Share

Bab 6

Nadira pov

 

Menikah dengan orang yang baru dikenal, adalah petualangan baru yang harus aku lalui. Bagaimana tidak.

Ternyata orang itu jauh dari ekspetasiku. Yang kupikir menikah dengan orang asing semua akan mudah karena kita saling tak kenal. Semua akan berjalan dengan apa adanya. Dan, ya, itu benar. Semua berjalan apa adanya walaupun sangat menyakitkan.

Tak ada malam pertama yang selalu didamba kedua pengantin baru. Bahkan, dia menolak seakan tak sudi dan menganggapku hina. Padahal aku hanya manusia biasa sama sepertinya yang tak berdaya menolak perjodohan ini.

Iya, Pakde dan Bude telah menjodohkanku dengan pria bernama Aulian Putra Pratama. Kuakui dia memang sosok tampan dan sukses meneruskan usaha papanya. Tapi, untuk urusan hati, pria yang biasa kusebut Mas Lian adalah orang paling egois dan palingg tidak punya hati di muka bumi ini.

Karena perjodohan ini dia sangat membenciku padahal bukan aku yang patut disalahkan. Aku hanya mengikuti titah Pakde dan Bude yang menurutku benar. Tidak mungkin mereka memilih orang yang salah untukku yang sudah mereka anggap seperti anak kandung sendiri. Selain itu, kata Pakde, orangtuaku adalah sahabat papa Amir dulu. Mereka sudah sepakat menjodohkan anak-anak mereka bahkan saat mereka belum menikah. Salahkan saja mereka, bukan aku.

Mas Lian, kenapa bisa ia sangat egois. Jika memang tidak suka denganku mengapa tidak menolak saja dan menikah dengan wanita yang dipanggil sayang saat dia telepon. Dengan begitu mungkin ketika kepala gak akan ada yang sakit, terutama aku. Sudah jelas aku istri sahnya tapi di depanku dia menyebut wanita lain dengan sebut sayang. Sungguh tega.

Kalau saja bukan karena Mama Erna dan Papa Amir, mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah ini.

Astaghfirullah, bagaimana bisa aku berpikir pendek seperti itu.

Bagaimana pun mas Lian kini adalah suamiku. Aku harus berjuang mendapatkan hatinya. Kata Bude, doa istri itu sangat ijabah. Mungkin aku hanya perlu bersabar dan mendoakan supaya lekas luluh hatinya. Supaya nama wanita lain lekas geser di hatinya terganti dengan namaku selamanya. Mungkin benar ini adalah jalan jihadku meraih rido-Nya.

“Heh!”

Aku yang sedang asyik melamun pun kaget saat tiba-tiba Mas Lian datang dan mengibaskan selembar ketas di depan wajah.

“Saya tidak butuh ini!” dia melempar kembali kertas itu di wajahku.

Kulirik kertas yang jatuh ke lantai, rupanya itu tiket honeymoon hadiah dari Papa dan mama tadi.

“Aku juga gak minat kok, Mas.”

Dia tersenyum, seolah mengejek ucapanku.

“Saya tahu betul wanita seperti apa kamu. Luarnya aja sok agamis dalamnya, pasti busuk.”

“Sudahlah Mas, aku gak mau berdebat sama kamu. Percuma, karena sangat membenciku. Jadi apa pun yang keluar dari mulutku akan selalu kamu telan mentah-mentah!” tegasku. Aku sudah capek terus diinjak-injak. Sudah cukup dia terus berteriak.

“Hati-hati ya, Mas. Benci bisa jadi cinta.”

“Mimpi!”

“Aku hanya memberi pesan sebelum kamu benar-benar jatuh cinta.”

Benar kan, banyak kisah yang kubaca dari novel romantis, kalau pada awalnya tokoh utama saling benci tapi pada akhirnya mereka saling mencintai. Bahkan tak terpisahkan. Semoga saja aku dan Mas Lian bisa seperti itu. Kisah manis yang diawali dengan kebencian tapi happy ending.

“Wanita gila!”

Aku tak peduli lagi dengan ucapannya. Lebih baik sekarang aku pergi ke kamar dan istirahat. Mas Lian mungkin tidak tahu kalau akting di depan mama dan papa juga cukup menguras tenaga dan emosi.

