Share

Ternyata Selama Ini Aku

Aruna hanya menerka – nerka, sosok yang berdiri di depannya tidak lain adalah suaminya. Namun, seingatnya Dafa berangkat kerja dengan kaos oblong hitam dan jaket ojek online saja, tidak tampil serapi itu.

“Ah, pasti cuma mirip.”

Aruna membuyarkan konsentrasi pada sosok yang ia kira menyerupai suaminya. Ia lebih memilih gegas memasuki klinik untuk segera memeriksakan putrinya.

“Antrian dua puluh ya bu lagi, mohon ditunggu ya bu,” tukas seorang resepsionis yang disusul anggukan kepala Aruna.

Sambil menggendong franda, Aruna menyisir kursi tunggu yang ternyata semua sudah penuh diduduki oleh pasien. Terpaksa wanita itu menduduki kursi tunggu yang tersisa dan tepatnya di teras.

“Kita duduk di sini ya sayang,” ujar Aruna kepada franda sambil sesekali mengecup kening sang putrid kesayangan.

Sebuah pemandangan yang membuat penasaran kembali tersaji. Usai mendengar suara wanita menyebut nama ‘Dafa’ dengan lantang.

“Dafa! Maaf sayang, aku telat ya.” Samar – samar Aruna mendengar percakapan dua anak manusia yang bercengkrama di luar.

Karena saking penasaran, Aruna pun mengintip ke sisi luar klinik. Terlihat ada seorang wanita cantik yang menghampiri pria tadi. Dan benar saja. Rasanya seperti tertampar.

Kala pria berkemeja kotak – kotak itu menoleh ke sisi sang wanita. Ternyata, pria itu adalah orang yang sama. Tidak lain dan tidak bukan, adalah Dafa suaminya.

Setengah tidak percaya, Dafa bergelayut mesra dengan seorang wanita bertubuh ramping berkulit putih dan rambutnya yang panjang.

“Mas?”

“Kenapa kamu di sini?” Aruna kaget bukan main. Tubuhnya seketika bergetar hebat usai menyaksikan pemandangan yang tersaji. Wanita asing memeluk suaminya dengan mesra. Apakah itu sebuah pemandangan yang wajar?

Sangat tidak wajar.

Jika saja ia customer suaminya, harusnya mereka tidak sedekat itu. Apalagi pakai kontak fisik di tempat umum dengan mesranya.

Degup di dada Aruna kian berdetak tak karuan menyaksikan hal itu, sebuah pemandangan yang tidak wajar yang kontan membuat tubuhnya panas dingin. Karena tidak sabar, gegas Aruna menghampiri Dafa yang berdiri tidak jauh dari tempatnya mengintip.

“Mas? Kamu kok di sini? Siapa dia?”

“Katanya kerja? Kok kamu malah ganti baju?” Sambil menggendong franda, Aruna langsung menyekak Dafa dengan banyak pertanyaan.

“Ayah! Gendong! Franda mau digendong ayah,” sahut franda dengan suaranya yang bergelayut manja sambil merentangkan tangannya ke arah Dafa.

“Aruna? Kenapa kamu di sini?”

“Harusnya aku yang tanya! Ini siapa? Dan ini mobil siapa?” Berondongan pertanyaan menyembur dari mulut Aruna dengan amarahnya yang kian meninggi. Sepenuhnya Aruna tidak menyangka, ternyata suaminya selama ini membohonginya.

Apalagi kalau tidak bohong. Berangkat dari rumah dengan pakaian seadanya, dan di luar Dafa berganti pakaian  berdandan rapi dan pergi dengan wanita lain.

“Lho? Dia siapa sayang?”

“Eng..enggak sayang.” Meski wajah Dafa sangat jelas menggambarkan raut kepanikan, pria itu tetap kekeuh dengan kebohongannya dan tidak mau berkata jujur kepada wanita yang hendak memasuki mobil.

“Dafa!” Aruna masih memekik dengan tenggorokannya yang terasa tercekik.

“Ayo sayang, silahkan masuk. Nanti kita telat,”ujar Dafa membukakan pintu mobil kepada sang wanita.

Melihat itu, membuat hati Aruna kian teriris. Seolah, seperti mimpi di siang bolong. Laki – laki yang selama ini sangat ia percaya tidak neko – neko, justru dengan kasat mata berlaku manis kepada wanita selain dirinya.

“Iya, tapi dia siapa?” Wanita asing itu, masih dirundung penasaran dengan kehadiran Aruna. Dilihatnya penampilan Aruna yang berantakan dari atas hingga ke bawah dengan tatapan kurang mengenakkan.

