“Kejutaaaaan!”
Serempak orang-orang yang berdiri, berjejer di hadapanku itu berseru. Pak Dodot dengan wajah juteknya memasang senyum tipis juga tampak terpaksa sambil memegang dua balon bertuliskan HBD di tangan kiri dan kanannya. Bosku, wajahmu itu tampak aneh sekarang. Entah kenapa. Tapi mungkin karena balon yang harus kamu pegang. Ah, aku bahagia karena sudah menjadi bagian dari keluarga di minimarket ini.
Sementara Tania dan juga Kho yang memakai seragam sama persis denganku itu berdiri di kedua sisi Ibu. Mereka memegang kado dan kue tart, masing-masing satu biji. Air mukanya berbinar, tampak begitu senang dari senyum yang tersungging lebar. Sahabatku, terima kasih. Aku bahagia karena bisa mengenal kalian.
Namun, yang lebih mengejutkan lagi, ada Bu Ana di antara mereka. Istri dari Pak Dodot itu hampir tak pernah datang ke sini. Karena dia juga punya kesibukan sendiri, yang tak lain adalah mengontrol cabang minimarket di lokasi yang sudah tentu jauh dari sini. Ia tersenyum riang padaku, seiring tatapan penuh binar sayang.
“Ini maksudnya apa?” Jelaslah aku heran. Kenapa Ibu bisa sama mereka coba? Ngapain? Bukannya tadi masih di rumah?
“Ya, elah. Ada kue tart, kado, terus ... balon. Masa nggak ngeuh ini apa?” Tania menggeleng-geleng, seiring dengan bibirnya yang tak henti bergerak karena tertawa-tawa pelan.
“Ulang tahun? Gue ulang tahun? Dan kalian bikin ini buat gue?” Macam ember bolong, merembes sudah air mataku. Tak menyangka sama sekali dengan kejutan yang mereka buat di tengah-tengah kejengkelanku hari ini.
Atau, kejengkelan hari ini memang sengaja mereka buat? Ah ... resek emang! Tapi tak apa. Sekarang aku senang karena ternyata, mereka susah menyiapkannya kejutan ini. Sekali lagi terima kasih.
“Iyalah!” timpal Kho, seolah tak mau kalah. Dia berlagak songong dengan menggerak-gerakkan sebelah alisnya itu. “Lu lupa emang? Hilih! Sama tanggal ulang tahun sendiri aja lupa. Padahal sering dikasih kejutan-kejutan gini kan dulu?”
“Emang sekarang udah tanggal enam belas gitu? Serius? O my God!” Aku menangkup wajah sambil menarik napas, sebelum membuangnya perlahan. Benar-benar perlahan, karena takut kalau sampai ada sesuatu yang keluar juga dari belakang. “Sumpah gue nggak ingat sama sekali.”
“Galau mulu, sih!” timpal Pak Dodot. Kali ini sambil tertawa-tawa. Senang betul dia, kalau soal olok-mengolok. Apalagi yang dioloknya itu aku.
Ish! Benar-benar kudu dipajak emang.
“Gosah kompor! Baru juga merasa bahagia! Tapi ... makasih sebelumnya karena kalian udah sempat-sempatnya bikin ginian. Di waktu-waktu yang sangat menyakitkan hatiku pula. Huhu. Terutama buat Bu Ana yang sudah nyempetin datang ke sini buat aku. Padahal Bu Ana, kan, sibuk, ya? Ish! kalian juga benar-benar tega sama gue, ya. Udah tahu kalau gue lagi galau, lagi potek, lagi ... apalah itu namanya. Eh, malah dibikin dongkol sendirian di sini.”
Layaknya kereta api yang sedang lepas landas, begitulah ocehanku terlontar. Melaku tanpa henti. Tapi, itu beneran dari hati. Bukan sekadar ucapan atau omong-kosong.
Bu Ana pun langsung mengangguk masygul sambil tertawa tipis. Dia memang sedikit kalem, bahkan terbilang cuek, tapi aslinya mah beuh ... jangan ditanya! Baik banget sumpah. Aku, Tania sama Kho itu karyawan Pak Dodot. Tapi tiap lebaran, justru Bu Ana yang selalu ngasih bonus agak banyakan.
“Tapi senang kan lu akhirnya?!” Kho mengolokku juga.
“Ya, iya. Tapi gue nggak mau tahu. Sebagai ganti karena udah bikin gue BT, kalian harus dan wajib banget buat ngasih gue duit. Seorang, seratus!”
