Sayna merebahkan diri di tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Dia tahu kalau Danish marah besar dan tengah merasa cemburu, kekasihnya butuh waktu. Pun Sayna tidak punya alasan apalagi pembelaan. Dia jelas salah, Sayna bersalah pada kekasihnya, dia tidak memungkiri itu. Padahal Danish banyak sekali mengalah.
Namun dirinya bisa apa? Ciuman Gio mendarat tiba-tiba di dahinya tanpa bisa dicegah. Sayna bahkan tidak punya cukup waktu untuk marah, dia terlalu kaget dan lengah. Dan menjelaskan pada Danish sungguh tidak berguna, dia sedang tidak ingin mendengar apa-apa.
Apa yang dilakukannya sekarang? Apa Danish sedang tidur siang? Atau dia langsung pulang ke Jakarta? Apa dia main ke tempat Arvin? Jalan-jalan ke Lembang? Sayna ingin sekali bertanya, tapi dia tahu itu tidak bisa. Jangan sekarang, jangan saat ini.
“Nish, maaf...” Sayna bergumam lirih, merasakan hatinya pun ikut perih.
Memposisikan diri andai mendengar kekasihnya dicium orang lain, Sayna jelas sedih, seperti Danish saat ini.
“Lo nggak boleh temenan sama cewek manapun pokoknya! Nggak boleh!”
Sayna pernah di posisi itu, jadi orang paling egois yang tidak pantas dimiliki siapa-siapa.
“Kalau gue iyain, lo bakal tenang, kan?”
“Iya!” Dia mengangguk cepat.
“Oke. Gue nggak akan temenan sama cewek mana pun.”
“Teman kampus sekalipun.”
“Iya.” Danish mengangguk. “Sekarang tenang, ya?”
“Nggak bisa!” Sayna histeris. “Gue baru aja kehilangan mahkota, milik gue yang paling berharga! Lo nggak bisa nyuruh gue tenang seenaknya!”
Gadis itu membuang napas, kadang dia merasa Danish adalah keajaiban. Bagaimana bisa dia masih mau bertahan setelah diperlakukan demikian? Kenapa Danish tidak balik memarahinya?
Sayna pernah marah-marah, hanya karena Danish ikut kerja kelompok ke rumah teman perempuan. Sayna tidak terima penjelasan apalagi alasan, dia hanya tidak suka. Danish sudah memilikinya, Sayna menyerahkan diri padanya, dia sudah melakukan segalanya. Danish tidak butuh siapa-siapa, Danish harus merasa cukup dengan Sayna saja.
Dan dia lupa...
Sayna lupa bahwa dirinya tidak bisa berlaku sama. Dia lupa sudah menggantungkan kehidupan kampus pada seniornya. Dia lupa... bahwa hari itu, bukan hanya dirinya yang kehilangan mahkota, Danish juga sama, dan Sayna orang yang merenggutnya.
Dia lupa.
Dia terlalu peduli pada perasaan dan lukanya sendiri hingga abai pada keberadaan kekasihnya. Abai pada perasaannya.
Dan hari ini Sayna sudah tidak punya muka untuk mencari alasan apalagi pembenaran. Dia memilih pergi, membiarkan Danish sendiri sampai pemuda itu tidak marah lagi.
****
Yang tidak pernah Danish duga dari Pramudya adalah, gadis itu akan menyewa satu tempat bermain penuh hanya untuk mereka berdua.
Di Cihampelas Walk, Game Master yang mereka sambangi tidak seramai di Paris Van Java Mall atau pun Timezone Bandung Indah Plaza, itu alasan Pramudya mengajaknya. Jadi dia tidak perlu terlalu merasa bersalah meski harus menyingkirkan beberapa orang yang ingin bermain bersama mereka.
Dya benar-benar menghibur Danish yang patah hati dan menyediakan arena bermain sekaligus menyalurkan kemarahan akibat banyak tekanan. Selain arcade, Ciwalk juga memiliki arena fun and thrill rides yang terdapat Boom Boom Car dan Segway di dalamnya. Dya bilang, mereka bebas main sampai tempat itu tutup pukul 10 malam.
BUGH!
