“Pak Kaisar, sebentar lagi kita harus rapat.” Suara perempuan yang terdengar lembut dan manja itu tak terbalas. Yang ditanya sedang sibuk melakukan hal lain yang membuatnya tak bisa berkata banyak. Melakukan sesuatu yang menimbulkan suara decapan dan memancing lenguhan lawannya. “Fine. Lima belas menit saja,” akhirnya pemilik nama lengkap Erika Wiratama itu mengalah. “Lima belas menit tidak cukup kurasa,” Kaisar akhirnya membalas dengan suara serak. Pria itu kemudian mendonggak. Menatap mata sekretarisnya sejenak, sebelum memagut bibir perempuan cantik itu dengan sangat menggebu-gebu. “Lima belas menit, Pak. Kalau tidak rapatnya akan terlambat dimulai,” Erika membalas dengan suara sedikit serak dan napas terengah. “Aku bosnya, Erika. Rapat tidak akan mulai jika aku tidak ada.” Erika masih sempat memutar bola matanya, sebelum menggigit bibir bawahnya. Dia terpaksa melakukan itu agar suara rintihannya tidak sampai terdengar keluar. Bagaimana pun mereka sedang ada di kantor. Kais
“Jadi untuk proyek berikutnya mungkin akan lebih baik kita ambil yang minuman kesehatan ini,” Kaisar berbicara sembari membandingkan dua berkas yang tadi diberikan Erika. Setelah tertunda beberapa saat, akhirnya rapat bisa dilaksanakan. Kaisar merasa beruntung karena Flora hanya menyita waktunya sebentar saja. Dan merasa beruntung karena tadi bisa lolos karena perempuan itu menerima panggilan telepon. “Saya minta sampel produknya bisa segera dibuat ya. Kalau bisa sebelum akhir bulan barangnya sudah ada.” Kaisar merasa sangat lega karena sebenarnya ini rapat yang cukup penting yang akan membahas produk baru perusahaan. Apalagi di situasi seperti sekarang ini. Perusahaan keluarga Kaisar bergerak dalam bidang farmasi dan mereka baru saja merangkak naik dari jurang kebangkrutan. Ini membuat Kaisar perlu memutar otak untuk mempertahankan perusahaannya, bahkan membuatnya lebih maju lagi. Yah, walau sebenarnya di sini Kaisar lah yang paling rugi karena harus merelakan masa mudanya. Se
Kaisar menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia yang baru pulang dari kantor, tidak langsung masuk ke dalam rumahnya. Dia butuh untuk mengosongkan pikiran dengan cara merokok. Pria itu bukan perokok, tapi dia kadang melakukannya untuk mengosongkan pikiran atau menemani temannya merokok. “Ck. Sialan banget sih. Kenapa juga sih aku harus nikah sama dia,” geram Kaisar menendang puntung rokok yang baru saja dia buang ke rumput di taman. “Hah.” Helaan napas Kaisar terdengar. Pria itu menatap rumah yang sudah dia tinggali selama kurang lebih dua bulan terakhir. Rumah yang dibelikan oleh mertua dan membuat ego Kaisar sebagai lelaki sangat tersentil. “Kalau bukan demi uang investasi, aku pasti gak akan menikah dengan si bodoh itu,” geramnya benar-benar kesal. “Kalau begini, rasanya lebih baik menghabiskan waktu dengan si murahan Erika,” gumamnya lagi dengan wajah marah. Yes, dia merasa marah. Marah karena pada akhirnya Kaisar lebih memilih menyalahi prisip hidupnya dan menjalin hu
Kaisar memijat pangkal hidungnya. Kepalanya yang sudah penuh dengan pekerjaan, kini harus ditambah bebannya. Membuat kepalanya nyaris pecah.“Argh.” Geraman kesal Kaisar menyentak seisi ruang rapat. Mereka sontak menatap pimpinan tertinggi perusahaan itu, bertanya dengan tatapan mata apa yang salah. Terutama pembawa materi yang sudah terlihat pucat. “Lanjutkan saja,” hardik Kaisar terlihat tak sabaran. Hembusan napas lelah terdengar setelahnya dan Erika yang melihat itu bisa menebak apa yang terjadi. Erika sudah menyampaikan keinginan sang nyonya dan Kaisar tentu menolak ide itu. Padahal Kaisar sudah berusaha menahan diri. Padahal dia sudah berjanji tak akan termakan omongan Erika lagi. Tapi kalau istrinya yang selalu berusaha mendekatkan mereka walau tidak sengaja, lama-lama dia bisa terjebak lagi. Istrinya yang bodoh itu meminta Erika ikut dalam acara bulan madu. Luar biasa kan? “Sialan.” “Kenapa, Pak?” Seseorang yang mendengar gumaman itu bertanya sepelan mungkin.“Tidak ad