Terserah! Tapi, sekarang waktunya aku untuk bersaksi. Eh, beraksi. Pak Dodot dan semua yang sudah berkompromi untuk mengerjaiku ini, harus mau dan berani membayar.
“Idenya Pak Bos, tuh! Minta aja sama dia.” Tania pun berkomentar sambil mengacungkan jempolnya, tepat ke depan hidung Pak Dodot. Sampai-sampai, wajah bosku itu sedikit terenyak ke belakang.
“Iya, tuh!” timpal Kho, lagi-lagi seolah tak mau kalah.
“Loh, loh ... kalian, kok, malah nyalahin Bos?” Pak Dodot memelak pinggang seraya menatap Kho dan Tania bergantian. Membuat balon yang dia pegang seketika beterbangan. “Mau saya—“
“Ampun, Pak. “ Tania dan Kho pun langsung berlari dan berdiri di samping kiri dan kanan Pak Dodot. Lalu menangkupkan tangan dengan kado di tengah-tengahnya, memohon maaf. “Kami cuman bercanda, Pak. Iya, kan, Bu?” tanya keduanya pada Bu Ana. Mereka tentu meminta perlindungan.
Ahaha! Emang dasar asem.
“Iya aja ibu mah,” timpalnya kalem, sambil menangkup mulut. Heran mungkin melihat karyawan suaminya yang aneh-aneh.
“Sudah-sudah,” sela Ibu sebelum Pak Dodot membuka mulutnya lagi. “Ibu pegal ini megangin kue dari tadi. Mana udah ngeces liat lumeran cokelat juga Cherry-nya. Mending kita tiup sama-sama lilinnya.” Tatapan Ibu, benar-benar tajam pada kue yang dipegangnya. Dia, memang pencinta makanan manis, termasuk kue tart seperti itu.
“Bener, tuh!” Kho dan Tania beralih, berdiri di samping Ibu lagi.
“Ya, sudah buruan. Habis itu kalian kerja lagi.” Pak Dodot pun beranjak dan berdiri di samping Kho sambil memonyongkan bibirnya, hendak meniup lilin.
“Bapak mau ngapain?” tanya Tania, sinis. Matamu yang tadi terlihat takut, sekarang sok berani lagi. Padahal, kalau Pak Dodot mengaum macam singa kembali, nyali Tania pasti ciut.
“Tiup lilinlah!” Pak Dodot langsung menyeringai seram.
“Yang ulah tahun si Tika, Pak. Bukan Bapak!” Kho mendelik. “Lagian, Bapak tuh nggak baik dekat-dekat cewek! Nanti Bu Bos marah, loh.”
“Oh, iya. Lupa!” timpalnya yang kemudian kembali mundur. Lalu menyeringai pada istrinya yang seketika menggeleng. “Buruan tiup lilinya, Tik. Keburu banyak orang yang mau belanja ntar.”
“Iya-iya. Sabar!” Aku mengoceh usai memperhatikan semuanya dengan tawa tertahan. “Orang sabar jodohnya diembat orang.”
“Kamu tuh yang harusnya sabar. Saya mah sudah punya jodoh! Iya nggak, Bu?” tanyanya pada Bu Ana, Seraya menyikut jahil pada istrinya itu. Bu Ana makin tertawa, meski tak selebar Kho dan Tania.
“Ya, kali Pak Bos mau nambahin jodoh. Eh!” timpalku sambil berjalan maju, menghampiri Ibu sambil tersenyum. “Maaf Bu Ana. Aku bercanda, kok. Pis!”
Samar, kudengar Pak Bos mendesiskan sesuatu pada istrinya. Dahlah biarin. Terpenting sekarang, aku harus berdoa agar umurku panjang, rezekiku lapang, dan jodohku segera datang. Aamiin, Ya Allah. Kabulin, ya. Please.
Byuh! Lilin bertuliskan angka dua puluh lima itu pun padam.
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.
