Di taman belakang, terdapat seorang laki-laki yang sedang membaca buku di bawah pohon mangga. Dia adalah Galih, mahasiswa yang menyukai tempat sepi dan juga buku. Setelah melihat mayat Alvin tadi, dia langsung melangkah ke sini. Bohong jika dia tidak merasa kehilangan, karena semua yang berada di kampus ini sudah dia anggap saudaranya. Dia hanya bisa berharap, semoga Alvin tenang di alam sana dan semoga seberat apa pun masalah yang akan menimpanya, dia tidak sampai melakukan hal seperti itu.
Merasa sudah tidak fokus lagi, dia menutup bukunya pelan dan bersandar pada pohon yang berada di belakangnya. Pandangannya mengarah pada bunga-bunga yang tumbuh subur. Namun, yang menjadi fokusnya bukanlah bunga tersebut, melainkan kertas yang terikat di tangkainya.
"Iseng banget, kasihan bunganya jadi sesak," gumamnya seraya membereskan bukunya, kemudian melangkah mendekati kertas tersebut. Dia berniat melepaskan tali yang mengikatnya.
"Kalau gini 'kan enak." Galih tersenyum tipis, saat berhasil melepas tali yang mengikat batang tersebut. Namun, dia cukup penasaran dengan kertasnya, hingga memutuskan untuk membuka lipatannya.
Galih bergegas memasukkan kertas tersebut ke kantong bajunya. Dia harus memberitahukan hal ini kepada Davin - sahabatnya.
Di sepanjang koridor, dia mencoba untuk bersikap seperti biasa. Hingga akhirnya dia sampai di depan ruang musik, tempat di mana Davin sering mengisi waktu kosongnya dengan bermain alat musik.
"Vin," panggil Galih membuka pintu dan berjalan mendekati Davin yang sedang bermain gitar di sofa.
Davin menoleh, senyumnya mengembang saat tahu siapa yang datang. "Ada apa, Bro?"
"Gue ke sini karena mau ngasih tau lo sesuatu," jawab Galih mendudukkan diri di samping Davin.
Perlahan Davin menurunkan gitarnya, menyandarkannya pada dinding.
"Sesuatu apa?" tanya Davin.
Galih merogoh saku bajunya, mencari kertas yang tadi dia temukan di taman belakang. Kemudian menyodorkannya ke hadapan Davin.
"Apa ini?" Davin menaikkan sebelah alisnya bingung. Dia menatap Galih dan kertas yang berwarna merah itu bergantian.
"Lo enggak lagi nyatain cinta ke gue 'kan?" tanya Davin seraya menggeser duduknya menjauhi Galih. Dia menatap Galih ngeri, takut jika tiba-tiba diterkam. Meskipun sampai sekarang dia tidak memiliki pacar, tetapi dia masih normal. Apalagi Galih adalah sahabatnya, bagaimana mungkin?
"Bodoh!" Tanpa perasaan Galih meninju lengan atas Davin keras. Padahal sahabatnya ini pintar dalam segala bidang, tetapi kenapa dalam hal seperti ini nol besar?
"Baca! Biar pikiran lo enggak dangkal lagi," ujar Galih datar.
Masih dengan ringisan kecil karena lengannya yang dipukul tiba-tiba, Davin menerima kertas tersebut dan membukanya. Seketika rasa sakitnya hilang begitu saja, tergantikan rasa terkejut yang luar biasa. Setelah membaca hingga akhir, dia menatap Galih serius.
"Lo dapat ini dari mana?" tanya Davin kembali melipat kertasnya.
"Di taman belakang," jawab Galih jujur.
"Ayo ke sana! Mungkin ada kertas lagi, karena gue rasa ada kalimat lain sebelum ini," ungkap Davin bangkit dari duduknya.
**
"Maksud lo?" tanya Luna menggeser duduknya lebih dekat ke arah Bella.
