Share

Bab. 5. Hari yang Menyebalkan

“Bener-bener si Kang Cihu mah. Masa, orang jongkok dikata mau berak? Tapi, yang lebih bener-bener lagi mah si Pak Bos, nih!” Aku masih mengomel, usai meninggalkan Kang Cihu ke belakang. “Mana coba yang katanya mau antar  ke sini? Yang punya minimarket juga nggak datang-datang. Si Kho sama Tania, malah nggak aktif juga nomornya. Kok, kompak bener kayaknya.”

Takut dikira buang berak kalau duduk berjongkok, aku duduk bersila saja sembari menopang dagu dengan sebelah tangan. Kesal, karena pagi-pagi begini, pengunjung pun belum ada yang datang. Dan daripada tak ada teman, aku pun mengubah posisi duduk yang semula menghadap rak berisi banyak camilan, kemudian menghadap lemari pendingin yang kebanyakan isinya adalah susu kotak. Lumayan, bisa bengong sambil memandang wajah diri yang amat sangat cantik.

Uhuk! Aku harap kagak ada yang mual.

“Untung ada lu, wahai pantulan diri yang cantiknya melebihi artis-artis luar negeri. Kan, kalau ada yang lihat ... gue nggak dikira ngomong sendiri.”

“Loh, itu ngomong sendiri, Mbak?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Membuat aku seketika menoleh, kemudian mendongak.

Asem! Mentang-mentang ini minimarket, masuk nggak ngomong salam dulu. Mana main nguping obrolan orang pula. Fix, ini Emak hobinya pasti nyinyir bin gosip. Biar tak dikira gila juga, aku pun bangkit sembari mempersembahkan senyuman paling menawan di seantero perkampungan. Lantas aku berdalih.

“Lagi latihan syuting, Mbak. Insya Allah mau jadi artis.”

“Oh, gitu?”

Raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan. Ya, kali aku serius. Emang cuman alasan, kok. Awokawok.

“Iya, Mbak.” Aku langsung membenahi kerudung, untuk kemudian berlagak songong. “Udah cocok belum?” sambungku, sembari memelak pinggang juga mendongakkan sedikit wajah biar kayak model-model dalam majalah yang tiap hari nangkring di rak samping meja kasir. Tak lupa kutarik kedua belah sudut bibir untuk memberi kesan manis.

“Cocok, Mbak.” Mbak di depanku itu menyengir kuda. “Cocok jadi pembantu rumah tangga tapinya!” Ia menambahkan, sampai membuat aku tercengo.

Astaga ...! Mataku hampir saja meloncat begitu mendengar kejujurannya yang luar biasa menyebalkan. Masa, cantik begini dikata cocok jadi pembantu? Mana tawanya puas banget lagi setelah itu. Ngeselin.

“Malah bengong, Mbak. Kenapa?”

Jelas-jelas jawabannya barusan yang bikin aku tertohok, bahkan sampai tertampar, malah nanya. Boleh nabok orang nggak nih kira-kira? Tangan udah gatal dari tadi pula ini gara-gara nungguin yang punya minimarket, tapi tak kunjung datang.

“Saya mau bayar ini, Mbak. Tapi di depan nggak ada orang,” lanjutnya seraya mengangkat barang belanjaannya itu setinggi dada. Dia juga tertawa kecil.

Pamer. Gedean juga punyaku. Eh!

“Oh ... ok, Mbak. Mari,” jawabku setelah berhasil menahan telapak tangan yang bahkan sudah mengepal. Kemudian aku berjalan lebih dulu, melewati rak-rak yang dipenuhi camilan ini. Padahal, kalau saja nabok orang nggak bakal bikin aku dipecat, udah kutabok bolak-balik dia.

Begitu sampai di meja kasir, aku langsung menghitung barang belanjaannya itu dengan hati mendongkol. Seratus empat puluh tujuh ribu pun tertera di layar komputer, sebelum aku menyebutkannya dengan lantang.

“Ada uang kecil, Mbak?” tanyaku, setelah dia menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. Toko baru buka. Dalam laci memang nggak ada uang sebanyak yang dibutuhkan sekarang.

“Nggak ada, Mbak. Uangku gede semua,” timpalnya, lagi-lagi sambil tertawa kecil.

“Uang pas ada?” Aku mendesis, kesal menghadapi pelanggan untuk pertama kali setelah sekian tahun bekerja di minimarket ini.

“Oh ... kalau itu kayaknya ada. Sebentar.”

Akhirnya, wanita itu merogoh tas. Semoga saja bukan bom yang dia ambil, atau apa gitu buat menodongku yang ketahuan lagi sendirian. Tapi, yang bego tuh aku apa dia, sih? Uang kecil, sama uang pas apa bedanya coba? Masa dia nggak tau? Aih!

