Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
*** Suasana menegang. Seluruh rakyat, dengan debaran di dadanya, kini tengah menjadi saksi eksekusi mati salah satu bangsawan yang bernama Aquila Sapphire de Charles. Aquila dihukum atas dasar percobaan pembunuhan kekasih putra mahkota, Zeline Jane Aideos. Ketegangan semakin meningkat. Semua mata tertuju pada Aquila yang terpaksa tertunduk dihadapan Zero, sang putra mahkota. Tangan dan kaki Aquila terikat, mulutnya tersumpal, namun ia masih bisa memberikan tatapan bengisnya kepada Zero. Aquila bersumpah, ia akan menuntut balas atas penghinaan ini. Suara langkah prajurit. Seorang prajurit menyerahkan sebilah pedang kepada sang putra mahkota— orang yang akan mengeksekusi Aquila. Rakyat menyaksikan kejadian itu dengan perasaan campur aduk. Sebagian merasa takut, sebagiannya lagi merasa lega karena menganggap pemberontak telah ditaklukan. Zero menatap pe
"A... Aquila?" Alena membeo. Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di kepalanya, tapi rasa pening yang kini tengah menghantam kepalanya tanpa ampun membuat ia memutuskan untuk tetap diam saja. "Katanya kau mendadak pingsan saat menghadiri pesta minum teh kerajaan?" Cowok aneh ini memeluknya semakin erat. "Huhuhu! Aku pikir seseorang telah meracunimu!" Cowok itu mengguncangkan bahu Alena, membuat rasa pusingnya menjadi dua kali lipat. "Sebenarnya bagaimana kau bisa pingsan?" Orang ini terus berbicara tanpa henti, Alena memegangi kepalanya yang berdenyut parah. "Argh—" Alena menekan pelipisnya, ia benar-benar merasa pusing. "Aquila?!" Sosok di depannya menatap khawatir, "tabib! Aku akan memanggil tabib!" Alena buru-buru menahan lengan orang itu, "nggak perlu," ujarnya dengan suara lemah, "aku mau istirahat aja," Alena menarik selimutnya hing
*** Aquila duduk tenang di salah satu kursi yang dihiasi dengan ornamen ukiran. Tidak, sebenarnya dia tidak benar-benar tenang, ia kini tengah merasa sangat gelisah. Aquila tengah menghadiri pertemuan minum teh tidak resmi berdua dengan putra mahkota, ulangi, hanya berdua. Perasaan tidak tenang menyelimuti hatinya, di satu sisi, tokoh putra mahkota merupakan tokoh favoritnya, dalam novel, ada banyak narasi yang menjelaskan tentang ketampanan sang putra mahkota. Selain itu, sifat protektifnya pada sang peran utama wanita juga membuat Aquila kagum. Masalahnya, kini 'Aquila' harus berhadapan dengannya sebagai seorang antagonis. Ditambah lagi, dalam novel, Zero adalah malaikat maut Aquila. Sialan. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Putra mahkota memasuki ruangan. Pintu besar terbuka, masuklah seorang laki-laki yang diiringi dua pengawal di kanan dan kirinya. Zero, sang putra mahkota menarik kursi persis di depan Aquila. T
"Zeline!" Zeline tersenyum lemah, menatap ekspresi khawatir putra mahkota. Tangannya bergerak mengelus pucuk kepala kekasih protektifnya itu. "Aku tidak apa-apa." Seolah tahu kekhawatiran Zero, Zeline menjawab sebelum ditanya. Zero langsung memeluk Zeline erat, seakan takut kehilangan. "Orang yang jahatin kamu ... Semuanya bakal aku habisi," bisiknya tepat di telinga Zeline. Zeline merasa sekujur tubuhnya merinding, ia menggeleng kuat-kuat, "jangan, yang mulia." Meski tak yakin, sepertinya ia dapat menebak siapa yang menuangkan racun pada minumannya. Zero menatap mata Zeline, ia benar-benar tak mengerti mengapa Zeline bisa sebaik ini? Zeline tersenyum manis, membuat kedua lesung pipitnya terlihat jelas. Zeline tak ingin Zero menghukum Aquila karena ia sendiri memiliki rencana yang jauh lebih baik. *** Terdengar suara dari goresan tinta yang beradu dengan secarik kertas. Aquila, lagi-lagi tengah membu
Masih di hari yang sama. Aquila tengah berjalan-jalan di taman dengan sebuah roti di tangannya. Sebenarnya makan sambil berjalan itu tidak sesuai dengan etika yang diajarkan disini, hanya saja Aquila sudah terbiasa melakukan itu di kehidupan sebelumnya. Aquila merasa semakin betah disini. Benar-benar dunia yang begitu indah. Ia menghirup udara segar, rasanya sungguh berbeda dengan udara di tempatnya dulu. Matanya dimanjakan dengan banyak sekali tanaman dan bunga-bunga yang indah dan berwarna-warni. Suasananya benar-benar indah, sepertinya tak akan ada hal yang bisa merusak moodnya. "ADIKKU SAYANG~" Atau mungkin ada. Alaster, berlari kecil ke arah adiknya, di tangannya ada sebuah kotak besar. Apa lagi yang akan dilakukan orang berisik ini? "Adikku, tebak apa yang kubawa?" Alaster menunjukkan kotak itu dengan perasaan bangga. Jangan menyuruhku menebaknya! Aku tidak tau! Aq