EDER POV
Harus aku akui calon ayah tiriku memang hebat,
Bagaimana dia mendesain rumah minimalis ini dengan begitu apik, hunian yang sangat diimpi-impikan setiap orang. Bahkan detail sederhana seperti tatanan hiasan pun diperhatikan sangat baik.
Aku tercengang,
Nugroho Putra, Dia memang bukan arsitek biasa, tidak hanya kreativitas yang tinggi dia juga punya selera yang bagus.
Seperti kamar yang aku tempati saat ini, didominasi dengan warna abu-abu, benar-benar terlihat elegan dan nyaman untuk ditinggali. Aku mengangguk-angguk sekali lagi, meninggalkan koper-ku hanya beberapa meter di dekat pintu. Menjatuhkan tubuh lelahku di kasur empuk yang sedari tadi melambai-lambai ke arahku.
"Finally." Desahku lesu,
Mataku menatap langit kaca yang langsung menampilkan langit luar.
Aku menyukai detail ini, sekali lagi aku hanya bisa mengagumi bagaimana calon ayah tiriku yang jenius dalam mendesain interior rumah. Apakah dia tidak keberatan jika kuminta untuk mendesain sebuah rumah untukku di masa depan?
Sebelumnya aku tidak peduli dengan siapa Mommy akan menikah, tapi saat bertemu dengan Nugroho, aku merasa pilihan Mommy tepat. Setidaknya Nugroho sudah berhasil dalam hidupnya, seharusnya dia bisa menjaga Mommy.
Walaupun itu hanya perkiraan setidaknya aku merasa lega.
Tidak seperti Daddy.
Oh poor Daddy, dia masih terjebak dengan sih jalang itu.
Tok..
Tok..
Pintu diketuk beberapa kali lalu terbuka sedikit, Menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih cantik diusianya, Mommy dia berdiri diambang pintu terlihat ragu-ragu ingin masuk kedalam ruangan.
"Ed, Apa Mommy diizinkan masuk?"ujarnya, dengan wajah memelas yang aku sendiri tidak tahu kenapa ia memasang wajah seperti itu, Apa dia merasa sungkan?
Aku bangkit dari posisiku mengangguk sekilas, mengisyaratkan untuk Mommy masuk ke lebih dalam.
Mommy duduk dipinggir kasur, sedangkan aku masih pada posisi-ku, tidak berniat untuk membuat pergerakkan sama sekali.
Canggung. Entah bagaimana bisa hubungan anak dan ibu jadi secanggung ini? Tapi itulah yang aku rasakan saat ini.
"Terimakasih karena kamu menyempatkan untuk datang." katanya tersenyum tulus,
Aku tersenyum sekilas, hanya diam saat Mommy meraih tanganku dan menggenggamnya erat, "Mommy sangat senang." tambahnya,
"Aku bisa melihatnya." Sahutku sekenanya,
Mommy menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan,
Jangan melihatku seperti itu, Apalagi yang bisa aku katakan?
"Mommy tidak sempat menceritakan bagaimana Nugroho, Earl sudah mendengar semuanya tapi Eder terlalu jauh untuk mendengar ceritanya."
Aku tersenyum miris, kau yang dulu menjauhi-ku Mom, aku masih ingat dengan jelas saat-saat kelam itu.
"Nugroho orang yang baik, bertanggung jawab, dan perhatian. Dia cinta pertama Mommy jauh sebelum Mommy ketemu Daddy kamu."
Sejujurnya, aku tidak ingin tahu, tapi apa boleh buat aku harus bersabar untuk mendengarnya.
Inilah alasanku kenapa lebih menyukai hidup sendiri, Aku tidak perlu mendengar pendapatan, perasaan dan pemikiran orang lain, yang bahkan tidak menanyai opini-ku. Seperti mereka yang tidak peduli padaku, kenapa aku harus peduli? Kenapa aku harus menjadi pendengar yang baik ketika mereka bahkan tidak menanyai pendapatku?
Hingga saat ini, Mommy masih egois.
"Dan Anastasia, dia gadis yang manis, Nugroho berhasil mendidik Anastasia."
Lalu, bagaimana dengan Mommy? Apa Mommy berhasil mendidikku? Pertanyaan ketus muncul begitu saja dalam benakku.
"Mommy tidak perlu menceritakan semuanya, sejujurnya aku masih mengalami jet lag. Dan yeah, Mommy memiliki semua keputusan dalam hidup Mommy."
Aku menarik tanganku menjauh, aku tidak biasa dengan genggaman tangan itu. "Aku datang hanya ingin memastikan bahwa Mommy tidak seperti Daddy mendapatkan seorang Jalang yang hanya tahu bagaimana cara menghabiskan uang."
