian sebelumnya.Suasana di antara mereka mendadak terasa canggung. Mereka tidak ubahnya seperti orang asing yang baru saja bertemu. Diam-diam Arion memperhatikan Naomi yang mencoba menghindari dirinya.Sial. Arion mengumpat dalam hati. Seharusnya dia tidak boleh bertindak gegabah, merusak hubungan kerja di antara mereka berdua."Kau mau secangkir kopi," ucap Arion menawari Naomi.Naomi menggeleng perlahan. "Tidak, terima kasih. Aku ingin pulang sekarang. Satu jam lagi aku harus sudah sampai di kantor."Arion tersenyum masam mendengar ucapan Naomi. "Hari ini aku memberimu ijin untuk tidak masuk kerja."Percakapan mereka terpaksa berhenti saat terdengar bunyi bel rumah Arion. Meskipun sedikit heran karena ada tamu yang datang di pagi hari, Arion bergegas menghampiri pintu penthousenya. Dia tidak ingin membuat tamunya itu menunggu terlalu lama.Tubuh Arion langsung mematung begitu melihat siapa yang berdiri di luar pintunya. Ibunya tengah menatapnya dengan sorot mata kemerahan. Terlihat jelas ibunya menyimpan kemarahan padanya."Kenapa kau tidak datang pada pertemuan semalam?" cerca ibunya tanpa basa-basi terlebih dahulu.Arion sudah menduga ibunya sangat marah padanya karena telah menggagalkan rencana untuk menjodohkan Arion dengan anak perempuan kenalannya. Mau bagaimana lagi, dia tidak memiliki pemikiran kuno seperti ibunya. Mustahil baginya untuk bisa menerima perjodohan yang digagas oleh ibunya itu."Aku tidak ingin melakukannya." Arion berkata dengan tegas.Wanita berusia enam puluh tahun itu mendorong Arion agar tidak menghalangi jalannya. Dia bergegas masuk ke dalam rumah, lalu berhenti tiba-tiba. Matanya membulat lebar saat melihat seorang wanita muda asing yang berada di rumah anaknya sepagi ini."Arion .... Bisa kau jelaskan siapa dia."Arion memutar tubuhnya. Dia menatap Naomi sebentar. Dengan langkah pasti dia berjalan menghampiri Naomi, lalu menghadap ke arah ibunya."Ini Naomi Waltz. Dia calon istriku.""Kau pasti tidak serius." Ellena James menggelengkan kepalanya sambil menatap tidak percaya pada Arion. Dia lalu ganti menatap gadis yang berdiri di depannya dengan tatapan tajam, menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki. Arion memiliki selera yang tinggi. Anaknya itu tidak mungkin ingin menikah dengan wanita yang terlihat biasa saja dan tidak menarik sama sekali."Tentu saja aku benar-benar ingin menikahi Naomi." Arion berjalan menghampiri Naomi, lalu merangkul pundaknya. "Tersenyum lah sedikit," bisik Arion di telinga Naomi.Mengikuti perintah atasannya, Naomi mengulas senyum semanis mungkin pada ibu Arion. Meskipun saat ini dadanya tengah bergemuruh karena pengumuman mendadak yang disampaikan oleh Arion, dia memutuskan untuk mengikuti sandiwara ini sementara waktu. Nanti, saat mereka tinggal berdua, dia akan meminta penjelasan pada Arion."Kenapa kau tidak bilang sebelumnya? Kalau begitu aku tidak akan repot-repot mengatur pertemuan dengan teman ibu," protes Ellena.Arion mengg
