"Sedikit saja tanganmu menyentuh kulitnya, kupastikan kamu berakhir di Rumah Sakit!"Arisha bergerak cepat, mencekal pergelangan tangan wanita itu.Dia tak lagi menggunakan bahasa formal. Terkadang, menghadapi orang yang bersikap kasar, perlu juga sedikit bar-bar agar tak mudah ditindas."Kurang ajar! Lepaskan tangan kotormu dari tubuhku!" murka wanita tersebut. Matanya yang besar melotot.Seorang sekuriti, yang sedang berpatroli mengawasi lalu lintas para wali murid, tak sengaja menoleh ke arah Arisha dan wanita itu. Melihat suasana yang bergejolak, ia berlari menghampiri mereka."Ada apa ini? Jangan membuat keributan di lingkungan sekolah!"Sang wanita tempramental itu memanfaatkan kedatangan sekuriti tersebut untuk memojokkan Arisha."Lihat perempuan gila ini!" adu wanita itu sambil berjuang melepaskan cekalan tangan Arisha. "Dia menyakitiku. Aku menuntut keadilan!"Lagak wanita itu seakan-akan telah menjadi korban fitnah dari sebuah kejahatan besar."Maaf, Nona! Bisakah Anda melep
"Apakah Anda sudah menanyakan bagaimana kejadian yang sebenarnya pada putri Anda?" tanya Arisha, berusaha untuk mengontrol emosi. "Kau menuduh istriku berbohong?" "Bagian mana dari kata-kataku yang menyatakan perihal istri Anda berbohong, Pak? Masalah ini bersumber dari putri Anda. Hal yang wajar jika Anda meminta kesaksiannya secara langsung." "Alah! Alasan! Istriku tidak mungkin asal tuduh." Entah ini merupakan gambaran nyata bahwa jodoh adalah cerminan diri atau pria itu yang gagal menjalankan perannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana istrinya yang meyakini putrinya benar tanpa mau menanyakan kebenarannya, lelaki itu juga menelan mentah-mentah pengaduan sang istri. "Tolong kerja sama Anda, Pak. Mari ikut saya! Tidak enak menjadi tontonan banyak orang," bujuk panitia PPDB tersebut, mulai resah melihat semakin banyak orang tua yang berkerumun. "Masalah ini akan selesai kalau wanita dan anaknya yang nakal itu pergi dari sini. Cuma itu solusinya!" Lelaki arogan te
"Sungguh sebuah kehormatan Anda berkenan mengunjungi sekolah kami, Tuan," sapa sang Kepala Sekolah seraya membungkuk hormat. "Bisa Anda jelaskan apa yang terjadi pada mereka?" tanya Dareen, mengarahkan pandangan pada Arisha dan Silla. Ia sepenuhnya mengabaikan basa-basi sang Kepala Sekolah. "Ah, bukan urusan penting, Tuan. Hanya masalah kecil dan saya pastikan mereka tidak akan lagi berani mengacau di sini." Mata Dareen berkilat berang. Tak seorang pun menyadari hal itu. Mereka semua terlalu fokus menyanjung Dareen. "Benar, Tuan Hart. Kami telah mengusir mereka," timpal Bram, dengan keramahan seorang penjilat. "Orang miskin seperti mereka tidak seharusnya berada di sini." Dareen menatap tajam pada Bram. Rahangnya mengeras. "Siapa yang Anda sebut dengan orang miskin?" "Siapa lagi? Tentu saja mereka, Tuan," sahut Bram, tertawa canggung seraya mengarahkan tangan pada Arisha dan Silla. "Anda tahu, Tuan? Putri wanita miskin itu sangat nakal. Dia telah mem-bully putriku." "Benarkah? A
Plak!Sekali lagi tamparan keras mendarat di pipi Bram."Kau masih ingin menyangkal, huh?""T–Tuan, mereka hanya orang miskin. Bukankah seharusnya Anda berada di pihak saya? Kita sama-sama dari kelas atas. Sementara mereka bukan siapa-siapa!"Rupanya Bram masih tidak peka. Dia berpikir Dareen hanya sedang mencoba membela kebenaran semata.Dug!Kali ini tinju Dareen yang bersarang di perut Bram."Ternyata bukan hanya hati nuranimu yang mati, tapi otakmu pun tak bekerja dengan baik."Dareen mencengkeram dagu Bram dan memutar kepala lelaki itu menghadap Silla. "Lihat baik-baik gadis kecil itu! Apa dia terlihat seperti orang miskin di matamu?"Bukan hanya sepasang mata penuh ketakutan milik Bram yang mengarah pada Silla, tetapi semua tatapan kini tertuju pada satu titik yang sama."Ya ampun, itu kan gaun edisi terbatas dari butik Princess Aurora!" seru seorang ibu, yang juga mendaftarkan anak perempuan ke sekolah itu."Ah, iya. Benar. Aku pernah menginginkan gaun itu untuk putriku," timpa
