“Ada apa?” Dahi Okta mengkirut, saat melihat jalanku yang lunglai dengan wajah yang terlihat terkejut bukan main. Aku bahkan tidak bisa menyembunyikannya dengan senyumanku yang sering mereka katakan menenangkan siapa pun yang melihatnya. Aku kalut dengan segudang beban yang tiba-tiba menumpuk dipundakku dan sekuat tenaga mencoba untuk ku sembunyikan dari teman-temanku ini.
Aku tidak tahu harus memulai dari mana, yang pasti setiap kata yang akan ku ucapkan kali ini akan membuat suasana hancur. Tidak ada yang mengatakan bahwa aku tidak boleh menangis atau bersedih untuk saat-saat tersulit ini. Hanya saja, aku tidak suka wajah bahagia mereka berganti dengan iba saat melihatku jatuh. Aku tahu ini hanya pemikiran kerdil seorang wanita yang baru diwisuda beberapa bulan lalu, hanya saja aku merasa ini berat dan aku tidak suka mengatakan seberapa lemahnya diriku saat ini di hadapan mereka.
Sandy tahu perubahan wajahku, tetapi wanita ini mencoba menyemangatiku dengan senyuman. Sungguh, ia sahabatku yang begitu baik dan aku sangat menyayanginya seperti aku menyayangi kak Disa. “Aku dapat telepon dari mama ….” Aku menjeda, mencoba menemukan kekuatan pada suaraku yang mendadak gemetar.
Ini memalukan, sepanjang aku menempuh pendidikan di tempat ini sendiri, jauh dari orang tua. Aku tidak pernah mengeluh, bahkan meminta uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Aku selalu memegang pedoman yang selalu dikatakan oleh ayah, jika kesuksesan itu tercipta karena bekerja keras. Bukan datang dari orang lain, termasuk kekayaan orang tua. Aku mencoba untuk bekerja paruh waktu di luar kelas mata kuliah hanya agar aku bisa menyelesaikan S2ku tanpa membebani orang tua.“Lalu?” Sandy yang tidak sabaran seperti biasanya, ia mencoba menemukan permasalah yang terjadi dari ekspresiku. Biasanya ia begitu peka dengan apa yang ku rasakan, tapi untuk masalah-masalah yang sepele. Tidak dengan masalah keluarga yang benar-benar seperti sebuah goncangan dahysat ini.
“Aku harus pulang,” kataku dengan suara lirih, tak sanggup berbicara banyak. Aku mengalami goncangan dan itu realitanya. Aku pun tidak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang, selain kembali dan mencoba mengatur ulang semuanya yang kacau. Meskipun ini terkesan konyol dan terlalu sok, tapi tidak ada yang bisa mereka andalkan kecuali diriku.
“Kenapa? Papa sakit?” Kali ini Okta yang bertanya, dia juga begitu peka dan perhatian. Aku senang dengan segala perhatiannya, meskipun selamanya itu tidak akan membuat kami bisa bersatu. Dia ada disekitarku, itu sudah lebih dari cukup meskipun aku tidak bisa memilikinya. Namun, setelah semua ini? Apa kami masih bisa saling bertemu?
Aku pun mengangguk. “Ya udah pulang saja. Perlu aku antar?” tawar Bagas dan aku menggeleng. Aku tahu mereka pikir, aku khawatir pada papa karena sakit dan sebenarnya semuanya tidak sesederhana itu. Aku mencoba untuk menguatkan diriku dan mengatakan semua yang terjadi.
“Tidak hanya itu, restaurant yang dikelolah papa semua bangkrut dan menyisahkan hutang. Semua properti disita dan sekarang kami membutuhkan rumah baru. Karena itu, aku sepertinya tidak bisa melanjutkan S2, mereka membutuhkanku.” Akhirnya aku mengatakan apa yang seharusnya dikatakan dan aku tidak sanggup untuk menatap mata mereka. Membayangkan rasa iba yang selalu berusaha untuk ku hindari dari siapa pun.
Hening tercipta di tengah keramaian cafe. Pada akhirnya aku berhasil merusak suasana makan malam ini. “Kamu tidak harus takut, aku bisa bantu kamu.” Aku mendongak dan melihat mata coklat itu menatapku. Okta, selalu menawarkan segudang pertolongan kapan pun dan dimana pun. Teman kecil sekaligus sahabatku ini, kenapa harus selalu melakukan hal yang sia-sia?
“Aku bisa mengatasinya sendiri,” tolakku dan Okta yang menyadarinya tidak akan melanjutkan ucapannya lagi. Biasanya ia bisa berhati-hati. Namun, saat ini siapa yang tidak terkejut mendengar berita ini? Jika mereka semua terkejut, aku berkali-kali lipat terkejut.
Sandy dan Bagas seketika membungkam mulut mereka. Nampak berpikir, untuk memulai kata-kata yang pas agar tidak menyinggungku. “Dara, aku nggak tau harus ngomong apa sama kamu … Yang pasti, kamu harus tegar. Jika kamu butuh sesuatu, bisa mengatakan pada kami.” Pada akhirnya, Sandy yang selalu bisa mengambil jalan tengah di antara harga diriku dan simpatik mereka. Aku benar-benar ingin berterima kasih kepadanya untuk ini.