"Dua puluh juta dollar," guman Naomi pelan.Kemudian Naomi berjalan mundur. Mendadak tubuhnya menggigil kedinginan. Kedua tangannya secara otomatis bersedekap di depan dadanya."Bukan jumlah yang kecil," sahut Arion. "Aku tidak mungkin menerimanya." Naomi menggelengkan kepalanya cepat. "Itu sepadan dengan kontrak yang kau tanda tangani." Arion menatap wajah Naomi lurus. Semburat warna pucat tercetak jelas di wajah Naomi. "Duduk lah. Kau akan jatuh pingsan bila berdiri terus."Naomi menuruti perintah Arion. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa tidak jauh dari Arion. Kedua tangannya saling bertautan dan berada di pangkuan."Kau bisa mencari wanita lain yang mau menikah denganmu," ucap Naomi setelah berhasil menguasai dirinya."Aku hanya menginginkanmu. Tidak ada yang lain," tegas Arion dengan suara berat. Sorot matanya yang tajam langsung mengarah pada Naomi dan tepat mengenai jantung wanita itu.Bukannya merasa tersanjung karena Arion memilihnya sebagai istri, Naomi justru merasa be
"Apa kau sudah siap?"Naomi mengangguk. "Ya, aku siap."Tepat di hari yang telah ditentukan. Arion menjemput Naomi untuk pergi ke kantor catatan sipil bersama-sama. Selama beberapa saat Arion sempat terhipnotis oleh penampilan Naomi yang tidak biasa.Calon istrinya itu terlihat cantik dalam balutan gaun pengantin yang sederhana. Dia pun mencuri pandang untuk berlama-lama menatap Naomi. Setelah itu dia pun tersadar, langsung membuang pikirannya tentang Naomi, dan fokus pada tujuan mereka hari ini."Kedua mempelai silakan berciuman," ucap hakim yang menikahkan mereka setelah mereka dinyatakan sah sebagai sepasang suami istri.Awalnya Arion terlihat ragu-ragu. Tapi setelah itu dia menghampiri Naomi, lalu mendekatkan wajahnya di depan wajah Naomi. Pelan-pelan dia mulai mencium bibir istrinya. Hanya sebentar. Arion menarik kepalanya menjauh.Diam-diam Naomi menyentuh bibirnya. Ciuman singkat dari Arion masih terasa sangat jelas di bibirnya. Jantungnya pun berpacu dengan kencang sampai seka
"Anda pasti salah, Dokter."Naomi menegakkan punggungnya, lalu menatap dokter itu dengan sorot mata yang sayu. Dokter itu pasti telah salah melakukan pemeriksaan padanya. Dia tidak mungkin hamil."Aku tidak mungkin salah," tukas laki-laki itu. "Kita bisa melakukan pemeriksaan ulang untuk meyakinkanmu bahwa saat ini ada makhluk kecil yang tengah bersemayam di dalam perutmu."Kata-kata dokter sudah cukup kuat untuk meyakinkan Naomi bahwa dia memang tengah mengandung. Saat ini ada bayi Arion yang hidup bergantung padanya. Secara otomatis tangan Naomi mengelus perutnya dengan lembut. Tanpa Naomi sadari air matanya jatuh menitik tepat mengenai tangannya. Ada rasa haru, bahagia, dan sedih bercampur jadi satu. Dia tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Lalu, samar-samar tersungging senyum tipis di bibirnya."Aku akan memberimu multivitamin dan obat penambah darah," ucap dokter itu berhasil menarik Naomi dari lamunannya. "Aku harap kau bisa menjaga kesehatanmu dengan baik. Juga, makan-maka
"Jenna Laura James." Naomi mengulang menyebut nama itu sambil mengernyitkan dahinya."Kenapa? Apa ada yang salah dengan namaku?" tanya Jenna heran.Naomi menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak ada. Aku seperti mengenali nama itu, tapi tidak tahu siapa pemiliknya.""Mungkin namaku yang pasaran," gumam Jenna kemudian. "Ngomong-ngomong kau sudah lama tinggal di sini?"Naomi menggeleng. "Belum lama. Sekitar satu bulan. Kenapa?""Tidak apa-apa. Aku hanya ingin tahu kondisi gedung ini, apakah aman atau tidak. Aku baru pertama kali ini tinggal sendirian di tempat asing," ucap Jenna dengan tatapan menerawang.Seolah mengerti perasaan Jenna, Naomi mengulas senyum menenangkan. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun harga sewa di sini relatif murah, kondisi di sekitar sangat aman," balas Naomi, lalu dia melanjutkan,"Aku tidak ingin mengganggumu lebih lama lagi. Sampai jumpa." Naomi mengangguk sebentar, lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju flatnya sendiri. Naomi menutup pintu di
