Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?
Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.
Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahrend grup di sana dan aku benar-benar lolos seleksi akhir. Aku pun bersyukur karena sepertinya keterpurukan ini tidak akan bertahan lebih lama.
Hari ini juga, aku akan memasuki dunia perkantoran dan menjadi karyawan tetap dengan gaji yang lumayan. Aku tidak akan peduli dengan seberapa beratnya, aku hanya memikirkan bagaimana keluargaku bisa menjadi lebih baik.
“Kak Disa, mama, ayo makan!” teriakku yang sudah menyiapkan semua makanan. Satu persatu mereka muncul, dengan papa yang di dorong dengan kursi roda oleh mama.
Kamu duduk di antara meja makan yang tidak sebesar dulu lagi, tapi cukup leluasa untuk acara makan kami bersama. “Kamu kelihatan senang, apa sesuatu terjadi?” tanya papa yang memang sering kali memperhatikanku.
Aku pun tersenyum. “Aku keterima di Syahrend grup pa, doain ya Dara terus bertahan,” kataku yang merasa jika sudah mencapai sesuatu, mempertahankannya itu lebih sulit dari pada mencapainya.
“Serius? Wah, kedua anak mama ini memang bisa diandalkan ya. Tak lama lagi, kita bisa kaya seperti dulu,” kata mama dan diangguki oleh kak Disa, hanya aku dan papa yang merasa tak nyaman.
Setidaknya kita tidak kekurangan, itu sudah cukup. Terlalu jauh untuk berpikir kita bisa menjadi kaya seperti dulu karena perjuangan papa tidak hanya dua atau tiga tahun. Namun, puluhan tahun mulai dari kami kecil sampai sebesar ini.
“Ma, yang penting kita tidak susah untuk makan. Papa harap, mama atau Disa untuk berhemat. Tidak enak juga, keluarga Obi sudah menanggung hutang-hutang kita, tapi kalian masih tidak suka berhemat.” Papa mencoba untuk memperingatkan mereka berdua, sepertinya papa tahu mama membeli beberapa tas dan sepatu baru untuk kak Disa dengan perhiasan mama. Alasannya, agar kak Disa tidak malu saat bekerja diperusahaan Okta, apa lagi ia akan bertunangan dengan Okta nantinya.
Hanya saja, keduanya tidak benar-benar berpikir, jengan penampilan seperti itu jika tante Maya atau om Obi memperhatikan, bahkan itu Okta. Mereka pasti akan berpikir macam-macam, kalau kami tidak benar-benar berhemat dan memikirkan bagaimana menangani hutang kami.
“Sudah lah Pa, ini juga untuk kebaikan kita. Mama, tidak ingin Disa malu dihadapan orang-orang yang tahu jika Disa sebentar lagi akan menjadi menantu mereka,” bela mama dan pasti akan seperti itu.
Papa menghela napas. “Kalau mama memang berpikir seperti itu, maka tidak apa-apa. Tapi, seharusnya mama juga berpikir tentang Disa juga. Ia juga butuh baju baru untuk bekerja, selama ini uang tabungannya yang sering kita pakai,” kata papa yang membuat mama memandangku tak enak. Secara tidak langsung papa berkata jika selama ini sudah menggunakan uangku sampai menipis, sementara mama masih memiliki simpanan perhiasan yang ia keluarkan untuk membeli baju kak Disa.
Semenjak dulu, aku sudah terbiasa dengan mama yang lebih memperhatikan kak Disa dibandingkan diriku. Jadi, hal yang terjadi saat ini aku akan menganggapnya sebagai hal yang wajar.
“Aku sudah punya kok, Pa. Kemarin baru beli dan aku sudah selesai makan,” kataku yang langsung berdiri. Aku tidak akan mengatakan jika aku baik-baik saja, hanya saja berharap pada sesuatu yang tak pasti akan selalu melukai diri. Jika mama memiliki niat baik untuk memperbaiki hubungan ini, maka mama sudah melakukannya. Namun, tahun demi tahun telah berlalu dan mama masih tetap sama meskipun aku telah lama meninggalkan rumah untuk kuliah di luar kota.
