"Yang Mulia!"
Zeline menghampiri kekasihnya yang sedang menyendiri di lorong atas, memperhatikan pesta dari kejauhan.
Zero yang saat itu sedang meminum segelas wine-nya langsung beralih, menatap wajah Zeline. "Hai, Zeline," sapanya.
Zeline tersenyum manis, biasanya, senyuman ini selalu sukses meluluhkan hati sang putra mahkota. "Anda tidak menikmati pestanya? Mengapa anda menyendiri di sini?"
"Tidak, aku hanya sedang terpikirkan sesuatu." Zero kembali menatap kerumunan pesta.
Sedari tadi, ada yang mengganjal di hati Zero. Yakni saat ia melihat saudaranya yang menyebalkan— Alken, sedang berdansa dengan teman masa kecilnya.
Hal yang semakin mengganggu, saat Alken dan Aquila tertawa bersama-sama tatkala Aquila melakukan kesalahan dalam berdansa atau sesekali menginjak kaki Alken.
Tidak. Zero yakin ini bukan perasaan cemburu. Ia hanya merasa aneh? Karena Aquila yang ia kenal sangat anti dengan cowok lain. Karena bagi Aquila,
Ahn bilang ini bukan pertemuan resmi. Jadi Aquila tidak perlu repot-repot menggunakan korset yang menyesakkan ataupun menggunakan gaun dan sepatu hak tinggi. Ia hanya menggunakan baju sederhana yang biasa digunakannya saat santai— meskipun masih berbentuk dress tapi tidak sekompleks dress yang digunakan untuk pertemuan resmi. Aquila menguap. Ini sudah malam tapi Zero mengajaknya bertemu? Anak itu tidak punya etika, ya? Ditambah lagi, Zero benar-benar tidak jelas. Ia hanya mengatakan 'bertemu di tempat biasa' Aquila bahkan tidak tahu di mana tempat biasa yang dimaksud Zero? Aquila sudah berusaha mengingat-ingat melalui memori dari Aquila yang dulu. Tempat itu terang, banyak ditanami bunga-bunga serta ada sebuah air mancur besar. Aquila menebak, sepertinya itu kebun kerajaan? Yang menjadi masalah. Aquila tidak tahu dimana letak kebun itu! Ia bahkan tidak hafal denah kerajaan ini! ISTANA INI TERLALU LUAS! "Sialan k
"Dulu kita selalu bersama, ya?" Zero menatap wajah Aquila, tangannya membelai rambut pirang teman masa kecilnya itu."Iya," Aquila menimpali. "Namun segalanya berubah saat Zeline datang." Ujarnya tanpa sadar....Tunggu.Seperti ada yang salah.EHHHH?!?!Mati! Aquila salah bicara.Bagaimana ini?!"Eh, tidak, maksudku," Aquila panik sendiri, Zero tidak akan marah, lalu mengeksekusinya karena ucapan Aquila tadi, 'kan? "Untung saja Zeline datang, jadi kau bisa bersama orang yang jauh lebih baik dariku."Aquila tersenyum kaku. Sejujurnya ia sendiri juga tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.Zero tidak bereaksi apa-apa, ia hanya menatap lurus ke arah Aquila. Ekspresinya datar.Apa Aquila salah bicara lagi?"Maksudku, kau beruntung sekali bisa menemukan Zeline. Wanita itu begitu manis dan baik hati, 'kan?" Aquila mengangkat kedua jempolnya. "Tidak sepertiku yang berwajah antagonis, kau jauh
"Bagaimana, apa tidur anda semalam nyenyak?" Zeline bertanya khawatir. "Tidurku? Ah kau tenang saja—" "Nona, saya sungguh penasaran hadiah apa yang telah anda siapkan untuk para pelayan." Zeline tersenyum. Apa ini? Apakah Zeline sengaja memotong ucapannya? Lalu ... Hadiah apa yang dimaksud? "Hadiah...?" Zeline mengangguk antusias, "iya, maksudku, bukan hadiah yang mewah, tapi hadiah sebagai bentuk apresiasi untuk para pelayan karena sudah bekerja keras." Aquila tak dapat merespon. "Oh? Nona Aquila tidak menyiapkan apa-apa, ya?" Zeline merasa canggung, "maafkan saya karena sudah bertanya, nona," "Nona Aquila sudah menyiapkan sesuatu!" Kali ini Ahn yang menjawab. Ia tidak terima Aquila direndahkan begitu saja. "Oh, begitukah?" Wajah Zeline terlihat cerah. "Aku sungguh penasaran, apa itu?" "Yang jelas, hadiah yang disiapkan nona Aquila begitu bagus!" Ahn menyahut lagi. "Wah, sesuai dugaan, n