Kaisar mengumpat kesal. Lagi-lagi dia baru saja bertengkar dengan istrinya. Dan coba tebak, ini semua gara-gara dia menolak ide bulan madu ramai-ramai. Yeah. Ramai-ramai. Rupanya bukan cuma Erika saja yang diajak, tapi juga beberapa orang teman dan keluarga. Tentu saja ini terasa menyebalkan bagi Kaisar. Mana ada bulan madu rombongan seperti itu? “Kenapa pintunya lama sekali baru dibuka sih?” Kaisar bergumam kesal, sembari terus menekan bel. Lelaki itu menatap pintu unit penthouse mewah di depannya dengan tatapan bimbang. Haruskah dia pergi saja atau haruskah dia menerobos masuk saja? “Masa bodoh. Aku sedang tidak ingin tidur di rumah.” Akhirnya Kaisar memutuskan masuk menggunakan pin yang sudah dia tahu sebelumnya. Dan ya, itu adalah rumah Erika. Sesungguhnya Kaisar punya apartemen sendiri, tapi letaknya lebih jauh. Dia pun pernah dua kali datang ke unit Erika ini. Sekali datang bersama sang adik, sekali ketika akhirnya dia menerima ajakan perempuan itu. Dan ya, dia diberitahu
“Aku bertengkar dengan Kai.” Erika meringis mendengar penuturan Flora. Perempuan blasteran yang menjadi istri dari bosnya di kantor, sekaligus juga bisa dikatakan sebagai sahabatnya. “Dia pergi meninggalkan rumah dan aku tak tahu apa dia sudah baca chatku atau tidak, tapi dia tidak membalas.” Ringisan Erika makin menjadi mendengar hal itu. Dia tahu kalau Kaisar sudah membaca pesan Flora. Hanya saja pria itu menonaktifkan fitur laporan dibaca, sehingga tanda centang dua yang ada pada chat tak akan berubah biru walau sudah dibaca. “Mungkin Pak Kaisar menginap di apartemennya. Dan mungkin saja sekarang dia sudah tidur,” jawab Erika mencoba menenangkan. “Tapi gimana kalau dia malah pergi cari perempuan di klub?” “Ehm... aku rasa tidak. Hari ini kami lembur, jadi beliau pasti lelah dan tak punya tenaga lagi pergi ke tempat seperti itu.” Tentu saja sebagian besar dari kalimat Erika itu bohong. Buktinya Kaisr tadi sempat ada di rumahnya, walau pria itu segera diusir setelah Flora men
“Ngapain sih si Kai pakai acara kabur dari rumah segala?” Erika meringis mendengar pria tinggi di sebelahnya. Dia adalah adik kandung dari Kaisar. Radja Bima Jayantaka. Pria yang berprofesi sebagai model itu, katanya ada yang ingin dia bicarakan dengan kakaknya. Dan di sini lah mereka berada. Di lobi hotel yang tiba-tiba saja dijadikan sebagai tempat menginap Kaisar. Erika tadi sempat menghubungi Kaisar, agar pria itu segera berpindah ke hotel yang tak jauh dari rumahnya dengan sang istri. Ini tentu saja agar Bima tidak curiga. “Saya juga kurang tahu, tapi Nyonya ada di rumah saya,” jawab Erika setengah berbohong. “Oh ya? Kok bisa?” Bima terlihat cukup terkejut. “Sepertinya ini soal bulan madu yang tertunda itu. Mereka sepertinya tidak sejalan soal itu,” jawab Erika kali ini jujur. “Ah, pasti karena Flora mau mengajak banyak orang kan ya? Dia mengajakku juga.” Erika mengangkat kedua alisnya. Mengajak satu orang saja Kaisar sudah menolak, apalagi mengajak lebih dari satu orang.
Suara ketukan jari terdengar sangat jelas karena Kaisar melakukannya dengan sengaja. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja rapat untuk memperlihatkan benda yang terpasang di sana pada lawan bicaranya. Perempuan yang menjadi klien hari ini, terus-terusan menatapnya dengan intens. Dan itu jelas saja membuat Kaisar risih. Dia tak pernah suka dengan perempuan jenis seperti ini. Teman perempuan itu saja mengernyit sebal, apalagi Kaisar yang diperlakukan seperti ini sejak kemarin. Klien yang ditemui Kaisar setelah bertemu sang adik kemarin pun sama ganjennya. Dan itu menyebalkan. “Maaf, Bu. Apa penjelasannya sudah bisa dimengerti?” Erika bertanya dengan nada kesal. Erika sangat pantas merasa kesal karena penjelasannya sedari tadi tidak didengar. Perempuan yang mewakili salah satu distributor obat terbesar itu, hanya memandang Kaisar dan hanya mendengar ketika pria itu bicara. Terlalu menyebalkan. “Oh, apa kau baru saja mengatakan sesuatu?” tanya perempuan itu menoleh sebentar pa