Share

Bab 6 : Memulangkan Suami

Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu.

"Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.

Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi."

"Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"

Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu."

"Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"

Haris terdiam memandang Julia.

"Aku khawatir," ujar Julia.

"Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."

Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir.

"Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."

Haris kemudian meninggalkan Julia yang memandangnya dengan tatapan prihatin. Ada sedikit penyesalan di sana yang entah ditujukan untuk apa. Dari departemennya, Haris bergegas menuju ruangan direktur di mana Brata Dananjaya—sang ayah tengah menunggunya.

Haris mengetuk pintu sebelum masuk. Tanpa rasa malu ia berjalan menghampiri Brata yang berdiri membelakangi pintu. Haris kemudian menghentikan langkahnya di dekat meja tamu.

"Aku udah ada di sini, Pa," ujar Haris.

Brata kemudian berbalik dan menghampiri putranya. Satu pukulan lantas mendarat pada wajah Haris hingga membuat wajah Haris berpaling.

"Masih berani kamu datang kemari setelah apa yang kamu perbuat!" sentak Brata, terlihat sangat marah karena putra kebanggaannya telah mempermalukan dirinya.

"Berselingkuh saja sudah menjadi aib, dan sekarang kamu justru berselingkuh dengan wanita yang sudah berkeluarga. Di mana otak kamu, Haris! Apa yang kurang dari istri kamu sehingga kamu memilih jalan sesat ini dan mempermalukan keluarga besar kamu?!"

Mengambil napas dalam, Haris kemudian memandang sang ayah. "Nggak ada hal yang ingin aku jelaskan ke Papa."

"Kamu!" Brata kembali menampar wajah Haris bersamaan dengan pintu yang terbuka dan Karina mematung di sana.

Brata menghela napas frustasi dan berpaling. Ia kemudian menegur Karina. "Kamu sudah datang? Papa mau bicara dengan kalian."

Karina menutup pintu dan berjalan mendekat. Tanpa membuat kontak mata dengan Haris, Karina duduk di sofa panjang tepat di samping Haris berdiri.

Brata kemudian duduk di single sofa, berusaha untuk mengendalikan kemarahannya dan menegur Haris dengan pembawaan yang lebih tenang.

"Duduk kamu."

Haris kemudian mengambil tempat duduk di samping Karina. Tampak Karina yang tak lagi menunjukkan perasaannya terhadap pria yang sudah mencampakkan dengan cara yang memalukan.

Brata kembali menghela napas sebelum membuka pembicaraan. "Papa tidak mau basa-basi. Karina, apa kamu sudah tahu apa yang dilakukan suami kamu?"

Karina menatap ragu, hal apakah yang tengah dibicarakan oleh ayah mertuanya. Ia bahkan tidak tahu jika skandal besar telah terjadi di tempat itu. Hanya saja saat ia datang, pandangan orang-orang seperti tengah mengasihaninya.

"Maksud Papa apa?"

"Dia udah tahu semuanya, Pa," sahut Haris.

Karina memandang Haris dengan tatapan terkejut. "Tentang perselingkuhan itu?" batinnya tak percaya.

"Jadi kamu sudah tahu jika suami kamu ini berselingkuh dengan wanita yang sudah berkeluarga?" tanya Brata yang kembali menyita perhatian Karina.

"Pa—"

"Semua orang di rumah sakit ini sudah tahu bahwa suami kamu menjalin hubungan dengan wanita hamil yang sudah berkeluarga. Kamu tidak perlu menutupi apapun lagi. Semua sudah tahu betapa gilanya suami kamu ini. Benar-benar memalukan."

Karina bingung dengan keadaan ini. Kenapa hubungan yang bertahun-tahun dirahasiakan oleh suaminya tiba-tiba menjadi konsumsi publik tepat setelah ia mengetahui perselingkuhan mereka. Jika seperti ini, dia lah orang yang akan didakwa telah menyebarkan berita perselingkuhan mereka.

"Kamu sudah meminta maaf pada istri kamu, Haris?"

Haris bungkam dan sebagai gantinya Karina yang berbicara.

"Mas Haris udah meminta maaf, Pa. Entah itu tulus atau enggak. Tapi aku rasa semua udah percuma sekarang."

"Apa maksud kamu, Karin?"

"Aku akan menggugat cerai Mas Haris."

Batin Brata tersentak, tentu saja berita itu jauh lebih mengejutkan dibandingkan dengan kabar perselingkuhan putranya.