Pramudya berdiri dengan sebelah tangan terlipat sementara tangan yang lain memegang gelas Chatime yang isinya tinggal separuh. Memerhatikan Danish, dia sibuk melempar bola basket tanpa henti, meninju samsak penuh nafsu dan mengendarai mobil mainan ugal-ugalan sejak tadi. Cuma mainan dalam ruang tertutup, tapi Danish banjir keringat seperti itu.
Dan dia.... err... seksi sekali.
“Gue tahu kalau gue ganteng, Dya.” Danish berujar tanpa meliriknya. “Tapi ngeliatinnya biasa aja.”
“Gue terpesona,” komentar Pramudya. “Rambut lo lurus lagi, jadi makin ganteng.”
Danish tidak bisa menahan senyum, dia senang karena seseorang menyadari perubahan pada penampilannya. Sayna saja tidak. Belum, mungkin belum, mereka belum ada waktu membahas gaya rambutnya, sejak kemarin Sayna sibuk belajar untuk ujian.
“Mau makan? Gue pesenin, nanti diantar ke sini.”
“Boleh.” Danish masih fokus melempar bola basket ke ring yang bergerak.
“Skor lo payah.”
“Gue nggak lagi ngejar skor, cuma lagi luapin amarah.”
“Ada apa?”
Danish berhenti, menoleh pada Pramudya yang tumben sekali mau bertanya, biasanya dia tidak peduli.
“Sayna dicium sama seniornya.”
“Di bibir?” tanya Pramudya.
“Di jidat.”
“Oh....” Dia mengangguk-anggukkan kepala.
Cuma itu? Hanya oh saja? Tidak ada niatan memberi masukan, saran yang menenangkan atau sekadar validasi?
“Oh aja nih?”
“Cium di jidat nggak akan bikin hamil, kan?”
Danish lupa dia sedang bicara dengan gadis gila.
“Dya, apaan sih?!” Danish tidak—belum sempat menepis ketika Pramudya mendekat secepat kilat ke arahnya dengan sedikit bernjinjit lalu mendaratkan kecupan di pipi sebelah kiri. Dia buru-buru menghapus jejak bibir gadis itu dan menjauhkan diri.
“Kayak gitu,” kata Pramudya padanya. “Perasaan lo gimana habis gue cium?”
Perasaannya?
Biasa saja. Risih malah. Danish tidak suka.
“Sayna juga ngerasa gitu, menurut lo?”
Dya mengangguk. “Dan kalau dia tahu gue cium lo barusan, dia juga bakal marah kayak lo sekarang.”
Jadi... mereka impas, bukan?
Sebenarnya Pramudya sedang membuat Danish sadar atau membantunya balas dendam, sih?
“Nggak adil lo marah sama Sayna saat dia juga nggak suka dicium sembarangan sama orang dan sedih karena takut pacarnya cemburu.”
Ya, jelas begitu. Sayna tampak ketakutan, dia juga tidak terlihat senang atau tenang, jelas dia panik sekali sampai mengatakan kejujurannya pada Danish meski itu tidak sengaja.
“Harusnya gue cuma marah sama si brengsek itu, nggak perlu bawa-bawa Sayna.”
Pramudya menganggukkan kepala. “Harusnya lo yang jagain dia.”
“Gue usahain biar cowok itu nggak macam-macam lagi ke dia, kan?”
Dya hanya menarik sedikit sudut bibir dan memberikan gelas Chatime-nya. Kemudian gadis itu sibuk melempar bola. Kemampuan bermain Pramudya sangat baik, dia terbiasa memainkan banyak sekali permainan selama hidupnya. Danish dengar, gadis itu bahkan punya tempat bermain seperti ini di lantai tiga rumahnya. Dia benar-benar hidup mewah.
“Dya,” panggil Danish pada teman bermainnya. “Lo barusan habis ngasih gue advice yang bermanfaat banget. Nggak salah, kan? Lo masih suka sama gue, kan?”
“Masih,” jawabnya datar sambil tetap melempar bola. “Apalagi lo makin ganteng hari ini.”
Danish benar-benar tidak mengerti pola pikirnya.
“Kita jalan bareng ke Jakarta, atau lo mau main dulu? Di alun-alun rame banget, ada cosplay hantu, Sayna suka banget ke situ.”
“Boleh.” Pramudya mengangguk.