Bukannya menjawab, Bella justru meneguk minumannya yang sisa setengah hingga tandas. Sungguh, keadaan jantungnya sekarang sudah tidak stabil.
"Bel, jawab dong! Apa maksud lo?" tanya Luna menggoyang pelan tangan kiri Bella.
"Lun, May, sepertinya dugaan kalian tadi benar. Kalau Alvin ... bukan bunuh diri," ujar Bella menatap kedua sahabatnya serius.
"Apa?" Luna berteriak kaget, membuat beberapa mahasiswa yang berada tidak jauh darinya menoleh.
"Kecilkan suara lo! Ini nih yang enggak gue suka dari lo, selalu heboh," ujar Maya mendengkus kesal. Meskipun baru bersama selama satu tahun lebih, tetapi dia sudah begitu paham dengan karakter kedua sahabatnya.
"He he maaf, gue kaget," ujar Luna cengengesan seraya mengangkat jari telunjuk dan tengahnya, hingga membentuk huruf v.
"Plis, suaranya jangan keras-keras! Ini penting, gue enggak mau ada yang mendengar pembicaraan kita. Tulisan di kertas ini, menggunakan sandi merah putih," kata Bella pelan.
"Pantas saja gue sama Maya enggak bisa baca, ternyata sandi," gumam Luna mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Isinya gimana, Bel?" tanya Maya penasaran. Dia jadi ingin tahu, siapa yang sudah membuat surat itu sampai harus menggunakan sandi. Untung saja Bella paham dengan sandi-sandi, jadinya tahu apa isi kertas itu. Coba kalau tidak, mungkin sekarang mereka plonga-plongo seperti orang bodoh.
"Gue kasih taunya di taman belakang aja ya? Di sini terlalu ramai, gue takut." Tanpa menunggu persetujuan kedua sahabatnya, Bella langsung menarik pelan tangan kedua sahabatnya.
Tanpa mempedulikan tatapan aneh dari mahasiswa-mahasiswi yang dilewatinya, Bella tetap menarik tangan kedua sahabatnya. Dia tidak sabar untuk sampai di taman belakang dan memberitahu isi kertas itu kepada mereka. Bella merasa bersyukur, karena dia lah yang menemukan kertas ini. Entah bagaimana jadinya jika orang lain yang menemukannya. Mungkin sekarang kampus ini sudah gempar dan bergosip sana-sini.
"Bel, gue bisa jalan sendiri." Luna meringis malu.
"Siapa juga yang mau gendong lo," celetuk Maya melirik Luna melalui ekor matanya.
"Diam!" titah Bella menoleh ke arah sahabatnya. Karena tidak memperhatikan jalan, dia menabrak seseorang hingga hampir jatuh tersungkur jika tidak dipegangi oleh sahabatnya.
Sedangkan dua orang yang ditabrak Bella jatuh terduduk, karena tadi mereka sama-sama tidak memperhatikan jalan. Hingga tidak bisa menyeimbangkan badannya.
"Aduh, ma-" ucapan Bella terhenti saat melihat sebuah kertas merah yang terasa familiar di samping laki-laki berbaju hitam yang dia tabrak.
Dengan cepat Bella mengambil kertas tersebut dan memasukkannya ke saku, bersama kertas miliknya.
"Loh, Davin, Galih," ujar Bella kaget saat dua laki-laki yang dia tabrak sudah berdiri tegak. Ternyata yang dia tabrak adalah sahabatnya sendiri.
"Hai, Bel. Lo mau kemana?" tanya Davin ramah.
"Gue mau ke taman belakang, maaf ya udah buat kalian jatuh," jawab Bella dengan raut wajah yang merasa bersalah.
Davin terkekeh kecil. "Kayak sama siapa aja lo. Lagian gue enggak papa kok, cuma jatuh aja. Oh iya, lo mau ke taman belakang 'kan? Bareng aja yuk, gue juga mau ke sana."