Papa menatapku prihatin dan mama merasa tidak nyaman, hanya kak Disa yang tidak peduli dengan semua ini. Mungkin, takdirku memang seperti ini, tapi aku sudah tidak perlu menghiraukannya lagi. Aku hanya ingin papa cepat sembuh dan tak terlalu memikirkan apa pun lagi karena setelah ini aku akan memenuhi kebutuhan keluarga ini dengan gajiku.
---***---
Polusi Jakarta bukan lagi sebuah omongan belaka, pukul setengah tujuh pagi aku harus menghadapi hiruk pikuk kota yang begitu padat. Ini hari pertamaku dan aku tidak boleh terlambat, mengingat ceo ku itu pandai mencibir, bahkan mempermalukan orang. Bisa-bisa kalau aku terlambat dihari pertamaku, ia akan mempermalukanku pada karyawan seisi kantor. Itu sangat menyebalkan sekali.
Dengan berjalan cepat, setelah menaiki bus. Aku pun berupaya agar tidak terlambat. “Masih tersisa 10 menit lagi dan gedung kantor sudah terlihat.
Tiiit
“Astaga!” Aku memekik karena aku hampir saja terjungkal dan rasanya ingin memaki sosok yang bersembunyi dari balik mobil mewah yang sepertinya merk Lamborgini terlihat hitam, pasti saat malam akan seperti bayangan yang menyelinap di jalanan.
Namun, dari pada membahas semua ini. Aku benar-benar ingin mengumpatinya. “Keluar dan minta maaf!” teriakku dan pintu depan terbuka ke atas. Panjang umur sekali cowok ini, baru saja aku membicarakannya. Seperti punya telepati saja, seolah ia bisa mendengarkan apa yang aku katakan. Regan Syahrendra, kalau tidak salah itulah namanya. Aku melihatnya diprofil perusahaan.
“Kamu telah menghabiskan waktu 7 menitmu untuk mengoceh. Jangan berharap di hari pertama, kamu akan mendapat pemakluman karena karyawan baru. Aku bisa memejatmu tanpa pertimbangnya,” katanya dengan sangat sadis. Aku tidak bisa memprotes untuknya sekarang.
Aku pun berdecak dan berlari kencang meskipun aku memakai high heels. Cowok sialan itu lama-lama menyebalkan juga, ingin rasanya aku menendangnya. Untung saja aku sudah terlatih dengan high heels ini saat menjadi sales kosmetik untuk kerja paruh waktuku.
Aku pun menoleh beberapa saat, mobil lamborgini hitam miliknya mendahuluiku dan ia sengaja tak menutup kaca mobilnya. Hanya mengembangkan senyuman meremehkan itu. “Ah, menyebalkan!” gerutuku yang tidak tahan dan tidak mengerti kenapa orang itu harus memprovokasiku. Bahkan dengan wajah rupawan yang aku yakin cukup digilai para cewek di sini. Hanya saja, aku merasa ilfil dengan orang ini luar dalam. Itu akan bertahan selamanya.
Akhirnya aku sampai, dijam tujuh pas. Aku lega bukan main, meskipun napasku tersengal-sengal tak karuan. Aku pun berjalan cepat untuk masuk divisi pemasaran dan di sana aku sudah disambut oleh seseorang. “Adara?” tanyanya dan aku mengangguk.
“Iya pak, saya Adara,” kataku dan pria berkacamata dengan kumis tepal ini menelitiku.
“Apa hubungan kamu dengan pak Regan?” tanyanya yang membuatku bingung. Hubungan apa? Aku mencoba memikirkannya dengan keras.
“Maksud bapak?” Aku pun bertanya.
“Itu ka-“
“Arghhh, aku dipecat!”
Teriakkan seseorang membuat perhatian kami teralihkan. Sosok wanita yang nampak seperti model berbalut pakaian kerja berdiri dan menangis. Teman-temannya segera datang, tidak menolongnya malah sibuk dengan computer wanita itu.
“Kamu dipecat karena durasi bekerja semakin berkurang dan lebih menghabiskan waktumu untuk berdandan di setiap kesempatan. Belum lagi kencan romantis dengan Ardan, jadi selamat kalian sudah bukan lagi bagian dari Syahrend Grup. Jadi, kalian bisa berkencan dengan bebas sekarang. Sekian dan terima kasih!”
