Hanna tak bisa tidak terpukau setiap kali Solar mengajaknya ke suatu tempat berkelas. Kali ini, ia mengajaknya ke suatu restaurant bintang lima yang berada di suatu hotel berkelas. Sesuatu yang belum pernah ia masuki sepanjang hidupnya.
Baru masuk satu langkah ke sini pun, rasanya Hanna kembali minder dengan penampilannya. Lihatlah orang-orang yang berpakaian mahal nan bermerk dan terlihat begitu elegan. Mereka semua adalah orang-orang berkelas yang setiap hari menghabiskan puluhan juta untuk makan dan minum. Sangat berbeda dari Hanna yang selalu hidup dengan kesederhanaan.
“Apa … aku enggak apa-apa ke sini?” bisik Hanna sebelum melangkah lebih jauh.
“Kenapa enggak? Ini cabang perusahaanku juga, kok,” jawab Solar begitu santai. Sorot mata yang biasanya begitu dingin, kini terlihat begitu teduh. Diulurkannya tangan kanannya pada Hanna. “Ayo.”
Hanna meneguk ludah dan meraih tangan Solar yang terasa begitu hangat. T
Tiga hari setelah pertunangan, Hanna mulai merasakan perubahan dalam kehidupan kampusnya. Setiap kali ia melangkah, punggungnya serasa dihujani tatapan tajam bersamaan dengan bisikan-bisikan yang tak bisa ia dengar dengan jelas. Bahkan di perpustakaan atau di kantin pun, orang-orang di seberang mejanya akan kembali berbisik-bisik.Hanna tahu kalau hampir semua mahasiswa manajemen bisnis mengenali Hamid Coorperation, perusahaan terkaya se-Asia Tenggara. Perusahaan itu seringkali diungkit oleh dosen mereka sebagai contoh nyata. Tetapi ia tidak tahu kalau ternyata berita-berita tentang perusahaan itu seringkali diungkit sebagai bahan gibahan mahasiswa.Dan sekarang, namanya seolah menjadi trending topik di jurusan, sebagai tunangan resmi dari calon penerus perusahaan Hamid Coorperation. Bukannya berita itu tidak benar, tetapi Hanna begitu risih. Kalau mereka membicarakan diam-diam atau di belakang Hanna, sih, tidak apa. Tetapi ini ia gibahin orang tak jauh d
“APA? TUNANGAN!?”Hanna hampir saja melotot, jika tidak ingat wanita di depan ini adalah ibu yang telah membesarkannya selama ini. Begitu mendapat isyarat mata dari sang ibu, Hanna kembali menyandarkan punggungnya di bangku meja makan dengan berat hati.“Iya, tunangan, Nak. Maafkan ibu yang baru memberitahumu sekarang. Soalnya, ini wasiat dari almarhum ayahmu.”Hanna menghela napas panjang dan memijat keningnya yang seketika pening. Daging panggang di depannya tak lagi menggugah selera. Diliriknya sang ibu yang kembali memakan steak ayam dengan elegan, tak terlihat raut bersalah sedikit pun di sana. Pantas saja ibunya mengajaknya ke suatu restoran mewah tanpa mengajak kedua adiknya—sesuatu yang sangat jarang dilakukan oleh ibunya selama ini. Apalagi sampai memesan daging panggang kesukaannya yang lumayan mahal.Sekarang semua logis. Ternyata, ibunya menginginkan dirinya untuk bertunangan dengan seseorang yang te
Semuanya terjadi begitu cepat. Hanya dalam satu jam, ibunya mengungkapkan masalah perjodohan Hanna dengan seorang lelaki mapan, calon penerus perusahaan ternama. Lalu sekarang, tiba-tiba saja lelaki yang dimaksud sang ibu telah datang dan duduk di depan Hanna.Hanna sampai bengong karena otaknya yang biasanya cerdas ini tiba-tiba terasa begitu sulit untuk menangkap apa yang tengah terjadi.“Nah, ini yang tadi Ibu bilang ke kamu, Hanna. Namanya Solar Alexandre, calon tunangan kamu,” ucap sang ibu sambil mempersilahkan lelaki itu untuk duduk. “Nah, sekarang ibu tinggal dulu, ya. Kalian bisa kenalan dulu atau ngobrol dulu. Oke?”“Baik, Tante. Terima kasih, ya.”Hanna mendelik pada lelaki di depannya yang tengah tersenyum sopan. Kemudian ia beralih pada sang ibu yang hendak beranjak pergi. Bibirnya kembali terbuka, tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya lebih lama lagi.Sungguh, Hanna tidak mau ditinggalkan di s
Hanna tahu kalau setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing, tetapi ia masih tidak menyangka kalau hidupnya akan terus ditentukan oleh kedua orang tuanya, termasuk soal perjodohan.Setelah semua yang terjadi begitu mendadak hanya dalam beberapa jam, Hanna tidak bisa tidur semalaman. Benaknya terus mengulang kejadian di restauran layaknya kaset rusak. Ia tidak tahu bagaimana Solar memandangnya semalam, yang pasti ia hanya bisa berharap kalau tingkahnya enggak malu-maluin.Setelah mengantarnya semalam, Hanna tahu kalau Solar sempat berbincang sesuatu pada sang ibu, tetapi ia keburu masuk ke dalam kamar. Dan sekarang Hanna hanya bisa berharap kalau Solar tidak mengatakan hal yang aneh-aneh pada ibunya.Karena terus kepikiran, akhirnya Hanna baru bisa terlelap saat jam tiga subuh. Sialnya lagi, ia lupa kalau ada kelas pagi. Alhasil, ia melewatkan sarapannya dan hampir saja telat pada kelas si dosen killer nan pelit nilai, Pak Johan.“Duh, lapar
Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa Hanna jelaskan pada dua teman dekatnya ini tentang hidupnya. Bukan karena tidak percaya, melainkan karena ia tahu mana batasan yang harus diceritakan dan mana yang tidak. Karena terkadang, seseorang tak butuh nasihat, tetapi hanya butuh didengar.Hanna kembali melihat layar ponselnya setelah tertera nama “Aufan” di notice paling atas. [Tidak apa kalo kamu mau ke sini besok. Kondisiku sudah membaik. Kamu bisa bebas bercerita apapun besok.]Hanna tersenyum tipis dan hanya membalas pesan tersebut dengan stiker acungan jempol. Ia jadi tidak sabar bertemu dengan sang empunya nama.“Lagi senyum sama siapa?”Hanna terlonjak kaget, menyadari Solar yang telah menunggunya dari tadi. Buru-buru ia memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian terkekeh canggung.“Bukan siapa-siapa. Ah, maaf ya aku lama. Kamu udah nunggu dari tadi?” tanya Hanna, berusaha merubah
Hanna menatap cemas pada ikon baterai di layar ponselnya yang menunjukkan angka 5%. Sebelum ponselnya benar-benar mati, ia harus mengirimkan pesan singkat pada Solar supaya tidak menjemputnya di kampus. Bisa gawat jika Solar menunggunya selama berjam-jam.[Solar, maaf aku lagi enggak di kampus sekarang. Kamu enggak perlu repot-repot menjemputku. Lalu, bateraiku tinggal 5% jadi aku enggak bisa menghubungi kamu nanti. Maaf, ya.]Setelah mengirimkan pesan tersebut, ponselnya benar-benar mati. Hanna pun merutuki dirinya yang ceroboh karena tidak membawa charger di saat genting seperti ini. Andaikan saja ia punya powerbank, pasti ia tak perlu risau dengan keadaan baterainya.Hanna menghela nafas panjang, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan kembali menyusuri pada lorong rumah sakit. Dilihatnya beberapa pasien yang tengah berlalu lalang ditemani perawat. Biasanya, jam sore adalah waktu yang paling ramai untuk membesuk. Namun, sekarang rasan
Matilah aku. Mereka benar-benar sudah menungguku lama dari tadi! batin Hanna panik.Hanna tersenyum paksa di tengah dua keluarga yang berbincang hangat. Di sebelah kirinya, ada sang ibunda tercinta yang selalu memasang senyuman manis, terlihat sangat senang akan kedatangan kedua tamunya ini. Bolak-balik ia selalu mempersilahkan tamunya untuk mencicipi camilan dan meminum teh selagi hangat.Sementara di sofa seberang, ada calon tunangan beserta bapaknya yang tengah menyesap teh panas hangat. Keduanya mengenakan balutan kemeja hitam yang tampak mahal dan sangat rapi. Aroma parfum khas pria kaya tercium sampai di tempatnya. Hanna semakin minder jika menyandingkan dirinya dengan mereka. Bahkan cara minumnya pun benar-benar penuh tata krama.Duh, Hanna jadi tidak bisa membayangkan kalau ia benar-benar menjadi istri dari seorang calon pewaris perusahaan ternama. Ia sangat-sangat minder. Soalnya, bau rakyat jelata dan konglomerat itu beda jauh!“K
Hanna tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Setelah Solar membalas pesan singkatnya dan mengajaknya untuk bertemu setelah makan siang, sosok pria tampan itu langsung memenuhi isi kepalanya. Memikirkan apa yang sepatutnya mereka bahas, atau bagaimana mereka berbincang nantinya, Hanna terus mencari cara agar percakapan mereka tidak lagi canggung dan awkward sampai ia gemas sendiri dengan pikirannya itu.Dan sekarang, ia bahkan berpenampilan rapi dan memoleskan make up tipis. Surai hitam sepunggungnya itu ia biarkan tergerai rapi. Karena jam kuliahnya hari ini berakhir tepat sebelum jam makan siang, ia sampai membawa pouch make up yang jarang sekali ia sentuh jika tidak ada urgensi untuk bertamu.Menatap pantulan wajahnya di cermin, Hanna sudah lupa kapan ia terakhir kali mendandani dirinya serapi ini sebelum kuliah. Biasanya, ia tidak terlalu memedulikan penampilannya. Namun, kali ini tentu saja berbeda. Hanna harus memantaskan penampilannya setara