Enggak papa gigi lo ompong! Jatuh kok cuma, pantat gue sakit tau, batin Galih kesal.
"Ayok, sekalian ada yang mau gue omongin ke kalian," sahut Bella tersenyum tipis. Sekarang pikirannya sangat kacau, bahkan jantungnya berdegup kencang. Bayang-bayang mayat Alvin tadi kembali terngiang, ditambah dengan isi kertas yang berhasil membuatnya takut.
"Bel," tegur Maya menyenggol lengan Bella pelan. Dia merasa tidak seharusnya mengajak Davin dan Galih saat mereka ingin membahas kertas yang berisi sandi-sandi tadi.
"Enggak papa, ayok!" Bella melangkah mendahului para sahabatnya.
Maya hanya bisa menghela napas pasrah. Lagi pula dia yakin, kalau Bella tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan.
Diam-diam di dalam hati mereka tersenyum senang, karena sudah lama tidak berkumpul bersama seperti ini. Jika para perempuan ada waktu, maka yang laki-laki ada kegiatan lain, begitu pula sebaliknya.
Sesampainya di taman belakang, mereka langsung menghampiri Bella yang duduk bersila di rumput dengan mata terpejam. Mereka mulai mengambil duduk seperti Bella, hingga membentuk sebuah lingkaran.
"Bel," panggil Maya pelan.
Bella membuka mata dan menatap mereka serius. Tangannya terulur, meletakkan kertas yang berada di genggamannya di tengah-tengah mereka.
"Dav, Gal, kalian nemuin kertas ini di mana?" tanya Bella menunjuk kertas berwarna merah yang berada di sebelah kiri.
Galih dan Davin saling pandang, seolah berbicara melalui tatapan. Tentang bagaimana caranya kertas itu bisa sampai di tangan Bella.
"Tadi gue nemuin kertas ini di samping Davin waktu jatuh," ucap Bella seakan tahu apa yang berada di pikiran kedua laki-laki itu.
Luna dan Maya saling senggol siku, merasa bingung dengan apa yang terjadi. Apalagi setelah melihat kedua kertas yang memiliki warna dan tulisan serupa. Satu kertas saja sudah membuat mereka pusing karena tidak paham tentang sandi, apalagi dua.
"Gue nemu di tangkai bunga itu," jawab Galih akhirnya jujur seraya menunjuk jajaran bunga, tempat dia mengambil kertas tadi.
Bella mengikuti arah tunjuk Galih, kemudian kembali menatap sahabatnya.
"Menurut kalian, apa ini penting?" tanya Davin. "Kenapa lo juga punya kertas itu?"
"Gimana gue bisa nilai ini penting atau enggak, kalau artinya aja gue enggak tau," gerutu Luna yang diangguki Maya."Lah, kalian enggak tau kalau ini sandi?" tanya Galih menaikkan sebelah alisnya."Enggak, gue enggak paham soal sandi-sandi gitu," jawab Maya jujur."Gue nemu kertas ini tuh di cermin kamar mandi. Oke, sekarang gue jelasin ya. Ini namanya sandi merah putih, gue mulai dari kertas pertama," ucap Bella mengambil kertas sebelah kanan,kemudian meletakkannya semakin ke tangah."AP - AU - MP - EP - MP - EU - MP - AU - MT - MP - AT - MI - MP - AT - EU - HP - RI - MP - AT.""MT - HP - RI - MP - RT - MP - RU - MP - AT - AP - MP - AT - MT - HP - MI - AU - AT - HI - MP - RI - MP - AT - AT - HH - EP - HP - EU - AU - HI - MH - ET - MH - MP - RI - EP - AU - MP - AI - MP."
