Share

Awal dan Akhir

Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.

Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.

“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”

Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.

“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati Hamam sudah mengoceh di hadapannya selama bermenit-menit sejak mereka baru datang.

Dya tidak akan buka mulut andai dia merasa orang yang baru dikenalnya tidak aman diajak berbincang. Jangankan Hamam, Dinara bilang mereka butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa dekat dan normal layaknya saudara kebanyakan. Di awal perkenalan, Dya sangat barbar.

Namun seingat Danish, pertemuan pertamanya dengan Pramudya adalah hari pernikahan Dinara dan Arya. Gadis itu menghampirinya, menyodorkan lembaran tisu saat Danish menangis terharu usai menghadapi ijab kabul kakak kandungnya. Dya tidak bilang apa-apa, hanya duduk di sebelahnya. Waktu itu, Danish lupa bagaimana reaksi dan perasaannya, jadi dia hanya membiarkan saja.

“Nggak mau panggilan istimewa?” Hamam tak menyerah pada Pramudya. “Apa gitu, misalnya Dya sayang, Dya cantik, Dya manis...” Dan berlanjut dengan puja puji, Dya terkikik.

“Ih, Dya ketawa!” Hamam berseru gembira.

“Kamu lucu.”

Err... salah besar memakai kata pengganti aku dan kamu di Jakarta Selatan. Tanpa menunggu setengah menit, Hamam di seberang sana sudah menggelinjang nista. Kamu yang diungkapkan Dya begitu menyentuh sanubarinya.

“Dya juga lucu, cantik lagi.” Hamam memang tak tahu malu. “Dya, aku jomblo lho. Masa kamu nggak mau godain aku? Setan aja pada heboh godain aku.”

Sekarang dia bahkan sudah tidak malu-malu. Danish menggelengkan kepala dan berniat ke ruangannya, daripada duduk-duduk lebih baik dia bekerja sambil menunggu hujan reda. “Tunggu di sini ya, Dya,” pamitnya lalu naik ke lantai dua.

Di sini Pramudya tinggal bersama beberapa orang pekerja, tapi hanya Hamam yang tampak santai dan bisa mengajaknya berbincang, dia jelas senang. Sudah lama Pramudya menyadari keberadaan orang ini, hanya saja radarnya harus terus waspada. Ibu bilang mekanisme pertahanan mereka sangat penting, jangan terlalu ramah atau baik pada orang baru, tunggu sampai kita benar-benar mengenal orang itu. Dan sepertinya Hamam orang baik, Dya bisa melepas topengnya untuk bersikap biasa-biasa saja pada pemuda itu.

“Dya, kalau punya suami mau yang pegawai atau pebisnis?” tanya Hamam, rasanya seperti sedang interview saja.

“Pebisnis.”

“Wah, kalau gitu aku mau jadi pebisnis deh. Aku mau bisnis es batu, pasti untung terus. Laku nggak laku tetep cair.”

Pramudya tertawa, Hamam berusaha sekali membuatnya nyaman.

“Eh, sebentar ya ada telepon.” Pemuda itu mengeluarkan ponsel dengan layar yang sudah kurang berfungsi, beberapa kali Hamam harus mengetuk layarnya untuk mengangkat panggilan dan tidak berhasil. Alhasil, dia mengembuskan napas kasar karena telepon itu berakhir.

“Nih.” Dya menyodorkan salah satu ponsel yang kebetulan ada di sakunya saat ini. “Buat kamu.”

“Permen, ya?” Hamam meraih benda itu. “Wah, ini betulan Hp yang kameranya kayak kompor!” Dia berseru. “Eh, tadi... apa kamu bilang?”

“Buat kamu.”

“Nggak mau.” Hamam menyodorkan kembali benda itu.

“Aku punya banyak. Ada dua puluh,” kata Dya asal. Dia lupa berapa jelasnya, tapi ponsel gadis itu cukup banyak, lebih banyak dari Danish, pemuda itu hanya punya Iphone 16 unit.

