Hari-hari berlalu begitu cepat, Asya kini sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, terpaksa mengambil cuti kuliah karena Asya masih harus istirahat, dan tidak ingin terjadi hal lain juga. Yang paling penting, karena ingatannya masih belum pulih. Lebih tepatnya, hanya kenangan lama yang diingatnya. Membuat orang-orang baru—terutama Rafan, sebagai status yang menjalin hubungan dengannya pun tidak bisa diingatnya.
Semenjak kecelakaan yang menimpa Asya, membuatnya seperti orang asing. Meskipun, baik Asya ataupun Rafan belum bertemu secara langsung. Kecuali Rafan, meskipun menjauh—hampir setiap harinya selalu memantau.
Satu hal, mengenai pelaku yang menabrak Asya. Adalah Liana, ternyata alasannya karena ingin memiliki Rafan seutuhnya. Di sisi lain, Levan—ayah dari Liana tidak menyangka, melihat anaknya melakukan hal itu. Lebih tepatnya, keluar dari rencana yang dibuatnya.
Saat itu juga, Levan melenyapkan semua renc
Hingga malam tiba, Asya masih berada di kediaman Alexander. Karena Azdi juga terus sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Rivo. Mendadak bosan, Asya memilih berkeliling. Sebenarnya, ingin bergabung dengan Vio. Tetapi, karena tidak ingin mengganggu Vio yang sedang bersama Refan.“Hm, ayah masih lama kah?” Asya amat bosan, karena tidak ada yang mengajak ngobrol. Seketika terusik, saat Rafan melintas menuju dapur. Saat itu juga, membuatnya kembali menatap ke arah Rafan.Lagi?Asya benar-benar bingung, di satu sisi juga kesal. Kenapa tidak ada yang mau membantunya untuk menjelaskan? Lalu tersentak, saat Rafan melintas lagi sambil menggenggam sebotol air mineral dingin.Rafan berhenti melangkah, mulai melirik Asya, yang sedari tadi terus mengamatinya denganintens. “Apa?”Asya terkejut, saat diajak ngobrol. Refleks menggeleng cepat. “Nggak!&rdquo
Rafan terlihat berjalan lambat masuk ke pekarangan kediaman Alexander, meskipun tadi melihat jelas Asya berciuman dengan laki-laki lain—teman lama. Sudah tidak terlalu dipikirkan olehnya, walau sadar tadi sempat emosi. Di sisi lain, Asya juga tidak mengingatnya—jadi harus apa? Terus melangkah, tanpa mempedulikan semua rekan kerja Rivo. Ternyata masih rapat, lebih tepatnya sedang istirahat sebentar. Terkejut, melihat Rafan muncul dengan pakaian yang penuh lumuran darah. "Rafan," panggil Risa, mulai mendekatkan diri pada anak sulungnya ini. "Melakukannya lagi?" Rafan menatap sebentar dan enggan menjawab, kemudian pergi begitu saja. Saat ini ingin sendiri, sekalian menenangkan diri. Entah kenapa, emosinya ingin terpancing lagi! Namun, langkah kakinya terhenti lagi. kali ini Rivo meminta jawaban. Sebelum sempat bertanya, langsung terhenti karena Raskal mendekat. "Kenapa?" "Biar kujelaskan
Pukul tiga malam, Rafan kembali terlihat melangkah lambat di pekarangan bangunan besar—lebih tepatnya markas Raskal. Sepertinya, tengah malam pergi diam-diam dari rumah lagi untuk meluapkan emosinya. Terlihat jelas, pakaian yang dikenakannya penuh dengan lumuran darah lagi, dan kedua tangannya juga. Langkah kakinya, mendadak terhenti saat Raskal mendekatinya lagi. “Anak buahku yang melanggar sudah kau habisi semua.” Raskal sengaja berbatuk sebentar. “Apa kau akan melakukan teror seperti dulu lagi? Buat melampiaskan emosi?” Ternyata penasaran. Rafan enggan menjawab, melengos dan pergi begitu saja. Itu membuat Raskal menghela napas pasrah, karena tidak mendapatkan jawaban. Hawa begitu dingin, seakan menusuk kulit. Rafan terus berjalan dalam keheningan, tatapan kembali dingin dan kosong sekali. Awalnya, ingin berkeliaran entah ke mana dan sekarang ingin pulang lagi. Langkahnya terhenti seketika, saat sada
Setelah hal mengerikan hampir menimpa Asya, karena saat itu Rafan dalam kondisi amat kacau. Ditambah baru saja, habis meluapkan emosi pada sebagian anak buah Raskal—menjadi pemicunya juga. Rafan sudah kembali biasa, tetapi tatapannya masih agak kosong. Setelah sadar dengan apa yang dilakukannya pada Asya—hampir menjadi korban. Rasa bersalah mulai menguasainya, manik hitamnya, terus terpaku pada siku Asya yang lecet akibat terdorong kasar olehnya. Asya baru saja mengobati luka di lengan Rafan, setelahnya sibuk mengeringkan rambut Rafan. Tersadar apa yang ditatap olehnya, langsung menangkup wajah Rafan dengan kedua telapak tangannya. “Tidak parah, hanya lecet sedikit dan kau tidak sengaja melakukannya.” Kembali mengingatkan, agar Rafan tenang dan tidak terlalu memikirkannya. “Tetap saja, kau hampir jadi korbanku.” Sesekali memijit pelipisnya, benar saja sama seperti kejadian waktu itu kepalanya pusing sekali. Sedikit berb