“Nggak deh.” Danish segera berubah pikiran. “Gue mau ke Sayna aja, udah nggak marah lagi soalnya. Makasih, ya.”
Gadis itu berhenti melempar bola, ring di depan mereka berhenti bergerak dan permainan berakhir ditandai dengan tertutupnya palang penghadang. Dia agak terengah, baru kemudian melirik Danish yang ada di sebelahnya.
“Lo langsung pulang aja ke Surabaya.”
Pramudya mengerjap, lalu mengangguk tanpa bicara apa-apa, Danish memang suka seenaknya saja.
“Naik taksi aja ya ke bandaranya.”
“Iya.” Dya menyedot minuman dan terlihat biasa saja.
Keduanya mencari tempat beristirahat dan menemukan kursi plastik berbentuk buaya di depan kotak capit boneka, lalu duduk di sana. Danish menolehkan kepala ke sebelah kirinya, andai Pramudya adalah gadis normal atau orang pada umumnya, dia yakin sekali kalau mereka bisa berteman. Andai Pramudya tidak terang-terangan mengatakan suka padanya, pasti kehadiran gadis itu dengan mudah diterima.
Dya punya perawakan mungil, tingginya hanya beda 2 centi dengan Sayna, tapi rangka tubuhnya lebih kecil. Sementara Sayna memiliki bahu yang lebih lebar dan otot tubuh berbobot, tampak sangat sehat dan bugar. Pramudya kecil, mungil, tampak ringkih padahal bebal luar biasa, tidak ada kapoknya disiksa. Orang-orang bilang Sayna seperti boneka Barbie, cantik sekali, tapi Pramudya seperti manekin, dia juga terlihat sama dengan boneka dalam versi berbeda.
Harusnya Dya punya pacar, pasti banyak yang mau jadi pacarnya. Lupakan fakta bahwa dia gila, Pramudya benar-benar layak diincar.
“Dya,” panggil Danish padanya. “Selama ini gue selalu merasa Sayna egois. Dia ngelarang gue temenan sama cewek, bahkan yang statusnya saudara. Sementara dia sendiri, lengket banget sama seniornya. Dia punya alasan memang, dan alasannya masuk akal, tapi gue tetap nggak suka. Gue nggak pernah ngomongin ini ke siapa-siapa, cuma sama lo aja. Sayna mungkin tahu, tapi kita nggak punya jalan keluar. Gue tahu dia terpaksa, dan yang harus gue lakukan cuma nerima, kan?”
Salah kalau selama ini orang-orang—bahkan Sayna, mengira Danish dan Pramudya tidak dekat. Danish sering mengoceh panjang karena Dya lebih suka diam mendengarkan. Dia jarang memberi komentar, tapi bagi Danish dia hanya butuh didengar. Tidak masalah Pramudya diam saja, hanya pada gadis itu dia bisa bebas bicara. Dya tidak gampang tersinggung, menganggap enteng banyak hal, jadi curhatan Danish baginya pun seperti angin lalu.
“Ayo pulang!” ajak gadis itu sambil menarik lengannya pelan. “Mau ke Sayna, kan?”
“Kita nggak ngabisin waktu di sini sampai sewanya selesai?”
“Nggak usah, gue udah capek juga.”
Selain tempat sampahnya, Pramudya juga dengan sukarela jadi sasaran Danish untuk ditabrak habis-habisan di arena Boom Boom Car. Seluruh tubuhnya besok pasti pegal-pegal.
“Gue mau main sekali lagi, sayang uangnya, lo udah bayar sewa di muka.”
“Nevermind, bukan gue kok yang cari uangnya. Jadi santai aja.”
Danish terkikik geli, anak orang kaya di sebelahnya ini benar-benar.
“Tunggu sebentar.”
Langkah mereka terinterupsi karena suara ponsel Pramudya yang berbunyi. Gadis itu kembali duduk ke tempatnya tadi sementara Danish berdiri, dia menyentuh layar ponselnya lalu tersenyum lebar.
“Mas...”
“Dalem, Sayang...”
Danish melongo, ini... tidak salah dengar, kan?
“Ada apa?” tanya Pramudya, masih tetap tersenyum dengan layar ponsel sejajar wajah.
“Kangen, Nduk. Kan nggak jadi ngapel hari ini, kamunya pergi.”
“Iya.” Gadis itu menyengir.