Baik Bella maupun Maya, sama-sama terdiam setelah mendapat pertanyaan dari Luna. Mereka berperang dengan hati dan pikirannya sendiri, mencoba meyakinkan diri tentang kertas tersebut. Di satu sisi, mereka tidak yakin karena bisa saja ada orang iseng yang menulis itu. Namun di sisi lain, bisa jadi Alvin memang bukan bunuh diri. Apalagi dengan ditutupnya kasus tersebut, membuat mereka merasa ada yang janggal sekaligus tertantang.Ya, tadi sekitar jam lima sore, pihak kampus memberi informasi bahwa Alvin dinyatakan bunuh diri karena tidak ada bukti selain sayatan di pergelangan tangan. Pihak polisi pun tidak bisa melakukan penyelidikan lebih dalam, karena pihak keluarga dan kampus menutup kasus ini."Benar atau tidaknya kertas itu, yang penting kita sudah memiliki niat baik. Besok, kita harus memberi tau dan meminta izin ke Pak Wiyo. Bagaimana pun juga, kita masih mahasiswi dan enggak ada yang tau kedepannya akan gimana," ucap Bella panjang le
Bella menoleh, seketika dahinya mengernyit samar saat tahu bahwa yang memanggilnya adalah Pak Wiyo."Ada apa, Pak?" tanya Bella."Ajak teman kamu ke ruangan saya!" Setelah mengatakan itu, Pak Wiyo berjalan meninggalkan kerumunan.Meskipun bingung, Bella tetap memberitahu para sahabatnya. Karena tidak mau membuang waktu, akhirnya mereka bergegas menuju ruangan Pak Wiyo. Di setiap langkah, tidak ada yang membuka suara sama sekali. Pikiran mereka berkelana kemana-mana, apalagi setelah melihat kejadian barusan. Keyakinan mereka bahwa semua ini bukan bunuh diri semakin besar. Dua hari berturut-turut, kematian yang begitu mendadak membuatnya terasa janggal.Tanpa terasa, mereka sudah sampai di depan ruangan Pak Wiyo."Permisi, Pak," ujar Bella mengetuk pintu sebanyak dua kali."Masuk!" titah Pak Wiyo dari dalam ruangan.Mereka memasuki ruangan dan melihat Pak Wiyo yang berdiri dengan wajah seriusnya."Saya izinkan kalian menyelidiki
"Untuk masalah mental gue enggak bisa ngomong apa-apa. Apalagi orang yang bersangkutan sudah meninggal. Namun, yang selama ini gue lihat sih sepertinya Bima baik-baik aja, enggak ada rumor atau perilaku dia yang aneh," sahut Bella memejamkan matanya lelah.Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan kepada para sahabatnya. Dia takut jika suatu saat salah satu dari mereka atau bahkan semuanya ikut menjadi korban. Entah benar atau tidak, dia merasa mereka yang menjadi korban adalah orang yang mencintainya.Pertama Alvin, sosok laki-laki yang beberapa hari terakhir sedang dekat dengannya. Selalu datang membawakan dia makanan saat jam istirahat tiba. Mengantarkan pulang dan mengajaknya jalan-jalan untuk melepas penat.Kedua Bima, laki-laki yang beberapa hari lalu mengatakan cintanya tetapi dia tolak. Berkata bahwa sudah mencintainya sejak hari pertama ospek.Jika memang pemikirannya benar, maka akan banyak laki
Bella dan para sahabatnya terdiam kaku di depan pintu. Dari tempatnya berdiri, mereka dapat mendengar tangisan histeris dari mama Bima. Hati mereka ikut sesak, terasa begitu menyakitkan hingga tanpa sadar air mata mereka mengalir deras. "I - ni pasti mim - pi terburuk bagi mereka. Gue enggak kuat dengernya," celetuk Luna sesenggukan seraya menggenggam tangan Bella erat. "Pasti, secara Bima anak semata wayang, cowok lagi. Gue kasihan sama keluarganya," sahut Maya dengan kepala mendongak, berusaha menghentikan air mata yang ingin terus keluar. Davin mengusap bahu Bella pelan, berusaha menenangkan gadis itu yang menangis dalam diam dengan menggigit bibir bawahnya. "Ayo masuk!" Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan, mereka mulai melangkah memasuki rumah Bima. Di sana, di tengah ruang tamu, tampak sebuah peti yang di kelilingi orang-orang. Mereka membaca ayat suci Al-Qur'an secar