“Iya, aku tahu kan kamu anak sultan. Jidatnya aja glowing gitu, cerah kayak masa depan kita, terus ini kaus kaki kamu pasti lebih mahal dari harga diri aku.” Hamam memegang kaus kaki Dya yang tadi basah dan sudah dikeringkan. “Tapi aku nggak mau, aku lagi nabung buat beli yang bagus, Dya. Sekarang Hp murah itu banyak, aku bisa beli, tapi jangka pakainya pendek. Aku mau Hp Sungsang yang harganya 20 jutaan, tapi bisa dipakai sampai lima tahun kedepan. Rasanya lebih worth it.”

Pramudya mengangguk seraya menarik kembali ponsel yang dia pegang. “Nanti aku beliin.”

“Ih, jangan!” Hamam menolaknya sungkan. “Aku mau beli sendiri.”

“Kalau gitu terima ini sebagai hadiah perkenalan.” Dya kembali menyodorkannya.

“Nggak bisa, Dya. IOS ini apa-apa bayar, nggak terima aplikasi bajakan atau l**k haram, aku nggak sanggup biayainnya.”

“Biar ak—”

“Lo nggak boleh terlalu banyak kenal apalagi temenan sama orang.” Danish tiba-tiba muncul sembari menyentil dahi Pramudya yang luas bagai lapangan bola. “Habitnya memang begini tiap dia dapat teman baru.”

Hamam langsung duduk bersandar sambil mengusap dada. Dia berdebar-debar. “Bener, emang bahaya. Dya kamu nggak boleh deket lagi sama siapa-siapa, dengar?”

Kenapa perkataan Hamam mirip dengan yang dikatakan ibunya, ya?

“Lo udah dapet apa aja dari Dya, Nish?”

Danish menaikkan alis. Jangan ditanya dia dapat apa saja, bahkan bukan hanya Pramudya, keluarga gadis itu baik dan royal padanya, hidup Danish benar-benar sejahtera sejak kenal mereka. Anggaran belanja pakaiannya berkurang banyak, Anya dengan senang hati rutin membelanjakannya tiap bulan.

“Aku nggak pernah kasih Danish apa-apa, dia udah punya semua.” Pramudya angkat bicara, dia berkata begitu pada Hamam. “Aku kasih dia waktuku, seminggu sekali aja, itu lebih berharga.”

Danish memeletkan lidah, geli sekali mendengar Dya bilang begitu di hadapannya.

“Dan kamu masih suka ditinggal sama Danish semena-mena, ya?” Gadis itu mengangguk polos, matanya yang bulat menatap Hamam lekat-lekat. “Percuma, Nish, lo punya harta dan tahta tapi nggak ada tata krama.” Dia menggelengkan kepala. “Anak sebaik ini disia-siakan.”

“Bacot lo.” Hamam belum tahu saja Pramudya yang sebenarnya. “Nggak tahu aja lo cowok dia ada berapa, tiap hari ganti kayak sprei hotel bapaknya.”

“Hei, language!” Hamam berseru tak terima. “Nggak gitu kan, Dya? Danish fitnah aja ah.”

Dya tidak menjawabnya, dia hanya menatap Hamam penuh keyakinan dan Danish tertawa. Tatapan mata gadis itu sudah menjawab semuanya, Hamam menggelengkan kepala tak percaya. Dia menepuk-nepuk wajahnya.

“Coba seminggu ada delapan hari, Mam, pasti lo nggak lama lagi dijadiin yang kedelapan.” Danish membuat guyonan. “Dya, jangan mentang-mentang cantik jadi lo bangga disukai sana-sini. Itu namanya bukan kelebihan, tapi kegatelan.”

“Nish!” Hamam berseru tak terima, pasti belum tahu bagaimana Danish bicara dengan Pramudya. “Mulut lo, ya! Coba aja depan Sayna apa nggak ditampar bolak-balik lo! Dya nggak usah dengerin, ya? Aku siap berjuang, tenang aja. Tapi kamu standarnya turunin dikit dong, jangan cari yang kaya raya, cukup yang kayak saya.”

Pramudya tertawa. Nah kan, apa Danish bilang, dia bukan orang yang perasa. Ucapan Danish hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

“Dya, hatiku ini kelamaan kosong, takut angker. Kamu tolong isi, ya?”