"ALASTER?!" Alaster langsung keluar dari tempat persembunyiannya, ia mendekatkan telunjuknya ke bibirnya, memberi isyarat kepada Aquila untuk diam. "Hey, adikku, kau tidak mau para prajurit itu menangkapku, 'kan?" Alaster bertanya. "Maka dari itu, jangan berisik." Aquila mengangguk-angguk. "Kau, ada keperluan apa di sini?" Tanya Aquila berbisik. "Untuk bertemu denganmu, tentu saja," Sahut Alaster. "Memangnya apa lagi?" "Tapi kenapa harus bersembunyi di semak-semak? Memangnya tidak ada tempat lain?" Aquila bertanya keheranan. Tidak bisakah Alaster sedikit menjaga kewibawaannya sebagai seorang bangsawan? "Adikku, asal kau tahu, itu adalah tempat yang paling aman." Sahut Alaster. "Oh iya, tujuanku ke sini adalah..." Tangan Alaster terlihat merogoh isi dari tas jerami yang ia bawa. "Ta-da!" Ujarnya bangga seolah memperlihatkan sesuatu paling berharga yang ia punya. Aquila mengernyit, tapi sesuatu yang ditunjuk
"Nona Zeline," kali ini Aquila balas menatap sinis. "Menurut pendapat saya, orang yang mendekati Putra Mahkota karena mengincar hartanya, itulah yang lebih palsu." Kali ini Zeline yang terdiam. Aquila tersenyum penuh kemenangan. "Saya tahu apa yang anda rencanakan dengan Baron Aideos." Sambungnya. Zeline tak berkutik lagi. Apakah ini bisa dibilang skakmat? ... Zeline tak menjawab apa-apa? Aquila yakin, Zeline saat ini sedang terkejut dan bertanya-tanya, dari mana Aquila mengetahuinya? Tapi reaksi Zeline sungguh di luar perkiraan. "Apa? Pfffttt," Zeline menutup mulutnya, berusaha menahan tawanya. "Ah, maaf, Nona Aquila, tapi anda benar-benar lucu!" "Apa?" Tanya Aquila tidak senang. "Nona, anda tidak menganggap saya akan merasa terancam karena hal itu, kan?" Tanya Zeline. "Lucu sekali menatap wajah penuh percaya diri anda saat mengatakan hal tadi." Zeline menyeka air matanya, "ah, biar saya
Bagaimana ini, sepertinya Aquila telah tersasar?! Aquila menoleh ke arah kanan dan kirinya, tadi ia sedang berjalan-jalan santai di sekeliling istana. Tapi nampaknya ia tak dapat mengingat jalan mana yang harus ditempuh, alhasil ia justru tersesat di area ini. Tidak, bukan salahnya, salah istana ini yang terlalu luas. Mata Aquila menatap salah satu kereta kerajaan yang bergerak mendekatinya. Kereta itu berhenti, turun seseorang dari dalamnya. Aquila terpaku. Orang itu ... Rambutnya yang berwarna biru muda terang serta bola mata yang berwarna biru laut. Orang itu ... Aquila tidak tahu siapa dia. Ah, ia baru tahu setelah mencarinya di dalam ingatan. Orang itu adalah Iluka de Athanasius, salah satu pangeran di kerjaan ini. Ia adalah adik dari Zero! Iluka yang menangkap keberadaan Aquila berjalan mendekat, ia mengusap rambut birunya. "Selamat pagi, kak Aquila." Iluka ter
"Bagaimana Aquila, kau melihatnya, kan?" Zero tersenyum puas, merasa bangga karena berhasil memperlihatkan kemampuannya di depan Aquila. Aquila mengernyit, kalau boleh jujur, sebenarnya ia tidak peduli. "Iya, Yang Mulia." Aquila memasang senyum palsu. Kalau orang di depannya ini bukan pewaris resmi kekaisaran, Aquila pasti sudah mengumpat di depan wajahnya. "Ah, ternyata sejak tadi nona Aquila menonton," Iluka menggaruk tengkuknya. "Aku jadi merasa malu karena belum bisa menunjukkan yang terbaik di depanmu." "Kau tenang saja, tidak perlu merasa seperti itu!" Aquila merasa tidak enak, ia tak mau tokoh favoritnya merasa rendah diri. Zero mendengus tidak senang, ia merasa bahwa sikap Aquila terhadap dirinya dan terhadap Iluka benar-benar berbeda! "Kau," Zero berucap kesal, tangannya memainkan rambut bergelombang Aquila. "Tadi kau bilang, kan, kalau aku berhasil mengalahkan adikku, kau akan memberikanku hadiah
"Nikahi Aquila supaya posisimu menjadi kuat, lalu jadikan Zeline sebagai selir setelahnya." Zero mengusap rambutnya kasar. Sejak tadi, kata-kata ayahnya itu terus saja terngiang. Zero bahkan sampai tak dapat fokus pada kegiatannya saat ini. "Kakakku, kalau kau terus melamun seperti tadi, kau bisa-bisa kalah dariku." Ucap Iluka yang sedang membidik panahnya. Cowok itu mengerahkan segala fokusnya, ia melesatkan satu anak panah. Bam! Anak panahnya mengenai angka delapan. Di sebelahnya, Zero sudah bersedia melakukan hal yang sama. Ia menarik panahnya, lalu melepaskannya. Bingo! Anak panah itu mengenai angka sepuluh! Zero tersenyum, merasa puas dengan hasil bidikannya yang akurat. "Kemampuanmu cukup mengagumkan, adikku, tapi masih belum bisa jika dibandingkan denganku," Zero menatap Iluka. Iluka tersenyum tipis, ia mengangguk. "Mari kita lanjutkan lagi permainannya." Zero meletakkan panahn