“Ehm, nanti aku critain sayang. Ayo kita pergi.”

Tidak ingin memperpanjang perdebatan, Dafa putuskan memasuki mobil dan fokus dengan kemudinya. Sejenak melirik Aruna yang masih berdiri pasrah di luar mobil, pria itu menyalakan mesin mobilnya. Gegas berlalu meninggalkan Aruna tanpa penjelasan panjang lebar.

“Aku nggak nyangka, ternyata kamu..”

***

Jantung Aruna berdesir nyeri menyaksikan pemandangan tragis di bawah rintik hujan yag jatuh. Seakan tidak percaya, dengan adegan yang terpampang di hadapannya.

Perasaan, belum ada satu jam laki - laki yang selalu membuat malamnya hangat itu bercengkrama mesra dengannya. Perasaan, belum satu jam Dafa menyentuhnya dengan kelembutan dengan sikap manisnya saat berpamitan mengais nafkah untuk keluarga kecilnya.

Namun, kenapa semua seperti ini?

Terpampang jelas Dafa menyentuh pinggul wanita itu tanpa sungkan, seolah tidak ada rasa canggung di antara keduanya. Seperti sangat akrab. Jika mengingatnya, kontan membuat seluruh tubuh Aruna terasa panas, seolah darah di tubuhnya mendidih.

Cairan bening itu berlinang membasahi pipi Arunan tak terkontrol. Gegas Aruna menyeka pipi beceknya, karena ia sadar franda pasti tengah menyaksikannya.

"Mami kok nangis?"

"Enggak sayang, mata mami sakit kena debu," dusta Aruna kepada sang putri.

Franda kembali menengok ke sisi Dafa di seberang, sambil merentangkan tangannya ke arah Dafa.

"Ayah, gendong franda," rengek gadis kecil itu.

"Enggak sayang, ayah masih kerja. Franda periksa ke dokter dulu ya," ujar Aruna setelah menghela nafas berat.

Sampai mobil yang ditumpangi Dafa dengan wanita asing itu berlalu. Sejurus kemudian, dengan segenap hati yang terasa lebam Aruna menggendong putrinya berbalik memasuki teras klinik, tanpa peduli lagi dengan pemandangan memilukan yang terpaksa harus ia telan.

***

"Mami, kok ayah belum pulang?" tanya franda dengan suara seraknya.

Dua jam usai mengantar franda periksa, mereka sudah kembali ke rumah kontrakan yang mereka tinggali.

Franda sudah disuapi roti dan susu oleh Aruna, pun sudah minum obat. Namun ia tak kunjung memejamkan mata dan terus menanyakan keberadaan Dafa.

Sudah berulang kali pula Aruna menyatakan kepada putrinya, bahwa pria yang sudah menyakitinya barusan masih bekerja. Tetap saja franda memanggil - manggilnya.

Tidak banyak yang bisa Aruna lakukan, melainkan kuat - kuat menahan isak sementara di dadanya rasa sakit bergemuruh hebat. Ingin sekali ia menangis sesenggukan menumpahkan sehala emosi yang terpendam di dadanya. Sangat sulit dipercaya, pria yang selama ini ia cinta sepenuh jiwa raga yang selalu ia tutupi kekurangannya di hadapan keluarganya sendiri, rupanya melakukan hal sekeji itu. Mendua. Ah, sejak kapan Dafa sudah berlaku seperti itu?

Aruna menoleh ke sisi putrinya yang tidur di sampingnya, sambil merekatkan pelukan pada franda. Mengusap punggung putri kecilnya sambil terus meyakinkan diri bahwa 'ia kuat, jangan nangis - jangan nangis'.

Bayang - bayang semu, terukir di otaknya kali ini. Bagaimana nasib rumah tangganya setelah ini? Bagaimana nasib franda jika orangtuanya berpisah? Dan bagaimana nasib dirinya sendiri yang semula sudah terbiasa dihujani kasih sayang melimpah dari orang yang sangat ia cinta, dan ternyata berujung kecewa?

"Mas Dafa, aku nggak nyangka ternyata kamu mendua.”

Semua kenangan manis yang mereka lalui bersama, terputar otomati di otak Aruna. Semakin membuat Aruna terisak dalam diam. Akhirnya ia pun menerka – nerka, sejak kapan Dafa menjalin hubungan gelap dengan wanita itu?

“Jadi, selama ini aku dibodohi,” umpat Aruna tertawa kecil. Seolah menertawai dirinya yang selama ini terlalu dibudakkan oleh cinta.

“Kenapa aku bodoh sekali!”

“Dasar Aruna! Kamu bodoh!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status