"Kau hamil?"Mulut Jenna menganga lebar. Kedua matanya mengedip beberapa kali. Lalu dia mengulas senyum kikuk."Ya, aku hamil," jawab Naomi pendek. Raut wajah Jenna berubah seketika. Dia merasa bersalah karena membuat Naomi terganggu oleh kedatangannya. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ...."Naomi merentangkan tangannya dan menggoyangkan pergelangan tangannya beberapa kali. "Jangan bilang begitu. Kau tidak mengetahui keadaanku yang sebenarnya."Jenna menarik napas lega. "Berapa bulan usia kandunganmu?" tanya dia penasaran, lalu dia menutup mulutnya karena telah bersikap melampaui batas."Sekitar dua bulan." Naomi berkata pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di telinga Jenna. Lalu dia duduk di sofa. Kakinya terasa lemah dan tidak sanggup menopang tubuhnya.Jenna mengedarkan pandangannya. Dia mencoba mencari-cari. Tapi dia tidak menemukan apa-apa. Di seluruh ruangan flat Naomi, kecuali kamar, Jenna tidak menemukan bingkai foto potret seorang laki-l
"Jenna ...."Jenna menoleh perlahan. Ibunya kini berada satu langkah di belakangnya. Dari sorot matanya yang tajam, Jenna menetahui ibunya benar-benar marah kali ini."Ikut aku sekarang."Tangan Jenna ditarik dengan kasar. Dia tidak sempat mengelak. Tubuhnya hampir jatuh ke lantai bila tangannya yang satu tidak memegang pinggiran meja."Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Jenna pelan tapi tegas. Dia lalu menatap ibunya lekak-lekat. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya."Apa kau akan terus menentangku, lalu tetap memilih bersamanya?"Jenna bangkit berdiri. Dia menatap ibunya lekak-lekat. Lalu dia mendekatkan wajahnya dengan gaya menantang."Bukankah aku sudah bilang sebelumnya? Aku akan tetap memilih bersama Carl, apa pun keadaannya."Tanpa menunggu lama Jenna menarik tangan Carl, lalu mengajak kekasihnya pergi dari sana. Lalu dia menggenggam tangan Carl erat, seolah enggan melepaskannya pergi. Mereka terus berjalan dan tidak melihat ke belakang.Mereka kini tengah bera
"Aku ingin kau mengawasi Jenna sementara waktu."Arion melihat ibunya mendorong adik bungsunya ke arahnya. Sudah berbulan-bulan dia tidak bertemu Jenna setelah adiknya itu kabur dari rumah karena ibunya tidak menyetujui Jenna menjalin kasih dengan salah satu anggota band tidak terkenal. Sekarang Jenna terlihat sangat tertekan oleh perlakuan ibunya yang tidak manusiawi."Dia bukan anak kecil lagi. Untuk apa aku mengawasinya." Arion berkata acuh dan dingin. "Arion ...." Ellena berteriak. Suaranya melengking tinggi, dan membuat setiap telinga yang mendengar suaranya berdengung nyeri."Apa kau akan selalu ikut campur dalam hidup anak-anakmu?" Arion membalas dengan sengit. Pekerjaannya masih banyak. Dia juga memiliki masalah sendiri. Tapi ibunya seolah tidak mau mengerti keadaannya."Aku tidak akan ikut campur lagi dalam hidup kalian kalau kalian bisa memilih pasangan yang tepat," sergah Ellena sambil menekan keningnya yang nyeri.Arion memandang Jenna. Sejak tadi adiknya itu hanya diam d