Aku mencoba untuk tersenyum. “Hari ini aku harus kembali,” kataku yang tidak bisa berpikir untuk memperlambat pulang. Beberapa detik saja, pikiranku sudah kacau. Bercampur dengan kecemasan yang tidak berujung. Membayangkan mama dan kak Disa yang tidak bisa hidup susah harus tinggal disebuah rumah kecil dan merawat papa yang terkena stoke terus membayang di pikiranku. Bagaimana caraku mengatasi semuanya?
“Bagaimana kalau aku antar?” Okta lagi-lagi menawarkan dirinya.
Saat aku hendak menolaknya, Sandy menatapku. “Uda malam, bahaya kalau pulang sendirian.” Aku tidak bisa mengatakan apa pun kecuali mengangguk dan setelah itu kami pergi bersama.
---***---
Di tengah jalan menuju ibu kota, jalanan masih ramai dengan pernak-pernik lampu jalanan yang menghiasi sepanjang perjalan. Terlalu dangkal untuk dikatakan indah, apa lagi saat memandangnya untuk menghentikan kebosanan karena terjebak oleh macet.
“Setelah ini, apa rencanamu?” Aku menoleh dan mendapati wajah rupawan yang setiap saat memikat, bahkan dikeadaan semengerikan ini, aku masih saja memujinya.
Konyol sekali kamu Adara! Pria ini adalah cinta pertama kakakmu!
Kehadiran Okta, selalu membuat harapan kak Disa kembali. Kak Disa sering sakit-sakitan karena itu papa dan mama tidak memperolehkan kak Disa kuliah di luar ibu kota sama sepertiku.
“Mencari pekerjaan.” Aku hanya akan menjawab begitu singkat karena aku tidak ingin Okta tahu terlalu banyak tentang kesulitan dan apa yang ku rasakan. Semua ini agar aku tidak terus-terusan tergantung kepadanya dan membuat kak Disa sakit lagi saat kami sering bertemu.
“Bagaimana kalau bekerja-“
“Aku nggak mau kalau kita bicara ini. Sudah aku katakan kalau aku yang akan mengurusnya.” Potongku yang tak ingin selalu dan selalu merepotkannya. Aku suka dia di sekitarku tanpa melakukan apa pun. Jika pada akhirnya ia akan bersama kak Disa, aku senang dengan melihatnya seperti itu.
Bukankah diriku sangat naif? Aku sedikit tidak perduli, sebab hanya aku yang merasakannya. Bagaimana perasaan ini bertumbuh dan menjadi belenggu untuk diriku sendiri.
Aku mendengar Okta menghela napas. “Aku begitu peduli sama kamu, Ra.” Kalimat berulang ini semakin membebaniku.
Kenyataanya kami terjebak pada situasi yang menjemukan ini. Dulu, aku selalu ragu karena kak Disa, bahkan sampai detik ini pun sama. Kemudian, kekacauan ini datang membuatku semakin tidak bisa berleha-leha memikirkan perasaan. Keluargaku sudah berada di ujung tanduk dan aku harus menyelamatkannya.
“Aku tahu, aku berterima kasih karena kamu mau menjadi sahabatku sampai detik ini.” Aku harus memotong sesuatu yang sekarang tidak bisa berkembang.
Wajah Okta seketika berubah, seolah berusaha menahan sesuatu bersamaan dengan laju mobil yang semakin cepat.
Aku tahu ia marah dan saat kami bersama dalam keheningan. Tiba-tiba seseorang berpakaian hitam mencoba memotong jalan.
“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.
Ciiit
Brug
“Okta awas!” Aku terkejut dan berteriak.Ciit
“A-ad-ra ….” Aku membalikkan tubuhku dan terkejut bukan main ketika papa terbangun dan strokenya kambuh.“Pa!”Aku segera mendekat dan berusaha untuk menggenggamkan tangannya. Papa menjadi gagu, karena sebagian bibirnya tak mampu mengucapkan kata dengan jelas. Aku merasa sebuah pisau menusuk-nusuk hatiku. Papaku yang begitu tegar, bagaimana bisa menjadi seperti ini?Aku menangis dan merasa bingung, harus melakukan apa? Seluruh tubuhku bergetar ketakutan saat orang yang begitu ku kasihi harus mengalami hal ini. Seolah semua belum cukup untuk ku rasakan.“Ayo kita bawa ke rumah sakit sekarang, Ra!” pekik mama yang membuat aku tersadar dan aku pun segera membantu papa be
“Tidak bisa, aku mau dia menyelesaikannya hari ini!”“Saya akan membicarakannya dengan orang tua saya!” kata Okta dengan lantang dan aku hanya bisa menghela napas saat mama dan kak Disa begitu senang dan bangganya melihat Okta melakukan ini.“Baik, kami akan datang lagi,” ucapnya yang seolah mengancam kami. Aku tahu, tidak ada pertemanan yang tulus jika berurusan dengan uang, semua berlaku bagi siapa pun dimuka bumi ini.Namun, yang paling ku sesalkan dari semua itu adalah aku tidak berdaya untuk mencegahnya dan aku pun memilih untuk diam dan mempersiapkan segala kemungkinnya. Langkah pertama yang harus ku lakukan adalah mendapat pekerjaan. Aku harus mencari pekerjaan untuk kebutuhan kami nanti.