Beberapa tahun telah berlalu, Asya juga sudah wisuda meskipun sempat mengulang—saat itu mengambil cuti kuliah—karena kecelakaan yang menimpanya. Sekarang, terlihat sedang bertemu dengan seorang laki-laki satu tahun lebih muda darinya, bernama Rendra. Tidak lain, adik kelas yang satu fakultas dengannya—saat masih kuliah. Mereka bertemu karena sedang membicarakan sesuatu, lebih tepatnya Rendra yang meminta bertemu. Untuk menyarankan sesuatu. “Jadi, kau meminta bertemu. Hanya untuk itu?” tanya Asya, masih menatap tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. “Iya, habisnya nanya siapa lagi? Ibu sedang ikut ayah ke luar kota, kakak perempuan sudah ikut suaminya tinggal di luar kota, otomatis aku bingung ... minta saran pada siapa?” Rendra dengan nada kikuk menjelaskan. “Ya, ya, ya. Aku paham.” Asya mengangguk. “Tidak mengganggu, ‘kan?” tanya Rendra tiba-tiba, pasti Asya memiliki kesibukan sendiri. Entah
Waktu berlalu begitu cepat, di pagi hari yang cerah terlihat Asya terus-menerus menyentuh wajah Rafan. Sedangkan Rafan sendiri, masih tertidur. Sudah sebulan, Rafan mengambil cuti. Karena Asya tidak mau ditinggal olehnya, katanya sedang ingin bertingkah—alias—manja. Terkadang menjadikan Rafan, bahan kekesalan. Yap, saat ini emosi Asya sedang labil. Maklum, faktor kehamilan yang sudah memasuki usia tiga bulan. Itu sebabnya Asya meminta Rafan untuk tetap di rumah. Terbukti, sekarang mencoba membuat Rafan terusik dari tidurnya. Tangannya masih menyentuh wajah Rafan, sesekali mencubit dan mengecup pelan. “Apa?” Benar saja Rafan terbangun, sebenarnya sudah bangun lebih dulu dari Asya. Tetapi, karena malas membuka mata. Memilih terpejam lagi. “Nggak!” balas Asya cepat, masih terus menggerayangi wajah Rafan. Rafan hanya menaikkan satu alis, jujur suka heran dan berganti kesal juga. Karena Asya dalam kondisi l
Dalam kehidupan, pasti ada pahit dan manisnya. Setiap orang berbeda cara untuk memulainya. Terutama Rafan, dulu hidupnya dimulai begitu pahit dan hampir ingin menyerah. Namun, perlahan berubah menjadi manis. Meskipun masih diselingi masalah-masalah kecil, dan untung saja sudah selesai. Walau agak merumitkan semuanya. Sekarang, kehidupan manis yang dirasakan Rafan semakin bertambah. Telah membentuk sebuah keluarga kecil, baginya. Rafan sudah lumayan terpaku di tempat, tetapi manik hitamnya terus menatap ke arah kaca jendela yang terhubung pada ruang inkubator. Sembilan bulan Asya mengandung, kini telah lahir seorang bayi berjenis kelamin laki-laki dengan proses normal. Sebenarnya, diperbolehkan masuk untuk melihat langsung. Entah kenapa, Rafan belum ingin mendekati anaknya sendiri. Atau mungkin, masih tidak percaya bila sudah memiliki anak tunggal—bersama Asya. “Dekati sana, anak sendiri juga!” ce
Asya sibuk membuat sesuatu, sesekali melirik Arsen. Tengah menarik kursi kayu lumayan tinggi, sengaja didekatkan antara lemari makan dengan kulkas. Arsen perlahan memanjat, hingga berhasil berdiri di atas kursi. Tangannya terulur, untuk membuka pintu lemari makan. Ya, Arsen mencoba mengambil camilannya sendiri. Asya mendekati Arsen, masih asik berdiri di kursi kayu lumayan tinggi. Memang saat naik—memanjat, tidak terpeleset atau salah memijak. Tetap saja, ngeri bagi Asya. "Udah ngambilnya 'kan?" Asya langsung menggendong Arsen, otomatis sudah tidak berdiri di kursi lagi. "Ih cokelatnya belum!" Arsen berontak dalam gendongan Asya, camilan kripik atau makanan lain, sedangkan cokelat ada di kulkas dan Arsen belum mengambilnya, lebih dulu digendong Asya. Pada akhirnya, Asya menurunkan Arsen. Benar saja, langsung berlari ke arah kulkas. Manik hitamnya, memindai berbagai macam makanan hingg