Danish tidak tahu kenapa, tapi Pramudya mendongak ke arahnya seolah memohon izin. Dan di titik itu juga dia merasa kalau Pramudya mungkin benar-benar akan mengencani Hamam lalu membaginya dengan yang lain. Dia tidak suka kenyataan itu, Danish tidak mau teman dekatnya dipermainkan.

“Dya cuma bisa singgah, Mam. Nggak bisa netap di hati lo, ibarat kata nih lo cuma rest area buat dia.”

“Uh, Danish kenapa sih? Kayak orang cemburu aja,” sindir Hamam.

“Eh, sori ya!”

Siang menjelang sore itu, obrolan mereka didominasi oleh gombalan Hamam terhadap Pramudya, serta lontaran kata-kata sinis dari Danish yang tidak senang dua temannya menjadi dekat untuk kali pertama. Dulu antara mereka tidak pernah terjadi percakapan, Dya tidak pernah menganggap keberadaan Hamam di sekitar mereka. Hari ini dia sedikit berbeda.

“Nish, pulang. Gue nggak mau kemalaman, nanti disuruh Bu Melia nginap.”

Kenapa gadis itu menatap Danish dengan tatapan memohon? Memang apa yang salah dengan menginap di rumahnya? Apa karena kalah bagus dengan rumah keluarganya?

“Lo suka sama gue, kan? Maksud gue, masih suka, kan?” Danish membutuhkan validasi.

“Masih.” Dya mengangguk polos, Hamam tertawa.

“Mestinya lo seneng disuruh nginap di rumah cowok yang lo suka, Dya. Bisa nyari-nyari kesempatan. Gimana sih, masa gue yang mesti ngajarin lo nikung pacar orang?”

Dya memanyunkan bibir. Dibanding itu, Danish justru orang yang sangat dihindari saat malam hari. Mereka pernah terjebak, menginap di tempat Dinara dan yang Danish lakukan adalah merecokinya semalaman suntuk, tidak membiarkan Dya tidur dan beralasan menjaga Anya agar tidak berbuat mesum dengan pacarnya yang sedang berkunjung. Jadi menginap di kediaman Adiswara bagaimanapun keadaan mendesaknya akan jadi pilihan terakhir bagi Pramudya. Dia tidak mau.

“Gue mau pulang ke tempat Mas Arya.” Dya buka suara. “Mau kelonan sama Irya.”

“Dih, mentang-mentang ponakannya paling lengket sama dia,” omel Danish cemburu. Jelas cemburu karena Irya lebih suka pada Pramudya dan Pradnya dibanding Danish dengan Sayna. “Pulang sekarang tapi gue yang tetap pake jaketnya, ya? Lo basah-basahan aja.”

“Iya.”

“Heh, Nish! Lo gila?!” cecar Hamam yang tidak Danish pedulikan.

Keduanya keluar dari laundry dan membelah jalanan dengan hujan rintik-rintik yang tidak begitu lebat. Tapi dari spion Danish bisa melihat baju yang dikenakan Pramudya mulai basah terkena tetesan air hujan, dia juga tampak membiru kedinginan, maka Danish melajukan sepeda motornya pelan-pelan.

“Dya,” panggil Danish sampai merasakan helm gadis itu beradu dengan miliknya tanda dia mendengarkan. “Kita nggak bisa lama-lama jadi teman. Lo tahu kenapa?”

“Lo mau jadi suami gue?”

“Sialan.” Danish tertawa. “Bukan! Itu karena lo nggak ngasih gue saran yang baik sebagai teman.”

“Saran yang baik?” Gadis itu membeo.

“Iya, sebagai teman seharusnya lo negur gue yang bersikap nggak baik ke pacarnya Mama, bukan ngebiarin atau ngedukung tindakan gue yang nggak benar. Lo tipe orang yang terlalu buta karena perasaan suka, ya? Lo membenarkan semua yang gue lakukan, yang salah sama diri gue, demi bisa diterima. Contohnya pas gue keritingin rambut dan barusan, gue bersikap nggak sopan ke pacarnya Mama. Lo terima-terima aja.”