"Karin, apa maksud kamu? Kamu jangan bercanda. Kamu mau bercerai?"

Karina mengangguk yakin dan sekilas memandang Haris. "Mas Haris juga nggak keberatan dengan hal itu, Pa. Aku menghargai keputusan Mas Haris yang tetap ingin melanjutkan hubungannya dengan Lisa. Aku nggak mau menjadi penghalang untuk hubungan mereka lagi."

"Kamu cuma perlu pergi tanpa omong kosong ini," gumam Haris yang kemudian bertemu dengan tatapan marah Karina.

"Omong kosong macam apa ini!" Brata murka dan langsung berdiri menunjukkan kemarahannya.

"Siapa yang mengizinkan kalian bercerai?!"

"Rumah tangga ini kami berdua yang menjalani, Pa. Dan ini udah menjadi keputusan bersama. Mas Haris mengizinkan aku untuk mengajukan gugatan."

"Kamu tahu apa resikonya jika kamu bercerai dengan Haris? Kamu tidak akan mendapatkan apapun. Jangan lupa dengan hal itu, Karin."

"Aku nggak butuh uang sepeserpun dari Mas Haris. Papa nggak perlu khawatir, aku akan angkat kaki dengan tangan kosong."

"Karin, kamu jangan bodoh. Perempuan yang sudah membuat suami kamu tergila-gila itu sudah berkeluarga. Dia juga akan dikeluarkan dari rumah sakit ini. Kamu tidak perlu khawatir, hubungan mereka sudah berakhir. Jangan mengorbankan rumah tangga kamu!"

"Ini bukan tentang siapa yang akan pergi dan tetap tinggal, Pa. Ini tentang kepercayaan yang udah nggak bisa lagi aku berikan ke anak Papa. Bahkan saat aku bilang kayak gini, anak Papa nggak mengatakan apapun. Itu artinya dia memang nggak mau berusaha untuk memperjuangkan rumah tangga ini."

"Haris! Kamu dengar ucapan istri kamu!"

Karina beranjak berdiri. Hatinya akan semakin sakit jika ia berlama-lama di sana dan berdebat dengan ayah mertuanya di saat Haris tak melakukan apapun.

"Aku pikir semuanya udah jelas, Pa. Baik aku mau pun Mas Haris menolak untuk memperjuangkan rumah tangga ini. Terima kasih karena udah menerima aku sebagai menantu di keluarga Papa selama ini. Sekarang waktunya aku pamit. Dan juga... aku minta maaf. Meski ini nggak sopan ... aku memulangkan anak Papa sekarang. Tolong terima Mas Haris kembali dalam keadaan seperti sedia kala."

Haris mengarahkan pandangannya pada Karina. Bukan ia yang memulangkan istrinya, tapi justru dia lah yang dipulangkan oleh istrinya. Dalam keadaan ini, bisakah ia tetap disebut sebagai laki-laki. Seorang istri yang memulangkan suaminya, itu terdengar seperti pihak perempuan yang ingin menginjak-injak harga diri laki-laki.

Setelah mengatakan kalimat yang sebenarnya sangat kurang ajar itu, Karina melenggang pergi dengan hati yang sudah tertutup. Tak peduli meski setelah ini ia akan menangis lagi. Tapi setidaknya ia merasa sedikit lega karena perselingkuhan suaminya terbongkar tanpa campur tangan darinya.

Brata kembali terduduk dengan wajah yang terlihat sangat terkejut. Ia tersenyum tak percaya. "Menantu perempuanku memulangkan anak laki-lakiku. Puas kamu menghina papa kamu seperti ini, Haris!"

Haris tak menjawab, ia pun beranjak berdiri.

"Papa menolak perceraian kalian!" tandas Brata.

Haris menyahut dengan tenang. "Haikal udah baik-baik aja sekarang, udah waktunya Papa biarin Karina pergi."

"Jaga bicara kamu! Papa tidak mau tahu. Tidak akan ada perceraian! Tinggalkan perempuan itu dan kalau perlu, kamu berlutut di hadapan Karina!"

"Tanah kuburan papa Karina udah kering, Papa bisa berhenti sekarang."

"Apa kamu bilang?"

Haris mengabaikan Brata dan melenggang pergi.

"Haris! Jangan kurang ajar kamu! Ingat apa yang katakan. Tidak ada perceraian!"

Brak!!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mifta Nur Auliya
cerita nya bagus,tapi sayang gak di lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status