Aku tidak dengan hidup yang seperti temperature kadang dingin, kadang panas, kadang panas dingin beraduk menjadi satu. Aku juga tidak mengerti kenapa aku mengatakan hal semacam ini dan semua itu penyebabnya karena sehabis menikah aku berada di ruang kerja Regan dan harus mengetik beberapa laporan ditengah-tengah kelelahan mendera.
“Kalau keybord itu rusak, kamu harus menggantinya,” katanya yang memandangku dengan datar. Menyebalkan! Masih untung aku sedikit menekannya dalam menggunakannya, bagaimana kalau aku lemparkan semuanya bersama laptop mahal ini.
“Aku lelah, bisa tidak aku tidur? Masih ada besok kan untuk mengerjakannya?” mohonku dan ia yang juga mengetik menghentikan aktifitasnya.
Lihatlah wajahnya yang masih segar itu, semua itu adalah kecurangan. Bagaimana dia bisa membandingkan diriku dengannya? Aku hanya manusia biasa yang membutuhkan istirahat dan yang seorang penyihir jelas bisa bertahan sampai kapan pun.
“Tidur
Masih jam delapan pagi, saat mobil kami telah sampai di depan perusahaan. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin satu mobil dengannya dan menyebabkan kegaduhan. Tapi, ia mengatakan jika ini adalah sesuatu yang lumrah jika sekertaris datang ke kantor dengan bosnya karena mungkin saja mereka beranggapan jika kita memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.Aku berjalan beriringan dengannya, lebih tepatnya aku berusaha untuk mengimbangi langkahnya yang lebar itu. Belum lagi aku harus membawa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini yang sudah dapat dipastikan akan menjadi hari yang berat. Kalau dipikirkan dengan baik, tidak ada jadwal yang tidak padat. Mungkin, jika dulu aku tidak mengetahui identitasnya yang bukan manusia, aku akan menjulukinya sebagai manusia yang kuat. Namun, sekarang aku tahu siapa dia, hal semacam ini tentunya bukan perkara yang sulit. Hanya saja yang membuatku dongkol bukan main adalah ia tidak sadar jika menjadikan kami manusia biasa sama seperti dirinya.
Kami sudah sampai di sebuah restauran yang cukup mewah dan tentunya hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk kemari. Tempatnya begitu elegan dan dengan ornamen-ornamen tak kalah mewah. Sejujurnya aku tidak bisa tinggal terlalu lama di tempat yang terlalu mahal ini. Aku takut nantinya, malah aku tidak sibuk mencicipi makanannya, tapi malah bingung dengan seberapa banyak uang yang dihabiskan. Sungguh, ini terlihat seperti pemborosan dilevel yang tak biasa menurutku. Dengan langkah per langkah yang semakin memberatkan kakiku untuk melangkah terlalu dalam. Hanya saja, lagi-lagi Regan mundur dan merangkulku kembali, membuatku harus terus mengikuti langkah kakinya. "Kalau kamu tidak mempercepat langkahmu, aku akan langsung menggendongmu," tuturnya dengan tenang dan tingkat kedataran yang menyebalkan.Aku malas untuk menjawab perkataannya dan memutuskan untuk diam, meskipun aku merasa jika ia sedang merencanakan sesuatu. Entah itu apa? Yang pasti, aku merasa jika ia akan menumbalkanku unt
“Ada apa?” Dahi Okta mengkirut, saat melihat jalanku yang lunglai dengan wajah yang terlihat terkejut bukan main. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikannya dengan senyumanku yang sering mereka katakan menenangkan siapa pun yang melihatnya. Aku kalut dengan segudang beban yang tiba-tiba menumpuk dipundakku dan sekuat tenaga mencoba untuk ku sembunyikan dari teman-temanku ini.Aku tidak tahu harus memulai dari mana, yang pasti setiap kata yang akan ku ucapkan kali ini akan membuat suasana hancur. Tidak ada yang mengatakan bahwa aku tidak boleh menangis atau bersedih untuk saat-saat tersulit ini. Hanya saja, aku tidak suka wajah bahagia mereka berganti dengan iba saat melihatku jatuh. Aku tahu ini hanya pemikiran kerdil seorang wanita yang baru diwisuda beberapa bulan lalu, hanya saja aku merasa ini berat dan aku tidak suka mengatakan seberapa lemahnya diriku saat ini di hadapan mereka.Sandy tahu perubahan wajahku, tetapi wanita ini mencoba menyemangatiku dengan senyuman. Sungguh, ia sahab
“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.Ciit
“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.“Pa!”Aku segera mendekat dan berusaha untuk menggenggamkan tangannya. Papa menjadi gagu, karena sebagian bibirnya tak mampu mengucapkan kata dengan jelas. Aku merasa sebuah pisau menusuk-nusuk hatiku. Papaku yang begitu tegar, bagaimana bisa menjadi seperti ini?Aku menangis dan merasa bingung, harus melakukan apa? Seluruh tubuhku bergetar ketakutan saat orang yang begitu ku kasihi harus mengalami hal ini. Seolah semua belum cukup untuk ku rasakan.“Ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang, Ra!” pekik mama yang membuat aku tersadar dan aku pun segera membantu papa be
“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”“Saya akan membicarakannya dengan orang tua saya!” kata Okta dengan lantang dan aku hanya bisa menghela napas saat mama dan kak Disa begitu senang dan bangganya melihat Okta melakukan ini.“Baik, kami akan datang lagi,” ucapnya yang seolah mengancam kami. Aku tahu, tidak ada pertemanan yang tulus jika berurusan dengan uang, semua berlaku bagi siapa pun dimuka bumi ini.Namun, yang paling ku sesalkan dari semua itu adalah aku tidak berdaya untuk mencegahnya dan aku pun memilih untuk diam dan mempersiapkan segala kemungkinnya. Langkah pertama yang harus ku lakukan adalah mendapat pekerjaan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kebutuhan kami nanti.
"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini."Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka
Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri."Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu."Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas."Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng."Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.Pernah sekali Bagas dan