Dya diam saja. Embusan angin yang tidak kencang sama sekali itu membuatnya menggigil karena Jakarta baru saja diguyur hujan. Dalam diamnya mereka tanpa percakapan, Pramudya memikirkan banyak hal.

Kenapa Dya harus repot-repot mengingatkan Danish ketika dia sendiri tahu bahwa hal itu tidak benar? Danish jelas tahu sikapnya tercela, dia bukan anak SD kelas lima, Danish dewasa untuk tahu mana yang benar dan salah. Buat apa Dya menegurnya, kan? Buang-buang tenaga saja. Toh, setelah Danish menenangkan pikiran dan sedikit lega, dia juga tahu harus bersikap seperti apa.

Semua yang Dya lakukan dan dia katakan, tidak berhubungan dengan perasaan sukanya pada Danish.

Dia hanya suka, lalu apa? Memangnya orang yang suka harus bagaimana? Mereka saudara, mereka juga bisa jadi teman, kan? Kenapa Danish selalu menilainya tidak baik? Apa menyukai orang seperti Danish salah? Dia jelas berpotensi untuk disukai.

“Kalau itu Sayna, dia pasti bakal ceramah, kasih gue pandangan ala orang dewasa, kasih gue masukan, bimbing gue ke jalan yang benar. Itu kenapa gue bilang, kan? Pesona lo ketutup sama Sayna, dia itu cerdas dan hatinya baik. Gue merasa lebih baik setelah ketemu Sayna.”

Dya bingung harus menjawab apa, sepertinya tidak perlu menjawab apa-apa.

“Dya...” panggil Danish padanya. “Gue ngomong udah kayak apaan dan lo cuma diem aja?”

“Ah... semoga... lo bisa lebih baik lagi dan bahagia sama Sayna.”

Pramudya sialan. Kenapa itu terdengar seperti sindiran?

“Gue sama Sayna udah bahagia, nggak perlu didoain sampai sana.”

Tidak ada suara Pramudya yang menyahutinya.

“Sayna pasti bakal ingetin gue tentang gimana harusnya gue menyikapi hubungan baru Mama. Bahwa Mama, nggak akan bisa selamanya sendiri aja, Mama butuh teman buat hidup terlebih setelah nanti gue sama Sayna nikah. Dan... yah, Mama juga mungkin masih punya berahi yang perlu dituntaskan. Ini agak mirip sih sama kasus Mbak Dinara dan Mas Arya dulu. Sayna pasti bakal bilang gitu, dia bakal meyakinkan gue buat melakukan hal-hal yang benar.”

“Even lo ngerasa tersiksa ngejalaninya?” tanya Pramudya, yang membuat Danish menghentikan laju kendaraan dan menoleh menatap gadis bermata besar dengan jidat lebar itu.

“Gue udah pernah menjalani yang lebih parah, jadi pasti nggak apa-apa.”

“Sayna bahkan belum bilang apa-apa, Nish. Semua yang lo bilang itu dari kepala lo sendiri, lo udah tahu harus gimana tanpa gue kasih masukan apa-apa.”

“Itu gue jabarkan karena gue tahu seberapa pintar, baik dan kenalnya gue sama Sayna. Dia mungkin nggak akan ngomong sama persis kayak gitu, pasti lebih keren bahasanya.”

Dya diam saja, matanya menatap Danish lekat, bibirnya menahan getar karena dingin dari tetes-tetes kecil air hujan yang mulai membasahi sebagian besar pakaian.

Mungkin memang Sayna akan bilang begitu, persis yang Danish katakan, atau bahkan lebih keren lagi karena dia adalah gadis pintar yang membanggakan. Tapi semua berbeda andai Sayna pernah ada di posisi yang sama.

“Sayna ngomong begitu karena dia nggak tahu rasanya.” Pramudya berbisik pelan, dia harap Danish tidak mendengarnya. “Sayna nggak tahu rasanya, dia punya keluarga yang sempurna.”

“Lo juga, Dya.”

Pramudya menggelengkan kepala. Danish jelas tahu, orang yang dipanggilnya Ibu dan Bapak bukan miliknya yang sebenar-benarnya. Dia dan Anya bahkan tidak punya ibu kandung, wanita itu pergi ketika melahirkan mereka. Dan... kenapa hari kepergiannya harus dirayakan setiap tahun dengan dalih merayakan ulang tahun mereka berdua?