“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”
“Selamat ulang tahun, Sayang. Panjang umur, sehat selalu, dan ... jangan lupa bahagia.” Ibu tersenyum, tapi dari matanya justru keluar sesuatu yang bening . Buru-buru Ibu menyapunya kembali sampai kering. Dia memang cengeng, sampai di hari bahagia pun kerap berlinang air mata. Tapi, tampaknya, kali ini Ibu tak mau menunjukkan kecengengannya.“Aamiin, Ya Rabb. Makasih, Bu.” Bibirku seketika menyungging lebar seraya memeluknya. Namun, seperti Ibu, air mataku pun luluh dalam dekapnya. “Panjang umur juga buat Ibu, ya. Sehat selalu, bahagia selalu dan jangan lupa doakan aku selalu agar tak lama-lama bertemu pendamping hidup. Ehehe.”“Aamiin! Itu nomor satu, Sayang.” Ibu balas tersenyum.“Selamat ulang tahun sahabat!” Kemudian Kho dan Tania yang tak mau kalah. Keduanya langsung memeluk aku dan Ibu dengan begitu erat. “Seperti apa yang dikatakan ibu. Lu ... jangan lupa bahagia. Meski mungkin, jodoh lu masih ditahan!”“Iya, bawel. Makasih, ya. Kalian memang terba
Mendaratkan pantat di kursi ruang tamu sambil membuang napas berat, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, termasuk melihat ke ruang tengah sedikit. Rumah tampak sepi. Sepertinya, Ibu memang lagi keluar.“Kebiasaan! Kalau keluar rumah, pasti nggak kunci pintu,” rutukku, sambil melepas sepatu satu per satu. Lantas bersandar, di sandaran kursi yang tak lagi seempuk tiga tahun lalu.Iya! Kursi yang ibu beli dengan uang hasil menabungnya selama beberapa bulan lalu ini memang sudah begitu lapuk, sudah harus diganti kalau saja ada uang lebih untuk membelinya kembali. Sementara setelah Ibu berhenti kerja cuci gosok di salah satu rumah tetangga jauh, keuanganku malah tak cukup untuk memenuhi pengeluaran setiap harinya.Apalagi kalau di antara aku dan Ibu ada yang jatuh sakit, gajiku tak pernah cukup untuk biaya sampai kembali menerima gaji. Alhasil, utang pinjam pun menjadi satu-satunya pilihan. Entah ke warung, atau pada yang l
Usai berdebat panjang kali lebar dikali tinggi lagi, padahal masalahnya hanya gegara urusan mandi, aku dan Ibu akhirnya akur dan makan berdua di ruang tengah, sembari menonton acara televisi di channel ikan terbang sebelum magrib. Biasa, karena sudah menjadi keseharian Ibu, yang ditonton pun selalu saja sinetron bertema pelakor.Iya! Ungkapan tentang seorang ini memang sedang merajalela di dunia perfilman, atau pun di dunia maya. Sehingga, di mana-mana, yang kutemui selalu saja berkaitan dengan kata pelakor itu.Aku sebenarnya kesal, nggak mau gitu kalau Ibu menonton sinetron yang selalu bikin tensi darah tetiba terasa tinggi. Apa-apa teriak, bilang rasain. Apa-apa gereget, bikin isian bantal carut-marut. Namun, tetap saja Ibu nggak pernah mau mengganti channel sebelum acaranya selesai. Dia kerap menontonnya sampai habis.“Bu ...,” sapaku, sembari mengunyah pelan karena memperhatikannya secara diam-diam. Ibuku itu mempunyai wajah yang cantik. Dia jug
Brus!“Astaga! Banjir ... banjir, Bu.” Aku mengerjap-ngerjap sambil mengusap wajah, setelah merasa tertimpa air. “Tolong! Tolong, Bu. Banjir!”“Banjir otakmu!”Ibu mencubit pinggangku keras-keras, membuat aku seketika membuka mata lebar-lebar seraya menoleh ke arahnya. Bibirku mengerucut, mengaduh sakit sambil mengusap-usap pinggang.“Sakit, Bu.”“Ya, kenapa atuh belum bangun? Tuh lihat! Percuma pasang alarm, kalau jam enam masih belum bangun?” Ibu menunjuk jam yang teronggok di meja sebelah kiri ranjang. Tapi sumpah, aku sama sekali tak mendengarkan alarmnya tadi.Aku mendengkus sambil menutup mata begitu melihat ember di tangan Ibu. “Jadi, barusan Ibu yang siram aku? Tega banget, sih, Bu ... aku kan anak gadis Ibu. Masa diginiin?” Bibirku makin mengerucut.“Kalau nggak salat, kamu wajib ibu pukul, loh? Mau?”“Ya, enggak. Tapi kan aku lag