Ya Allah ... ini masih pagi, loh. Tapi kenapa pada ngeselin semua, sih? Nggak Ibu, nggak Bian. Terus Kang Cihu sama si Mbak yang masih mengobok-ngobok tasnya ini. Mereka kek sekongkol apa gimana gitu buat ngerjain aku?

“Resek!” Aku merutuk, sambil memasukkan barang belanjaan wanita di hadapanku ini ke dalam kantong keresek khusus minimarket.

Dia yang entah mendengarku atau tidak itu pun langsung mengangkat wajah, setelah sedari tadi menunduk melihat isi dompet. “Apa, Mbak? Kantong keresek?” tanyanya sambil menyodorkan uang sepuluh ribuan.

Nah, kan. Budek ternyata.

“Bukan. Itu, tuh ... ada belek di mata Mbak!” Aku pun menimpalinya, sekalian mengerjainya. Nggak apa-apalah sekali-kali ngerjain orang. Jangan aku mulu yang kerjain, dirampok pula jodohnya.

“Wah ... iyakah?” Dia langsung meletakkan uangnya di meja. Lalu mengucek-ngucek mata. “Duh. Makasih sudah dikasih tahu, ya.” Dia pun tersenyum-senyum. Malu mungkin, karena dikira ada belek beneran. Padahal, itu cuman candaan.

“Makanya Mbak. Kalau ke mana-mana tuh ngaca dulu.” Aku hampir tergelak, senang bukan main karena berhasil membodohi orang di hadapanku ini. “Atau, bawa kaca segede duit yang Mbak bilang tadi aja bagus, tuh.”

***

Fix, Pak Dodot memang ngerjain aku. Buktinya, sampai jam sembilan tuh yang mau nganterin barang kagak nongol. Tapi, apa maksudnya coba? Kenapa bisa barengan telat sama si Kho juga Tania? Biasanya nggak kayak gini. Malah, kalau bukan aku yang kerajinan datang, Tania tuh yang selalu datang paling awal.

Sambil melayani pembeli yang sedari tadi datang dan pergi, aku mengomel dalam hati. Kesal, karena Pak Dodot sama dua somplakers masih aja nggak bisa dihubungi. Mereka sepertinya memang janjian, sengaja biar aku sibuk sendiri di tokonya yang selalu ramai ini.

“Nggak tau apa mereka, kalau hari ini yang datang banyak banget?” Aku merutuk, setengah berbisik agar pelanggan terakhir di hadapanku ini tak mengira aku gila. Sudah cukup aku dibikin kesal oleh Kang Cihu dan pelanggan pertama hari ini  “Delapan puluh ribu, A,” kataku, seraya menyodorkan setruk belanjaan.

“Oh, iya, Teh!” katanya sembari merogoh dompet. Kemudian menyerahkan beberapa isinya itu padaku. “Pas, ya, Teh. Makasih.”

Kemudian aku mengangguk sembari menimpalinya. Lantas mengambil uang pas darinya itu sebelum duduk. Satu jam berdiri tanpa henti melayani pembeli membuat kakiku terasa nyeri. Apalagi jemari yang tersembunyi di balik kaos kaki, pegal sampai berasa ingin melepas dan melemparnya jauh-jauh saja dari sini.

Tapi sayangnya, kakiku juga tak bisa kena dingin lama-lama. Bisa kumat asam urat atau rematik yang kerap membuat sekujur kaki terasa bagai disayat.

“Awas aja kalau kalian datang bersamaan. Aku palakin satu-satu pokoknya. Seratus ribu, seorang!”

Haha!

“Neng geulis!”

Aku langsung menoleh begitu mendengar suara panggilan, yang tak lain adalah dari Kang Cihu. Maunya apa sih bujang yang satu ini? Kok hobi banget gitu ngerecokin orang? “Apa?” tanyaku, yang sudah pasti terlihat sinis.

“Neng Kho sama Neng Tania nggak datang?” tanyanya sambil menyengir lebar. Selebar pantat si Mbak yang resek tadi. “Kok, dari tadi sibuk sendiri?”

“Kalau tahu ngapain nanya Kang?”

Aku menunduk lagi, lalu menyusupkan wajah di antara kedua lengan yang bertumpu pada meja. Malas menanggapi bujang yang mungkin seumur denganku itu. Padahal, sebenarnya dia baik dan tampan. Pakaian serta rambutnya juga rapi. Tapi ya masa, lepas dari Bian ... aku mesti godain dia?

“Ya ... kan siapa tahu Neng geulis mau Akang bantuin?” tanyanya, disertai cengiran juga cengengesan.

“Nggak usah, Kang. Makasih!” jawabku sambil menutup mata, masih dalam posisi sama; duduk bersandar dengan santai. Meski tak sesantai isi otak juga pikiran.

