Esok pagi, setelah meminta izin untuk libur bekerja, aku bersiap-siap untuk meluncur ke lokasi di mana ada satu rumah yang kurasa memang cocok untuk ditempati. Selain tempatnya yang nggak jauh-jauh banget dari mini market, harga rumah tersebut terbilang murah. Bahkan, tak sampai mencapai harga jual rumah Ibu kemarin.
Seandainya cocok, uang sisa yang dipegang Ibu bisa dibuat modal usaha dulu. Dagang apa gitu, biar Ibu langsung ada kegiatan sebagai warga baru di sana. Pada kenalan kan tuh nantinya? Terus, kalau sudah kenal ... biasanya suka main jodoh-jodohan. Nah, siapa tahu kalau jodohku itu masih nyempil di antara anak-anak mereka? Ho-ho-ho.
“Neng ... dah siap belum?”
Tiba-tiba, suara Ibu terdengar menggelegar dari luar kamar. Persis sepiker masjid. Aku rasa Ibu sudah tak sabar untuk segera pergi. Secara, Ibu memang hampir tak pernah jalan-jalan, karena selalu saja menolak saat kuajak pergi.
Sibuklah, capeklah, panaslah. Dan banyak lagi alasa
Seraya menunggu ibuku salat, aku sempatkan untuk membuka data terlebih dulu. Barangkali, ada Bara yang kelimpungan gegara Facebook-ku nggak aktif-aktif. Apalagi setelah aku nggak sempat balas pesannya yang tadi malam.Benar saja, begitu data tersambung, notifikasi pun ternyata penuh oleh jempol Bara yang mampir di setiap postinganku. Bahkan, foto dan status yang kutunjukkan untuk Bian dia beri love sebagai jejak.Astaga!Aku menggeleng, tak menyangka kalau dia tiba-tiba akan seantusias itu untuk mengetahui tentang diriku. Beralih pada Messenger, pesan Bara pun menjadi satu-satunya yang aku buka.“Kamu nggak suka puisinya? Kok nggak balas, sih? Malah off sepanjang malam, bahkan nggak aktif-aktif saat kucek di pagi hari.“Aku minta maaf kalau memang aku terlalu lancang. Tapi, jujur saja ... tiba-tiba aku merasa nyaman. Apalagi setelah melihat foto-fotomu hampir di sepanjang malam, aku suka.”Suka? Secepat itu? Hanya karena be
Setelah bicara banyak sama Kang Cihu, tiba-tiba Ibu langsung mengajak aku pulang. Sampai tak sempat pamit pada Kho dan Tania, apalagi Pak Dodot. Selain karena mereka sibuk, Ibu benar-benar menyuruhku untuk buru-buru.Entah kenapa, aku tak tahu sampai setibanya di rumah, Ibu langsung membuka kunci dan ladi terbirit-birit ke dalam.“Ibu kenapa, sih?!” teriakku sambil mengunci leher si Monic. Lalu melesat, menyusul Ibu ke dalam.“Ibu kebelet, Neng. Sumpah nggak nahan!” jawabnya, sambil membanting pintu kamar mandi.Astaga! Ternyata cuma karena kebelet? “Kenapa nggak buang air di sana aja? Kan, ada toilet.” Aku memelak pinggang di depan pintu kamar mandi dengan napas terengah. Sesek, kek waktu diputusin pacar.“Malulah. Untung tadi baru kerasa mules biasa. Duh ... leganya.” Ibu mendengkus, diiringi suara kentut.“Ih! Ibu jorok.”Aku bergidik seraya berbalik badan, lalu melesat me
Sesampainya di ruang tamu, aku menggeleng tanpa bisa berhenti senyum. Tingkah laku Bara tetiba berubah lucu, apalagi kalau sudah bicara panjang kali lebar di ruang chat. Rasanya malas untuk berhenti kalau saja tak lagi sibuk begini.“Kenapa kamu? Senyum-senyum sendiri, udah kek orang habis obat.” Ibu yang entah dari mana itu tiba-tiba muncul di hadapanku.“Mulai, deh. Jangan rusak mood-ku kenapa? Lagi senang ini,” kataku seraya mengikat dus dengan tali rapiah. Isinya masih perabot dapur, yang sudah dikemas sejak kemarin.“Ok, Bos!” jawab Ibu sambil tergelak. “BTW, bajumu sudah dikemas semua?”“Sudah, Bu.”“Mobil gimana? Datang jam berapa kira-kira?”“Mungkin jam lima.” Aku mengangguk-angguk, meyakinkannya. “Tapi, tiga mobil kiranya cukup nggak, ya?”“Nggaklah. Tapi nggak apa-apa. Sisanya bisa nyusul. Bukan orang lain ini yang beli rum