"Kenapa kami harus memilih Anda? Apa ada sesuatu yang spesial yang bisa Anda janjikan saat memasuki perusahaan ini?"Skak mate! Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan yang satu ini. Haruskah aku jujur jika aku datang kemari dengan keputusasaan yang mendalam? Mengatakan jika usaha keluargaku bangkrut dan kini kami menjadi gelandangan. Aku pun harus melepaskan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya agar aku bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluargaku yang sudah sekarat ini."Silahkan Anda jawab," desak wanita berkacamata dengan tatapan tajam ini. Seketika jantungku berdetak kencang, lebih kencang dari saat aku berlari memutari gedung universitas saat menjadi calon anggota Bem jurusan ekonomi.Bagaimana aku bisa memberikan jawaban yang memuaskan? Lulus S1 saja baru kemarin dan aku nol besar untuk pengalaman kerja kecuali magang kemarin. Namun, jika aku tidak menjawabnya, mereka
Mobil Bagas sudah sampai di halaman rumah kontrakan yang jauh masuk ke dalam. Meskipun begitu, mobil bisa lewat tanpa hambatan. Seharusnya aku bersyukur untuk itu bukan? Ya, semua harus disyukuri."Jadi ini kontrakan kamu?" Sandy bertanya dan aku mengangguk. Meskipun Sandy dilahirkan dengan kemilau sendok peraknya, ia sudah biasa hidup ala anak kos denganku saat diluar kota dulu. Jadi, melihat kontrakanku yang cukup sederhana seperti ini, ia tidak akan pernah merasa terganggu."Enak dingin, bisa tiduran dibawah dunk." Bagas juga sama, ia spesies yang suka rebahan dimana pun tempat sejuk seperti kontrakanku saat ini. Meskipun kak Disa bilang kontrakan kita ini banyak pepohonannya di halaman depan, jadi kesan rimbun dan menyeramkan itu terlihat jelas."Nggak kek angker gitu?" tanyaku dan Bagas menggeleng."Angkeran mana sama jalanan di kaki gunung waktu itu?" balasnya yang tentu aku sangat paham dengan apa yang Bagas katakan.Pernah sekali Bagas dan
Tepat jam 7 pagi, aku sudah berada di gedung Syarend grup dan menerima beberapa wawancara terakhir. Pertanyaannya tidak terlalu melalahkan hanya saja aku sangat membutuhkan asupan makanan setelah seluruh pikiranku yang dengan bodohnya terkuras habis untuk menjawab pertanyaan mereka. Apa mungkin aku terlalu waspada sampai seperti ini? Tapi, ini lebih baik dari pada aku berleha-leha bukan?Kami pu
Tidak ada hal yang menyenangkan, saat aku bangun yang seharusnya dipenuhi dengan segala hal urusan rumah tangga mulai dari mencuci piring, masak hingga membersihkan ruang tamu. Semua itu menjadi rutinitas pagiku yang melelahkan karena baik mama dan kak Disa tidak bisa diandalkan untuk melakukan hal ini. Hal ini terkadang membuatku bersyukur karena kak Disa akan bersama Okta, sehingga ia tidak akan menjadi bahan olokan ketika ia tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah. Lagi pula keluarga kita sudah jatuh, tidak mungkin teman-teman ayah mau menjodohkan anaknya dengan kami?Lagi pula, aku juga tidak begitu mementingkan pernikahan dengan pria berada. Cukup pria yang memahami diriku dan keluargaku dengan baik. Hanya seperti itu, tapi pastinya hal ini akan berjalan cukup lama karena pria seperti itu sangat jarang ku temukan.Aku masih memasak, saat tiba-tiba notifikasi handphoneku berbunyi dan aku melihat sebuah email, aku menemukan nama Syahre
Hari pertama dengan adegan pembuka yang mengerikan. Aku harus melihat seseorang yang dipecat begitu saja hanya karena alasan yang cukup sepele. Bukankah ia hanya perlu menegurnya saja? Kenapa harus memecat? Dasar cowok berhati batu. Jadi, benar kalau kita kerja di sini, kita akan menjadi robot pencetak uang untuknya?Saat ini, aku sudah berada di ruangan bapak yang tadi menyambutku dengan kata-kata ‘selamat datang di kandang harimau’ dan ternyata bapak ini adalah manajerku.“Jadi kamu benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun dengan pak Regan?” tanyanya lagi seperti tidak mempercayai perkataanku. Harus dengan cara apa aku mencoba untuk meyakinkannya? Maksudku, kenapa ia harus memojokkanku dengan pertanyaan aneh ini? Apa yang terjadi sebenarnya?“Sebenarnya apa yang terjadi pak? Maksud saya, apa saya melakukan sesuatu kesalahan sampai bapak bertanya seperti itu?” tanyaku yang tak mema