Benar saja, saking lelahnya aku tak butuh waktu lama setelah mengambil wudu dan gosok gigi, tak perlu waktu lama aku pergi ke alam mimpi. Berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.

 

#

 

Pagi sudah menyapa dengan mentari yang menyemburkan sinarnya. Meskipun bukan istri yang diharapkan aku akan tetap melakukan tugas istri yang baik, seperti saat ini, menyiapkan sarapan untuk Mas Lian.

Kemarin malam dia kesal karenaku. Aku harap nasi goreng spesial buatanku bisa sedikit mengobati rasa kesal itu. Setelah menyiapkan makanan di atas meja suara langkah kaki Mas Lian terdengar menuruni anak tangga. Langkahku dengan gesit berlari ke arahnya untuk menyambut.

“Mas sarapan dulu yuk!” ajakku dengan penuh harap meskipun tahu pada akhirnya....

“Saya sarapan di kantor.”

Mas Lian menolak, tidak mengejutkan lagi karena aku sudah mulai terbiasa.

“Kali ini aja,” mataku berbinar mengharap dia akan setuju.

Dia tidak menjawab, hanya melirik jam yang melingkar di tangan.

“Saya terlambat!”

Selalu saja begitu. Apa tak ada alasan yang lain. Mas Lian meninggalkanku yang kecewa. Tapi, tak masalah karena aku mulai terbiasa. Atau aku harus berusaha mengubah kebiasaan itu. Apa aku bisa dan memiliki kesempatan itu. Entahlah.

Aku hendak kembali ke dapur. Langkahku terhenti saat melihat Mas Lian kembali. Mungkinkah dia berubah pikiran, batinku.

“Kenapa Mas? Mau sarapan?”

Pertanyaanku dia abaikan dengan pergi begitu saja ke lantai atas. Aku mengembuskan napas dalam. Ya Allah, luaskanlah kesabaranku menghadapi makhlukmu yang satu itu.

Memilih menyantap nasi goreng seorang diri di dapur. Saat baru beberapa sendok nasi masuk ke mulutku Mas Lian datang dengan tatapan tajam.

“Tanda tangan!”

“Apa ini, Mas?”

Aku mengamati sebuah map di depanku.

“Surat kontrak.”

“Maksud kamu?”

“Pernikahan kita hanya sementara, tanda tangani surat itu. Setelah kita pisah kamu akan dapat uang kompensasi. Dua ratus juta.”

Tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Bagaimana bisa Mas Lian menganggap pernikahan yang sah di mata agama dan negara hanya sebuah kesepakatan belaka.

 

“Cepat! Bukankah kamu menikah dengan saya karena uang. Jadi untuk apa berpikir lama. Cepat tanda tangan untung ambil keuntungan.”

Aku tersenyum sumbang.

“Bagaimana bisa kamu menghargai pernikahan yang sakral ini hanya dua ratus juta. Hanya itu kemampuanmu.”

Aku tak mau kalah.

“Kamu mau berapa 300 juta, 500 juta?”

“Maaf, Mas. Aku gak bisa, bagiku pernikahan ini tak ternilai.”

Kuserahkan kembali map itu padanya.

“Kamu mau berapa?”

“Bagaimana jika aku tidak mau?”

“Terserah! Saya sudah baik memberikan tawaran untukmu. Kamu malah ngelunjak.”

Mas Lian pergi dengan amarahnya. Aku tak peduli dengan hal itu.

Aku memilih melanjutkan sarapanku yang sempat terjeda. Tapi, mataku beralih pada benda yang tergeletak di atas meja tak jauh dari Mas Lian berdiri tadi. Sebenarnya ingin tidak peduli, tapi naluri suka menolongku jauh lebih besar. Alhasil kuraih benda tersebut dan berlari menyusul suamiku.

“Mas Lian!!!”

Bugh

Kuelus dahiku yang baru saja bertabrakan dengan...

Dada Mas Lian

Kuberanikan diri melihat dia yang terlihat menahan amarah.

“Ini ketinggalan.”

Dia menyahut kunci mobil di tanganku dengan cepat.

“Makasih.”

Mulutku ternganga seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Ini beneran?

“Buat saya jatuh cinta jika kamu tidak ingin menandatanganinya.”

Dia lantas pergi setelah mengucapkan hal itu. Aku semakin bingung dibuatnya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status