“Sumpah, si Bos tuh bikin kaget aja tadi. Mana pake acara tuduh-menuduh lagi! Apaan coba?”Sekembalinya beristirahat, Tania merutuk sambil mengunyah makan siangnya. Lalu sesekali menenggak air mineral, karena mungkin nasinya itu susah untuk ditelan. Karena sebenarnya, pas tadi aku masak nasi untuk makan bersama, prosesnya memang terlalu buru-buru. Sampai lupa takaran, berapa banyak air yang harusnya aku masukan.“Dahlah biarin. Ngapain juga dipikirin? Dia kan emang gitu!” Aku pun sama-sama sedang mengunyah nasi. Pelan-pelan, karena nasinya memang terlalu keras. Sekeras hatiku yang masih aja mikirin Bian.“Nah, betul tuh kata si Tika. Lu kayak baru denger Pak Bos ngomel aja!” timpal Kho, yang justru baru selesai makan. Dia memang jagonya kalau soal kunyah-mengunyah. Mau lembek kek, keras kek, nggak pernah sekali pun memprotes siapa yang menanak nasi.“Iya, sih. Tapi tetep aja gue kaget,
Tahu rasanya ada iler malang-melintang di area bibir dan pipi pas bangun tidur? Terus, di depan kalian orang-orang melihat itu. Jangan harap harga diri kalian masih ada di atas bintang kalau sampai itu terjadi, karena nyali saja rasanya ciut untuk bisa bertatap muka dengan mereka lagi.Andai hanya di depan Kho dan Tania, aku tak kan merasa semalu ini. Bodo amat, karena mereka sudah tahu luar dan dalamnya perihal aku. Tapi, kalau sama Pak Dodot dan tiga pegawai prianya yang cakep-cakep ... ambyar, Gaes. Ambyar!Aku bergidik ngeri, membayangkan apa yang terjadi setengah jam lalu. Lantas kembali berusaha fokus menyetir motor, untuk sampai di rumah dengan selamat. Sepoi angin kemudian mengelebat, menampar-nampar wajah serta tubuhku sampai terasa lumayan dingin.Merasa dejavu, aku pun ingat akan peristiwa-peristiwa saat berangkat dan pulang kerja bersama Bian. Dingin yang menyergap tubuhku saat ini, hampir tak pernah aku rasakan karena dia selalu menyelimutiku dengan
Diselingkuhin, diputusin, sampai ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya itu emang bikin frustrasi. Malas ngapa-ngapain, dan bikin aku hampir melakukan tindakan bunuh diri. Tapi, setelah dipikir-pikir, ngapain juga rela mati demi orang yang tak peduli?Nanti, yang ada, begitu aku goak-goak gegara ngerasa sakit pas dijemput sama malaikat pencabut nyawa, si Bian malah indehoi semelehoi sama istrinya di malam yang entah ke berapa.Enak di dia, nggak enak di aku, dong? No! Daripada begitu, mending berselancar di dunia literasi yang katanya penuh dengan halusinasi. Banyakin temen, atau pacar sekalian buat happy-happy.“Coba kita lihat sekarang, apa dia ada mengirim pesan?” tanyaku pada diri sendiri, seraya menghidupkan data ponsel.Seperti biasa, begitu data kunyalakan, suara ‘tang-ting-tung-teng-tong’ dengan diiringi getaran langsung meramaikan suasana sepi di dalam kamar. Notifikasi Facebook, notifikasi W
Esok pagi, setelah meminta izin untuk libur bekerja, aku bersiap-siap untuk meluncur ke lokasi di mana ada satu rumah yang kurasa memang cocok untuk ditempati. Selain tempatnya yang nggak jauh-jauh banget dari mini market, harga rumah tersebut terbilang murah. Bahkan, tak sampai mencapai harga jual rumah Ibu kemarin.Seandainya cocok, uang sisa yang dipegang Ibu bisa dibuat modal usaha dulu. Dagang apa gitu, biar Ibu langsung ada kegiatan sebagai warga baru di sana. Pada kenalan kan tuh nantinya? Terus, kalau sudah kenal ... biasanya suka main jodoh-jodohan. Nah, siapa tahu kalau jodohku itu masih nyempil di antara anak-anak mereka? Ho-ho-ho.“Neng ... dah siap belum?”Tiba-tiba, suara Ibu terdengar menggelegar dari luar kamar. Persis sepiker masjid. Aku rasa Ibu sudah tak sabar untuk segera pergi. Secara, Ibu memang hampir tak pernah jalan-jalan, karena selalu saja menolak saat kuajak pergi.Sibuklah, capeklah, panaslah. Dan banyak lagi alasa