Apa tidak ada yang menyangka bahwa hari besar bagi seluruh keluarga Ranajaya itu sama dengan hari paling kehilangan bagi Pramudya dan Pradnya? Hari itu, dua puluh tahun yang lalu, ibu mereka meregang nyawa. Kenapa harus dirayakan dengan pesta?

“Sayna nggak tahu, gimana rasa anehnya saat orangtua kita menggantikan sayap yang lain untuk kembali bisa terbang.”

Ayah kandungnya sudah menikah lagi, sudah lama sekali, tapi Dya tidak pernah benar-benar merasa diterima. Itu sebabnya dia memilih tinggal dengan Ayudia Ranajaya, jadi adik angkat bagi Andra dan Arya.

“Kalau gue jadi Sayna, gue pasti akan jadi motivator yang sama kayak dia, Nish.”

Danish menyipitkan mata. “Nggak mungkin,” desahnya. “Sayna itu pinternya kebangetan, Dya. Lo nggak akan bisa nyamain dia. Lo pasti iri sama dia.”

“Nggak.” Pramudya menggelengkan kepala.

“Oh, lo pasti ngerasa beruntung karena dilahirkan di keluarga kaya raya dibanding Sayna, kan?”

“Bukan.” Dya tertawa pelan, bahkan dia tidak pernah punya pikiran ke sana. Memang apa bagusnya jadi kaya? Dia sudah bosan. “Gue nggak iri karena... gue bukan Sayna. Kalau dia matahari yang terang dan punya cahaya sendiri, gue memang cuma bulan. Nggak ada gunanya dibandingkan, matahari atau pun bulan bersinar saat waktunya tiba. Mereka indah di setiap kemunculannya.”

Danish tahu kalau Pramudya kuliah jurusan sastra, dia juga pernah membacakan puisi saat pernikahan Dinara dan Arya, tapi baru kali ini rasanya mendengar gadis itu bicara dengan analogi yang indah di telinga. Dan bukan hanya indah, itu juga menyadarkannya. Kadang saat tak sadar Danish sering membandingkan dirinya yang tidak seberapa ini dengan Sayna, dengan Arvin, dengan orang-orang hebat di sekitarnya. Danish lupa bahwa mereka terlahir dengan banyak hal yang berbeda. Tidak mungkin pencapaiannya sama.

“Ayo pulang,” ajak gadis itu padanya melihat Danish tidak mengoceh apa-apa. “Kita gangguin Bu Melia sama pacarnya.”

Danish tertawa, tapi ide itu bagus juga.

“Nish...”

“Hm?”

“Kita memang lebih sering terjebak di situasi yang nggak sesuai sama karakter kita, jadi kita harus banyak belajar dari sana. Gue nggak akan nyuruh lo sabar atau nerima hubungan Bu Melia sama pacarnya, lo tahu harus gimana.”

Senyum Danish tersungging. Dia dengan semangat memacu sepeda motornya ke rumah dan melupakan fakta bahwa Pramudya kedinginan setengah mati di belakangnya. Lalu begitu sampai, Danish buru-buru mengambil hadiah yang dibelinya Sabtu lalu di Bandung saat berbelanja. Sebuah gelang dengan inisial huruf D sangat cocok untuk tangan mungil Dya. Dia memang teman yang baik—meskipun aneh—dan begini cara Danish berterima kasih padanya.

“Bagus,” komentar gadis itu singkat begitu Danish selesai memakaikannya. “Gue juga butuh baju ganti.”

“Pakai ini.” Danish menyerahkan sebuah kantong di bagasi mobil, oleh-oleh Anya yang tak kunjung diberikannya pada Sayna. “Anya yang beli. Lo nggak boleh pinjam baju gue, semuanya wangi, gue nggak akan izinkan lo berfantasi dan ngayal lagi pelukan atau dikekepin sama gue.”

Dya meringis, heran pada imajinasi Danish.

“Dya, makasih, ya.” Pemuda itu tersenyum padanya. “Oh, iya tangan lo wangi. Pake handcream apa?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status