“Lagi di mana? Sama siapa?”
“Di Bandung, Mas. Lagi main sama saudara.”
“Di Bandung? Saudara yang mana, toh? Mas Arya kan di Jakarta.”
“Sini,” panggil Pramudya sembari menggamit tangan Danish. “Adiknya Mbak Dinara, istri Mas Arya.”
“Oalah, Mas... salam kenal, saya Gumelar.”
“Danish.” Pemuda itu tersenyum tipis.
“Guanteng, cok! Awas kamu naksir sama Mas Danish ya, Nduk.”
Dya menyengir malu dan tak lama panggilan video itu terputus dengan Pramudya yang berjanji menemui Gumelar minggu depan untuk kencan hari Sabtu. Sementara itu, Danish kembali ke tempatnya duduk, di sebelah Pramudya, menatap gadis itu penuh dengan tuntutan, ingin sebuah penjelasan.
“Kenapa?” tanya gadis itu datar, seolah barusan tidak terjadi apa-apa.
“Lo punya pacar, Dya!” Danish nyaris menjerit dan ingin sekali menoyor kepala gadis itu agar dia sadar. “Lo punya pacar dan lo... suka sama gue?” Pemuda itu menunjuk dadanya sendiri dengan ekspresi tak percaya.
Dia benar-benar tidak percaya pada penglihatannya.
“Iya.” Pramudya mengangguk dengan tampang tak berdosa.
“Ya ampun, Dya...”
Danish perlu mempertimbangkan ide Arya waktu itu, bahwa mungkin mereka harus mulai menyusun rencana untuk bisa membuat surat keterangan palsu agar Pramudya diangkut ke rumah sakit jiwa.
Pramudya menyipitkan mata. “Kenapa, Nish? Nggak pernah lihat orang punya pacar dua, ya?”
“Gue sama lo nggak pacaran, Pramudya!”
“Gue nggak bilang lo pacar gue,” tandasnya.
“Oh, jadi selain yang barusan tadi ada lagi, ya?!”
“Ada.” Pramudya mengangguk santai.
“Te...terus gu-e?”
Danish tidak percaya ini. Dia disukai banyak gadis sejak masih sekolah, mereka rela melakukan apa pun untuknya, bahkan saat tahu dia dan Sayna sudah berkencan. Lalu di sini, gadis bernama Pramudya, yang bahkan tidak Danish perhatikan, justru—
“Lo orang yang gue suka,” ucapnya singkat. “Tiap hari Jumat.”
“What the fuck!” Danish mengumpat. Setengah kesal, setengahnya lagi merasa lega.
Dia benar-benar kesal pada Pramudya, itu tidak bisa dipungkiri tapi bibirnya justru menyunggingkan tawa. Danish tidak menyangka kalau selama ini dirinya bukan satu-satunya yang Dya suka. Masih ada dua lainnya.
“Nish, seminggu itu ada tujuh hari, kenapa gue harus ngabisin setiap harinya untuk orang yang sama?”
“Dan gue dapat giliran tiap Jumat doang?”
Pramudya menganggukkan kepala.
“Lo bener-bener orang gila!”
Danish tidak tahu kenapa, meski dia kesal pada awalnya, tapi kelegaan lebih mendominasi di sana. Akhirnya dia mengerti kenapa Pramudya bersikap aneh selama ini, karena dia memang aneh—juga tidak serius pada perkataannya, pada perasaannya. Dya senang bermain-main, dan Danish memang partner-nya untuk main. Mereka benar-benar main seperti teman tanpa apa-apa di dalamnya.
“Gila, ya. Gue bukan didua lagi, tapi ditigain, iya nggak sih?” Danish sengaja menggoda.
“Ditujuhin kali, Nish. Kalau cuma tiga, empat harinya gue sama siapa?”
“Pramudya gila.”
“Jangan kayak yang cemburu gitu deh.”
“Eh, mohon maaf, ya! Nggak ada cemburu dalam kamus gue, lo pikir lo siapa? Sok kecakepan pake ngejatah hari sama tiap cowok yang lo suka. Nggak waras emang ini anak, gue ruqyah lo lama-lama. Ini isi kepalanya gue bedah juga!”