Salah satu karyawan pun membacakan pesan pemecatan yang kejam ini. Bagaimana bisa, ia memecat orang dengan tidak manusiawi.
“Kau sudah melihatnya?” Tiba-tiba suara pria berkacamata dan berkumis tebal ini menyadarkanku. Ia pun berjalan mendekat, seolah ingin berbisik kepadaku. “Selamat memasuki kandang harimau yang penuh dengan ranjau,” bisiknya yang tentu membuatku terkejut bukan main.
Apakah aku benar-benar salah memasuki tempat ini?
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema
Rapat dibuka dengan beberapa riset secara garis besar dari divisi pemasaran yang tentunya akan sangat membantu kami untuk mempersiapkan beberapa poin untuk menentukan harga dan kebutuhan konsumen. Tak lupa, pembukaan rapat yang luar biasa dari ceo kita yang menakjubkan, Regan. Sekarang, sepertinya aku pun ikut-ikutan kagum sama dengan karyawan yang lain.“Jadi, apa kalian memiliki usulan?” tanyanya yang menatap kami bergantian. Setiap lekuk wajah yang tajam tentunya sangat menghipnotis para kaum hawa. Suara bass yang karismatik itu apa lagi. Ah, sepertinya aku menjadi gila hanya dengan melihatnya di depanku.Adara sadarlah!“Adara, apa kau memiliki usul?”Mampus! Bagaimana bisa ia bertanya kepadaku? Karyawan baru dan aku pun memandangi Sisi yang berusaha menggerakkan tangannya untuk menyemangatiku, sementara karyawan cewek yang lain melirikku dengan sinis. Lalu, pak Santoso ya
Setelah kejadian itu, aku sering sekali diperhatikan oleh karyawan cewek yang begitu menyukai Regan. Tak jarang dari divisi lain mampir kemari hanya untuk melihat aku yang katanya cewek paling diinginkan pak Regan seentero Syahrend Group yang memiliki banyak cabang di seluruh Indonesia. Aku tidak terlalu yakin, tapi Sisi menceritakan hal ini berulang kali dan menggebu-gebu.Seperti saat ini, sepertinya kami harus lembur dan setiap hari harus lembur. Ini sebenarnya bagus, karena aku tidak perlu pusing-pusing untuk menghindari makan malam dengan keluarganya Okta. Aku juga lelah melihat kak Disa berakting atau Okta yang tidak bisa sadar jika pada akhirnya ia harus lebih memperhatikan kak Disa dari pada aku.Meskipun pada akhirnya Okta selalu mengirim pesan untuk membuatku segera berhenti dari pekerjaan ini. Aku selalu mengabaikannya, lama-lama aku merasa risih juga dengan bom pesan darinya.“Ada apa? Kelihatannya kamu
Saat acara makan dimulai, rasanya susah untuk membuka mulutku karena ia terus menatapku dengan tatapan yang benar-benar menusuk. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ia pikirkan saat ia berhasil menunjukkan tatapan seperti itu. Maksudku, bisa dikatakan kami hanya bertemu beberapa kali tapi ia seolah tahu segalanya tentangku.“Jadi Okta itu siapa? Pacar kamu?” Sisi yang tidak peka ini bertanya dengan sangat lantang dan jelas, membuatku harus melirik pada Regan serta Guntur. Namun, ini bagus juga maksudku aku bisa sekaligus menjelaskan jika saat di depan kantor waktu itu bukanlah acara pacaran.“Bukan, dia calon tunangan kakakku,” kataku dan aku harap ia akan berhenti membulliku setelah mendengarkan hal ini. Namun, apa yang aku dapat? Ia tersenyum sinis.“Jadi kau bertemu dengan tunangan kakakmu secara diam-diam?” Ia mencoba menebak sekaligus membuat masalah denganku.