Sukses dibuat tak keruan karena genggam, tatap, juga senyum Kang Cihu, akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang. Tepatnya setelah aku sampai dengan selamat di tempat tujuan, lalu turun dan menginjakkan kaki di sana sambil menghirup udara segar di batas hari.Waktu sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Itu artinya, sebentar lagi akan terdengar seruan azan dari beberapa masjid terdekat. Namun, yang membuatku terkesima sekarang adalah senja. Di mana aku dapat melihat panorama jingga dengan begitu jelas, tanpa satu pun awan yang menghalangi keindahannya.“Sebut nama Allah saat mengagumi apa pun, Neng.”Aku langsung mengerjap, begitu mendengar suara berat Kang Cihu. Dia benar. Buru-buru aku pun menyebut nama Allah, Tuhan Pemilik Dari Segala Keindahan dan Kenikmatan Di Dunia Ini.“Pinter.”“Udah dari lahir, Kang. Terkodrat.”“Percaya,” timpalnya sembari ter
Sejak sore, awan di atas sana sudah menggulung-gulung, tampak tebal dan hitam. Namun, karena hawa yang tetap terasa panas di tengah-tengah kelebat angin, kupikir hujan tak kan turun secepat ini.Ternyata aku salah, karena kira-kira satu jam setelah azan isya berkumandang, hujan turun diiringi gelegar guntur dan kilauan kilat. Seolah saling menyahut, saling memamerkan kelebihan masing-masing dengan disertai kelebat angin. Menakutkan, sekaligus mengagumkan.Untungnya, barang-barangku sudah selesai dipindahkan ke dalam rumah. Ponsel yang tadi kubanting pun diselamatkan Kang Cihu, tanpa kutahu.Mobil-mobil yang disewa Pak Dodot pun sudah sedari tadi menghilang dari pandangan. Sopir-sopirnya itu SMP, setelah makan pulang. Pak Dodot apalagi. SMK, Setelah makan kabur.Malah, kata Bu Ana yang minta maaf karena tak bisa membantu beres-beres, Pak Dodot sudah pergi ke langit. Molor, gitu maksudnya. Sementara itu, yang lain justru terjebak
“Haha! Serius amat, sih? Aku cuma bercanda kali,” selorohnya di tengah-tengah ketegangan yang aku rasa. “Mpe tegang gitu mukanya.”“Heleh! Kek bisa liat wajahku aja kamu. Gelap, loh ini.”Aku tertawa kikuk seraya menarik diri, berjalan mundur perlahan untuk menjauhinya. Dia memang benar, keteganganku barusan udah kek ibu-ibu yang lagi nunggu waktu lahiran. Bikin deg-degan, bikin keringetan, dan tentunya bikin kentut tertahan.“Kamu kali yang tegang? Ih, atut ...!” lanjutku sambil bergidik. Pura-pura ngeri, padahal lagi ngeluarin kentut perlahan-lahan biar nggak sampai bunyi.“Eh, maksudnya apa?” Dia tergelak sambil melangkah maju, sepertinya sengaja mengikutiku.“Hayo, loh. Otaknya jangan ngeres!”Tanganku refleks menangkup mulut. Selain karena takut tiba-tiba tercium aroma kurang sedap, aku pun ingat bahwa otakku yang justru sudah terkontaminasi pikiran-pikiran aneh. Ta
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,
Sebenarnya aku kurang percaya, tapi nggak ada yang salah kalau Kang Cihu pernah jadi Kang Kuli di kota metropolitan sana. Apalagi kalau dilihat dari usahanya sekarang, aku yakin, dia itu berasal dari kelas tengah di antara orang-orang kelas menengah. Miskin kagak, kaya apalagi.Sama persis denganku, yang penghasilannya hanya bisa dipake buat makan sehari-hari. Nggak bisa dipake buat jalan, apalagi terbang, karena aku nggak punya sayap kayak rotinya kaum berdaster.Aku mengangguk, mencoba memahami dan mempercayai penjelasannya barusan. Membuat dia akhirnya mengubah posisi duduk, lalu menghadap meja sepertiku. Bukan menghadap Pak Penghulu, karena kita sama-sama ditinggal jodoh. Apalagi menghadap Allah, karena kita masih mau mencari jodoh.Aamiin, Ya Allah. Kabulin, please!“Terus, soal kamu sama si Bian brengsek itu gimana?” tanyanya. Terdengar kesal, sampai membuatku mengernyitkan heran.“Dih! Kok jadi kamu yang kesal sama si Bian,