Pramudya pasrah saat lengan kekar itu menjepit lehernya hingga dia leluasa membaui ketiak Danish yang bau surga sebab kaus pemuda itu basah karena keringat. Mereka berjalan ke luar arena permainan sambil tertawa. Tawa Danish yang pecah penuh kelegaan di dalamnya. Tawa yang keluar karena dia seolah kehilangan seluruh rasa bersalahnya, entah kenapa.
Danish merasa lega. Itu saja.
Semua orang memandanginya, dan itu tidak dalam artian yang baik. Sayna melirik gadis-gadis di sekeliling dengan mata setengah menyipit. Mereka sudah berjuang sejak semester awal, bersama-sama, belajar di kelas yang sama, satu angkatan penuh. Jadi jelas dia hidup dalam ruang lingkup keluarga besar.Masalahnya sekarang mereka mempunyai tugas dari dosen Patologi Klinis yang artinya tengah mempelajari bagian sumber penyakit pada manusia dengan analisis dan identifikasi melalui media cairan. Para mahasiswa itu harus membawa berbagai cairan ke laboratorium untuk diteliti, dan jenisnya beragam sekali. Mulai dari darah, urin, cairan tinja, air mata, ludah, dahak, nanah, cairan sendi, cairan sumsum tulang belakang, cerebrosfinal fluid hingga.... sperma.Ya, cairan sumber kehidupan itu pun tak luput dari bahan penelitian.“Itu nggak dibenarkan.” Rosma berapi-api ketika mendengar Ayuna mengatakan bahwa mereka bisa membeli bahan praktikum tadi ke seorang makelar
Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen ci
“Nish, tahan....” Sayna mendengar suara erangan tertahan dari kekasihnya yang dalam hitungan detik akan menjemput bola. Ini sudah kali kedua mereka mencoba, Danish bahkan minum obat penguat agar bisa kembali bermain setelah mendapatkan jatah wajib tiap minggunya. “Nish, angkat!” “Argh!” Danish berhenti bergerak, napasnya tersengal-sengal, kakinya nyeri, nyaris kram. Sayna ingin dia orgasme dua kali dalam kurun waktu beberapa jam. Mungkin bisa, nafsunya masih membara, tapi tubuh Danish lelah. Dia belum istirahat sejak menyetir dari Jakarta ke Bandung, malah langsung bersenang-senang. “Capek?” tanya Sayna pelan. Jemarinya menyusuri punggung dengan kulit yang amat lembut, wangi parfum Danish bercampur keringat membuat Sayna berdebar-debar. Padahal ini bukan kali pertama untuk mereka. “Sebentar.” Danish berbisik pelan di telinga gadisnya. Dia suka kegiatan ini, hal yang dinanti-nanti tiap jadwal kencan mereka seminggu sekali. Tapi Da
Danish melamun saat mengingat kembali percakapannya dengan Sayna tadi malam. Aneh sekali rasanya mendengar gadis itu bicara begitu. Meminta yang tidak-tidak, seolah dia akan melakukan sesuatu. Semoga saja tidak, semoga itu hanya perasaannya.“Gue tahu kok, kalau gue egois banget selama ini. Maaf, ya? Mulai sekarang kita main adil, lo juga bisa berlaku sama ke gue, Nish. Maaf karena gue terlalu mencekik lo selama ini.”Berlaku adil itu, bagaimana? Danish tidak punya orang yang membuatnya bergantung seperti Gio pada Sayna. Dan dia memakai istilah mencekik, bukan lagi mengekang atau mengukung. Sayna menyadari bagaimana kerasnya hubungan dan peraturan mereka selama ini. Dia bilang, ajaib sekali Danish bisa bertahan selama itu. Dia pasti tidak tahu sebesar apa Danish menyukainya.Lalu maksud Sayna itu apa?Kalau Sayna mau Danish memperlakukannya sama seperti dia memperlakukan Danish selama ini, sudah pasti hubungan mereka tidak akan bertahan lama.