Setelah mengatakan kata-kata yang tidak pernah ku katakana sebelumnya, aku memilih memasuki toilet dan duduk termenung di atas wc duduk. Penyesalan tiba-tiba saja datang dan merasa tak sepantasnya aku berbicara seperti itu kepada kak Disa dan Okta. Entah mengapa, aku merasa lelah harus menghadapi sikap sok polos mereka. Membiarkan diriku sendiri menahan segala emosi pun terasa tidak adil. Mereka bisa bertingkah bebas sesuka hati, sementara diriku harus terus berupaya untuk menjadi manusia yang baik.Setelah perenungan, aku memilih untuk keluar dari toilet dan aku sedikit bingung saat para cewek tersenyum sembari berbisik yang sedikit ku dengar membahas cowok ganteng yang sedang berdiri di depan toilet wanita.“Siapa ya ceweknya?”“Beruntung banget ya ceweknya.”Aku melihat beberapa yang masuk ke dalam toilet dan sepertinya aku juga penasaran. Seberapa ganteng cowok itu sampai
Pukul lima pagi aku sudah selesai sholat dengan agenda lanjutan untuk beres-beres rumah. Semalam aku harus pulang jam sebelas malam dengan berbagai hal yang harus ku kerjakan. Seluruh tubuhku lelah, tetapi aku tidak akan menyerah hanya karena ini.Sembari mencuci piring, aku memikirkan beberapa hal. Salah satunya dengan sikap aneh bosku itu. Maksudku, kenapa ia terus-terusan menggangguku seperti itu?“Dara ….” Aku menoleh dan mama sudah bangun, berdiri di sampingku.“Iya, ada apa Ma?” tanyaku dan mama tersenyum. Aku sudah bisa menebak, kata apa yang selanjutnya mama akan katakana.“Seminggu lagi Disa tunangan sama Okta dan papa memutuskan acaranya akan diadakan di rumah kita,” kata mama yang aku tahu apa yang membuat papa mengatakan ini, semua karena keluarga om Obi sudah berbuat terlalu banyak untuk kita. Seharusnya kita semua mandiri, sesulit apa pun ekono
Sudah lebih dari tiga puluh menit setelah kak Monica dipanggil dan tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Aku memandangi semua orang-orang yang berada di ruangan divisi pemasaran ini, mereka sama cemasnya sepertiku.Namun, tak lama pak Santoso datang dan berjalan mendekatiku. Ekspresi ketakutannya jelas dan aku rasa ia akan memarahiku habis-habisan karena semua ini terjadi karena aku yang kata orang menyita perhatian pak Regan sialan itu. Padahal, cowok itu yang bersikap berlebihan denganku.Sekarang aku jadi mengerti, yang Sandy maksud dengan posessif gila dan tidak mau Bagas menjadi cowok seperti itu. Tetapi, ironisnya aku dan Regan tidak memiliki hubungan apa pun? Seharusnya pemikiran ini tidak benar, kan? Mungkin saja ia sedang berusaha untuk mendisiplinkan kak Monica.“Dara …,” panggil pak Santoso. Aku mendengarkan helaan napasnya yang panjang. Mungkin dalam sejarah hidupnya selama bekerja, ini pertama kalinya ia menangani kasus dimana dua
Tidak ada kata yang pantas untuk menggambarkan perasaan berkecambuk dalam diri. Selama berhari-hari aku berusaha menghindarinya untuk melarikan diri dari perasaan terhina. Aku memang bukan siapa-siapa yang patut untuk ia hargai, hanya saja ini tak terlalu adil karena aku tidak pernah berusaha untuk mengganggunya dalam hal apa pun. Tetapi kenapa? Aku harus terus menerima hinaan darinya?“Kenapa kita harus makan sembunyi-sembunyi?” Sisi menatapku bingung, sudah tiga hari ini ia bertanya dan aku tak menjawabnya.Aku bahkan juga tidak ambil pusing dengan hari pertunangan kak Disa yang semakin dekat dan mama yang terus mendesakku untuk mendapatkan uang dua puluh juta. Seolah aku merasa rela jika mereka bersama, setidaknya setelah ini aku tidak harus pusing menghadapi kak Disa yang selalu cemburu karena kedekatan kami.“Dara, kamu aneh setelah keluar dari ruang pak Regan. Apa yang terjadi saat itu?” tanyanya