"Lo mau ngomong apa?" tanya Galih yang duduk di sofa kamar Bella.Setelah Bella mengatakan ada yang ingin dibicarakan, mereka semua memutuskan untuk mencari tempat paling aman yang sekiranya tidak terdengar orang lain. Dan ya, pilihan terbaik adalah rumah Bella. Selain tidak ada tempat lagi, orang tua Bella juga sibuk bekerja yang berarti rumahnya sepi dan hanya ada beberapa pekerja saja."Duduk di bawah aja yuk! Biar lebih enak ngomongnya, masa iya kalian pisah-pisah gitu," ujar Bella menatap sahabatnya satu-persatu. Maya yang berbaring di ranjang, Luna di depan meja rias, Galih duduk bersandar di sofa dan Davin berdiri di pintu balkon."Iya juga sih," sahut Luna berjalan menuju Bella yang sudah duduk di karpet. "Gue lagi ngaca dan ternyata mata gue sembab banget. Pantas aja kayak enggak bisa melek."Davin ikut mendudukkan diri di samping kanan Bella. "Gue pusing setelah mendengar penjelasan orang tuanya Bima.""Iya, kayak gimana gitu. Kalau emang
"Enggak mungkin lah," sanggah Luna cepat. "Apa pun bisa terjadi, siapa tau yang dibilang Maya benar. Secara dia masih pakai baju yang kemarin, kejadiannya pagi dan enggak ada yang ngelihat dia pas lewat koridor. Seharusnya, kalau emang ada yang lihat 'kan mereka udah rame," papar Bella yang membuat mereka terdiam. Di dalam hati mereka menyetujui apa yang diucapkan Bella. Semuanya masuk akal, tetapi mereka masih merasa sedikit ragu. Karena angin malam begitu dingin, apalagi berada di tempat terbuka seperti rooftop. Apa Bima sekuat itu? Galih menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Daripada nebak-nebak gini, lebih baik besok kita ke rooftop. Mungkin di sana ada petunjuk." "Petunjuk apa?" tanya seseorang yang berada di ambang pintu membuat kelima remaja itu tersentak kaget. "Mama? Mama, ngapain ke kamar aku?" tanya Bella beranjak menghampiri Mamanya. Tanpa memedulikan pertanyaan putrinya, Mama Dea berjalan menghampiri keempat
"Yah, kita boleh berunding dulu enggak di kamar Bella?" tanya Davin menatap menatap Ayah penuh harap. Ayah Shafi menatap orang tua Bella dengan alis terangkat, meminta persetujuan sebagai pemilik rumah. "Boleh, lima belas menit," ujar Papa Dion mengizinkan. "Terima kasih, Pa. Kita ke kamar dulu," pamit Bella yang langsung bangkit dari duduknya dengan senyum lebar. Setelah itu, dia berlari kecil menuju kamarnya diikuti para sahabatnya. Sesampainya di kamar, Maya langsung mengunci pintu karena takut hal seperti tadi kembali terulang. Di mana saat mereka membicarakan hal penting dipergoki oleh orang tua Bella. "Gimana nih, Guys? Gue enggak mau pindah. Sekalipun enggak ada masalah ini, gue juga enggak akan pindah. Gue udah terlalu nyaman, apalagi ada kalian." Luna menatap sahabatnya dengan wajah yang menahan tangis. Di dalam benaknya, dia sama sekali tidak ada pikiran untuk pindah kampus. Bukan masalah uang yang sudah dikeluarkan, tetapi s