"Ayo, Sayang! Kita cari sekolah lain," kata Dareen seraya menggendong Silla.Arisha mengekor di belakang."Tuan!""Tuan Hart!"Bram dan Kepala Sekolah berlari mengejar Dareen.Sang Kepala Sekolah mengutuk diri, bagaimana bisa dia tidak mengetahui bahwa Dareen Hart-lah sosok donatur misterius yang selama ini penyokong dana utama untuk kemajuan sekolah tersebut.Mobil Dareen melaju, meninggalkan gerbang sekolah."Aah, mati aku! Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkan semua ini kepala pemilik yayasan?" Sang Kepala Sekolah terlihat panik.Terbersit rasa kesal dalam hatinya terhadap keluarga Bram. Kejadian buruk ini berawal dari putri kecil Bram yang manja. Sayang, dia tak bisa mengungkapkan semua kekesalan tersebut kepada sang pemantik masalah.Di dalam mobilnya, Dareen sibuk menggulir tablet. Mencari referensi sekolah unggulan."Langsung pulang, Tuan?" tanya sopir perusahaan yang mengantar Dareen.Sejenak Dareen menjeda kegiatannya. "Tidak. Putar haluan ke TK unggulan lainnya," sahut
"Woaaah! Lihat! Itu Tuan Hart! OMG! Dia benar-benar datang ke sekolah kita!" "Mana? Mana? Aku juga mau lihat!" Beberapa guru perempuan yang masih berusia kepala dua berlomba-lomba mengintip dari balik jendela kaca. Mereka kasak-kusuk memuji ketampanan Dareen dengan binar mata penuh kekaguman dan mendamba. Kepala Sekolah keluar dari ruangannya. Melihat guru binaannya berkerumun di balik jendela, dia mendeham, "Ehem! Ehem!" Tak satu pun dari mereka yang menggubris teguran darinya. Wanita berusia nyaris setengah abad tersebut mendekat. Ia menarik pundak salah satu dari gadis itu. "Aish! Apaan sih! Ganggu aja! Aku masih betah nih!" omel gadis tersebut tanpa menoleh, seraya menyingkirkan tangan sang Kepala Sekolah dari pundaknya. Ia mengira salah satu temannya yang mengusilinya. Hal tersebut tentu saja membuat wanita paruh baya itu naik pitam. "Bubar! Kembali ke meja kalian!" Hardikan yang diteriakkan dalam jarak dekat tersebut membuat kumpulan para wanita muda itu terperanjat dan
"Selesai!" Arisha menepuk pelan pundak Silla setelah menyampirkan tas punggung gadis itu.Perlahan dia memutar badan Silla agar berhadapan dengannya. Sambil membungkuk, ia tersenyum hangat, "Princess cantik, hari ini mulai bersekolah. Semangat!""Hm!" Silla mengangguk mantap."Hati-hati membuka tempat makannya ya! Kalau Silla kesulitan, Silla boleh minta tolong sama Bu Guru.""Silla pasti bisa. Kak Sha udah ajarin Silla.""Kalau begitu, ayo berangkat!" Arisha membimbing tangan Silla."Tunggu!" cegah Dareen, yang sedari tadi menonton diam-diam interaksi Arisha dan Silla di ruang makan tersebut.Perlahan Dareen mendekati keduanya. Sesaat ia memindai penampilan Silla, kemudian beralih kepada Arisha."Daddy, Kak Sha pagi ini masak enak sekali! Silla juga bawa ke sekolah," lapor gadis kecil itu, tersenyum semringah seraya berlari menyongsong sang daddy.Dareen berjongkok dan merentangkan kedua tangannya untuk menyambut Silla. Kemudian, ia mendaratkan kecupan sayang di kening sang keponakan
"Arisha, tunggu! Aku mau bicara!"Tersadar dari bengongnya, Hanna menyesali keputusannya untuk melepaskan Arisha kali ini. Bergegas ia memburu Arisha dan menyambar lengannya.Arisha menghentikan langkah. Sejenak ia mengembuskan napas kasar. "Saya tidak mengenal Arisha yang Anda maksud, Nona! Tolong lepaskan tangan saya dan biarkan saya pergi! Anda menakuti putri saya."Terpaksa Arisha menahan dongkol dan bersikap biasa saja demi sebuah sandiwara yang sempurna. Dia tidak mau kembali bersama Hanna, apalagi dia tahu persis niat busuk wanita itu."Aku yakin kamu adalah Arisha, temanku. Aku tidak mungkin salah mengenali orang!" Hanna masih teguh pada pendiriannya.Senyum terpaksa terbit di wajah Arisha. "Sebaliknya, saya yang merasa tidak mengenali Anda.""Mommy, ayo pulang!" rengek Silla, menyadarkan Hanna akan kehadiran orang ketiga di antara mereka.Hanna membandingkan wajah gadis kecil itu dengan Arisha.Beruntung Tuhan mengirim Arisha kepada keluarga yang tepat.Hidung dan mata Silla