Lantunan ayat suci Al Qur'an yang terdengar di kedua telinga begitu memasuki kompleks pesantren adalah sesuatu hal membahagiakan. Mobil ku hanya bisa memasuki bagian depan rumah kedua orang tua. Sebuah mobil sudah lebih dahulu memenuhi teras rumah membuatku menggenggam menahan kesal.Aku terpaksa harus menerjang hujan di jalanan dan mengabaikan kontrol kehamilan selepas pulang dari kerja. Jika saja yang memintanya Rania untuk hal lain bukanlah masalah. Sedangkan penyebab diriku harus sampai di tempat ini adalah Halimah yang tidak memiliki perasaan sudah melewati batasannya.Belum sempat beranjak masuk, aku memilih menyalakan perekam suara dan kamera tersembunyi untuk menghindari ada hal diluar dugaan. Setidaknya aku punya bukti untuk menjerat keduanya dan menjadikan senjata melawan ego bodohnya itu. Jika memang peduli bukan cuma peduli saat sudah dewasa. Dimana dia ketika anak itu menangis meminta ASI?"Assalamu'alaikum,"ucapku sedikit kaget begitu menatap banyaknya pria berjaga di pi
Plester luka yang menutup bekas infus di tangan kanan terlihat senada dengan pakaian ku. Setelah dua hari menjalani perawatan intensif, aku diperbolehkan pulang ke rumah. Dibandingkan merepotkan orang lain, aku memilih untuk tinggal di rumah dinas saja. Tetapi kedua pihak orang tua itu tidak mau kalah ingin menjaga ku. Dengan banyaknya pertimbangan dan pembicaraan keduanya, akhirnya Ibu yang memenangkannya.Sekaligus bentuk permintaan maaf pada mertua ku. Sedangkan mertua ku menganggap ini hanya musibah dan semua urusan ada di tangan takdir. Bunda dan Rama terbang ke Madiun pagi tadi. Menyisakan ku bersama Rania dan Ibu di rumah ini. Berita ini begitu cepat menyebar hingga ke rekan kerja. Kecuali persatuan istri prajurit. Hanya Azhara saja yang mendengar kabar itu setelah menelfon beberapa waktu lalu.Aku sengaja tidak ingin mengungkapkan ini pada publik untuk menghindari masalah. Apalagi Dirga juga sudah berada dalam tahap kembali dari tugas. Aku ingin dia baik-baik saja dan tidak me
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Bising jalanan kota seolah bukan hal baru yang terdengar di telinga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tidak menyurutkan keramaian. Dari pinggir kota, sebuah industri masih begitu segar berdiri sepanjang hari. "Mbak Gita apa tidak lagi yang perlu saya kerjakan?"tanya gadis berambut pirang mengemas barangnya.Pertanyaan itu sontak membuat gadis berjilbab di ruangan terpisah kaca mendongak. Kacamata anti radiasinya menambah kesan lelah di wajahnya. "Tidak, terima kasih, Celine,"ucap Gita kembali menatap layar komputer di depannya."Oalah. Saya kira mau menghabiskan pekerjaan sendirian sampai Mbak Gita lembur lagi,"ucap Celine berhenti di depan mejanya."Rencananya begitu. Tapi besok saya ada kunjungan ke Surabaya dan belum bersiap. Duluan saja,"ucap Gita membuatnya mengangguk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.Papan nama Dyah Anggita Anindyaswari di depan mejanya sudah menjelaskan siapa dirinya. Seorang manager muda divisi laboratorium pabrik urea terbesar di Indonesia
Bunyi roda koper yang berpacu dengan lantai dingin bandara terasa seirama dengan derap langkah sneakers yang ku pakai. Seharusnya semalam aku tidur lebih cepat. Jadi tidak perlu terlambat seperti ini."Maaf atas keterlambatan saya, Pak. Saya pastikan tidak akan mengulangi lagi,"ucapku menyusul langkah general manager dan para komisaris besar perusahaan."Anda hanya terlambat tiga detik, Nona Gita. Tidak masalah menunggu perempuan sedikit lebih lama,"ucap pemilik saham terbesar perusahaan.Wajah menawan dan saham yang dimiliki sepadan dengan jumlah istrinya. Pria itu memiliki karakter tak kalah buruk dari playboy jalanan yang kerap meresahkan kaum hawa. Bedanya dengan harta yang dia miliki cukup untuk menarik perempuan. Entah selamanya maupun hanya semalam. I hope you understand what I mean."Bagi saya disiplin adalah segalanya. Tentu itu sangat mengganggu,"ucapku melangkah lebih cepat menjauhi pria aneh itu. Berdekatan dengannya hanya membawa aura negatif. Entah berapa banyak asiste
Author POVPesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi."Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi."Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar."Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.Pria itu menghela nafas pelan me