Minggu berlalu dengan cepat setelah pagi-pagi sekali Danish dan Sayna harus pulang dari Lembang. Sementara kekasihnya meneruskan perjalanan hingga ke Jakarta, Sayna berada di kamar kosnya. Sejak sampai hingga malam hari dia tidur nyenyak sekali. Sudah jelas kecapaian, karena kegiatan yang dihabiskan dengan Danish bukan main. Sayna kelelahan.Kendati yang, em.... lebih banyak bergerak adalah pemuda itu, tetap saja sebagai objek yang dituju Sayna pun merasa capek, lemas dan letih. Berat badan Danish sepertinya naik akhir-akhir ini, dia makin berat saja saat bertumpu di atasnya.Ibunda: Teh, jangan lupa sarapan, ya. Ibu doakan apa pun yang Teteh jalani hari ini lancar.Sayna melihat ke luar jendela kamarnya, masih gelap, dia yakin ibunda pasti baru selesai beribadah dan langsung menghubunginya di awal minggu ini. Tidak ada drama bangun kesiangan Senin pagi karena minggunya Sayna tidur nyenyak sekali. Dia menggeliat bangun, memotret dirinya sendiri lalu mengirim fot
“Gue pengen pergi,” gumam pemuda itu pelan dengan kelopak mata yang terbuka perlahan. “Gue nggak suka dia ada di sini.”Danish melirik ke samping, Pramudya duduk seperti patung hidup di sebelahnya, tidak memberi reaksi apa-apa.“Tiap dia ada, gue nggak mau pulang.” Danish menambahkan, kendati Pramudya mungkin tidak mengerti apa maksudnya. “Tapi Mama suka banget sama orang itu, Dya.”Dan perasaan ibunya tidak bisa dicampuri, Danish tahu dengan pasti.“Dya...”“Ayo pergi!”“Gue nggak betah kalau dia ada di rumah.”“Jangan pulang.”Entah kenapa, meski itu terdengar tidak baik, Danish tersenyum dibuatnya. Dya memberikan hal-hal yang ingin Danish dengar. Sejujurnya, Danish tahu dia harus bagaimana, bersikap seperti apa, menerima keadaan dan membiarkan ibunya bahagia. Tapi nanti. Saat ini, dia hanya ingin dibenarkan oleh seseorang, dibela,
Hujan deras mengguyur siang menuju sore hari itu. Danish yang awalnya hanya berencana mengajak Pramudya membeli pakan Bolu terpaksa harus meneduh lebih dulu. Mereka pergi ke laundry Melia terdekat dari komplek perumahan, ada Hamam dan para pekerja di sana, mereka tidak berduaan selama menanti hujan. Danish memeriksa ponsel, tidak ada pesan dari Sayna seharian—selain tadi pagi untuk menyemangatinya.Dia rindu. Kenapa tetes hujan selalu membuat suasana menjadi sendu? Padahal baru kemarin mereka bertemu.“Bahasa Jawanya apa tuh? Kan kalau Sunda Neng, Dya maunya dipanggil apa?”Danish melirik Hamam yang suaranya sayup-sayup ditelan angin dan hujan di luar sana, deras sekali. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak, apa yang dilakukan ibunya bersama seorang pria di rumah? Danish jelas tahu kalau Melia rindu belaian dan sentuhan. Dia mengerti itu, usianya 20 tahun sekarang.“Dya aja.” Suara Pramudya baru terdengar kendati H
“Teh, Ibu nikah sama Ayah pas umur 30 tahun,” kata ibunya waktu itu. “Jadi punya anaknya agak telat, apalagi Ayah sebentar lagi pensiun. Ibu bakal sendirian bertempur buat biaya kuliah Teteh. Yang prihatin ya, Nak? Ibu mau Teteh menikah selesai kuliah profesi, biar ibu tenang, perjuangan ibu sama Ayah kelihatan hasilnya.”Tahun depan Ayah pensiun dari pekerjaannya, dan beberapa hal bisa jadi berbeda. Keluarga Sayna bukan pengusaha kaya atau keturunan konglomerat seperti Adiswara dan Ranajaya. Mereka bahkan tidak punya nama belakang yang keren, yang dipakai oleh seluruh keturunan generasi berikutnya. Keluarga Sayna hanya orang biasa, hidup berkecukupan, keduanya bekerja dan mengabdi pada negara.Namun masa abdi itu memiliki masa aktif, dan ketika tenaga serta abdinya tidak dibutuhkan lagi, beberapa kompensasi dicabut, tidak didapatkan lagi. Sayna bisa membayangkan bagaimana sulit dan beratnya Ibunda berjuang seorang diri membayar kuliah di kedokt