Tak lama, suara pintu tertutup pun terdengar. Aku pikir dia pergi  Baguslah. Istirahat dulu sebentar, kayaknya emang enak. Bodo amatlah sama barang yang belum sempat aku beresin. Yang punya minimarketnya aja nggak peduli. Ya, nggak? Iyalah!

“Eh ... tapi itu suara apaan gedebak-gedebuk?” Aku pun refleks membuka mata seiring dengan kepala mendongak. Anehnya, tak ada siapa-siapa setelah aku melihat ke berbagai penjuru minimarket.

“Suaranya kek dari ....” Pandanganku pun mengedar lagi. “Gudang!”

Buru-buru aku bangkit berdiri, kemudian berlari secepat kelinci jantan ke  belakang sana. Takutnya, memang perampok beneran, kan? Duh ... Pak Dodot mana, sih? Kawan-kawan juga. Kalian di manaaaa?”

“Suaranya makin jelas masa!” Aku langsung bergeming di depan pintu gudang. Berani, tapi takut. Gimana dong? Duh! Kalau lagi cemas kayak begini, rasanya pengen bisa munculin jim di depan mata. Atau, paling nggak Superman gitu buat nolongin aku.

“Aduh ... tolongin aku Ya Allah. Tolong beri aku jodoh. Eh ... bukan-bukan. Beri aku kekuatan maksudnya. Tapi, kalau iya juga nggak apa-apa, sih!” gumamku sambil melihat ke sekitar. Mencari barang yang bisa dijadikan pemukul.

“Nah ... itu!” seruku pelan sambil menunjuk dan mengambil sapu di pojok ruangan. “Ok!” Sapu pun sudah kupegang kuat-kuat sambil berjalan pelan ke arah pintu. “Bismillah. Beri aku kekuatan Ya Allah,” desisku sekali lagi.

Namun, belum sempat aku meraih gagang pintu, seseorang membukanya cepat dari dalam. Dan karena takut, refleks mataku terpejam kuat. Sementara gagang sapu yang aku pegang langsung mengayun ke depan.

“Hiyaaaaaaaaaat!”

Pakjebuk! Dezig! Dezig!

Pukulanku rasanya tepat sasaran. Karena selain terasa menimpa sesuatu, orang yang ada di hadapanku itu tiba-tiba menjerit kesakitan. Bodo! Siapa suruh masuk ke sini tanpa izin. Coba kalau izin, nggak bakal kukasih izin juga sebenarnya.

Brak! Bruk! Brak! Bruk! Dezig!

Kali ini, yang kudengar menjadi suara ember di pukul. Penasaran, aku pun membuka mata dengan sekali gerakan cepat. “Aih! Kang Cihu?”

“Iya, ini Akang. Neng kenapa malah main pukul-pukulan gitu? Sakit tau!” jelasnya, seraya mengusap-usap tangan dan kepala.

“Akang yang ngapain? Kenapa ada di sini? Bikin aku senewen tau nggak?” Gagang sapunya aku jatuhin sampai terdengar suara ‘pak-gedebuk’.

Patah-patah, deh. Bodo amat pokoknya!

“Akang mau bantuin Neng biar nanti bosnya nggak marah kalau datang. Soalnya, lantai di depan itu kotor.”

“Yakin ... bukan karena mau nyuri?” Sebelah alisku seketika terangkat. Menyelidik, karena tak bisa mempercayainya begitu saja.

“Si Neng. Kayak baru kenal Akang aja!” ujarnya.

“Ya, kali mau nyuri minyak, atau ... bumbu cihu gitu?” Aku memelak pinggang, sok jagoan.

“Ish! Nggak baik itu suuzan.” Kang Cihu langsung menyimpan alat pel yang dipegangnya sedari tadi ke kailan di dinding sebelah pintu. “Ya, sudah kalau nggak mau dibantu. Akang keluar lagi aja, deh. Tapi Neng juga, kayaknya ada pembeli tuh di depan!” lanjutnya sambil melangkah maju. “Misi Neng.”

Aku langsung melangkah lebih ke samping, memberi jalan untuknya yang mau keluar dengan tergesa-gesa. “Ya, maaf.” Aku mendesis sambil menahan tawa. “Siapa suruh main nyelonong?”

“Buruan Neng! Ada yang beli, tuh!” teriaknya.

“Iya-iya!”

Aku langsung berbalik. Lalu kembali memasang kecepatan maksimal saat berlari, sampai melewati Kang Cihu yang baru sampai ke rak peralatan kecentilan.

“Misi-misi, ah!” lanjutku sambil tertawa. Lucu, sih kalau ingat kejadian barusan. Namun, sesampainya di depan, mataku langsung tertohok. Orang-orang yang berjejer di depan pintu itu benar-benar membuat aku seketika menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status