"Dan aku bisa melihat bagaimana Nugroho berhasil dengan hidupnya, itu akan lebih mudah untuknya membuat hidup Mommy bahagia." Aku menarik nafas, "Mommy tidak perlu menceritakan segala kenangan dan kebaikannya untuk membuatku mengatakan iya, ataupun-" Aku sedikit menggantung perkataanku, "Membuatku terkesan. Saat seseorang sukses dengan hidupnya, orang itu pantas untuk dijadikan sandaran."
"Jika Mommy ingat, aku sudah di pertengahan dua puluh tahun dan aku tahu beberapa poin tentang hidup, aku sudah cukup tua untuk mengerti setiap orang bersikap egois untuk membahagiakan diri mereka sendiri." tambahku, kenyataan bahwa keegoisan adalah sifat alami setiap orang,
Aku menjilat sekilas bibirku, "Jika Mommy bahagia, Aku juga akan bahagia." Bangkit dari posisiku, "Aku ingin mandi, badanku terasa lengket."
"Eder.." panggilnya lirih,
Aku berhenti, menarik nafasku. Apa lagi kali ini? Aku benar-benar lelah mendengar omong kosong yang seolah-olah harus aku mengerti.
Aku berusaha menahan diriku, aku cukup tua merengek pada Mommy untuk menanyakan bagaimana hidupku di California daripada menceritakan kisah cinta pertamanya. Itu menyedihkan, bahkan dia tidak menanyakan apakah hidup atau bisnisku baik-baik saja? Apa aku mengalami kesulitan selama tinggal sendirian? Apakah Daddy masih mengganggu-ku?
Tapi aku rasa, dia terlalu kasmaran sehingga perasaannya sebagai seorang ibu menghilang.
"Ed, maafkan Mommy."
Dan entah kenapa kata itu tidak cukup untukku, tidak cukup membuatku merasa lebih baik.
Maaf? seandainya kata itu mampu membuatku sedikit merasa lebih baik mungkin aku tidak akan seperti ini.
⇝
Sepertinya aku harus menerapkan mengunci pintu sebelum aku mandi. Aku lupa bahwa aku tidak sedang berada didalam rumahku sendiri, semua penghuni bisa keluar dan masuk kekamarku semaunya. tadi Mommy dan sekarang adikku sendiri,
Earl Von Mirrendeff.
Dia disini,
Dan aku yakin dia akan mulai bertanya banyak hal padaku, termasuk tentang Daddy.
Earl membelakangiku, dia tidak menyadari diriku yang berdiri beberapa meter darinya sebelum suara pintu kamar mandi tertutup membuatnya menoleh ke arahku.
"What?" Reflek-ku bertanya saat dia menoleh, menangkapku dengan mata birunya, iris mata yang sama persis dengan milikku.
Gen yang tidak bisa dipisahkan,
Gen yang tidak bisa dielakkan,
Yang mau tidak mau harus kuterima apa adanya, itu yang namanya persaudaraan.
Hanya mungkin yang membedakan kami berdua adalah kasih sayang yang diberikan. Aku tersenyum miris, merasa iri dengan adik kandung itu tidak baik tapi jika aku kembali mengingat masa lalu aku tidak bisa berhenti untuk merasa iri padanya.
Earl hidup dengan penuh kasih sayang Mommy, Dan karena itu pula dia tumbuh berkembang dengan baik. Sedangkan aku, Aku bahkan tidak bisa membedakan apa aku termasuk orang yang baik?
"Tidak ada." jawabnya.
Aku tidak memperdulikannya, berjalan santai sambil mengeringkan rambut-ku dengan handuk.
"Daddy, dia apa kabar?" Tanya Earl, pertanyaan seribu dolar yang sudah aku tebak akhirnya terlontar dari bibirnya yang sedari tadi diam saja. Lagi-lagi aku merasa kesal tanpa alasan, sampai kapan semua orang hanya bertanya dan memberitahu apapun yang mereka inginkan tapi mereka tidak cukup peduli dengan hidup yang dijalankan orang lain?
Apa terlalu sulit menanyakan bagaimana hidupku? atau mereka tidak terpikirkan untuk pertanya itu.
Aku bisa merasakan dia memperhatikan gerak-gerikku dari belakang, menusuk tajam melalui punggungku. Well, sekedar info gen Mirrenderf memiliki mata biru tajam yang mematikan dan mengintimidasi.
Tidak hanya Daddy, aku dan Earl memilikinya dari kecil.
"Good, I think." Jawabku asal, "Lo bisa telepon atau Skype-kan?"
"Terakhir gue Skype yang angkat tunangannya." Sahutnya, aku bisa mendengar dengan jelas nada lesu dari jawaban Earl.
Dia kecewa, sama sepertiku dulu.
Tapi sekarang tidak lagi, Aku tidak peduli,
waktu obat terbaik untuk hati yang terluka.
Aku tidak berniat menyahuti jawabannya, aku meraih kaos oblong putih lalu memakainya. Berusaha terlihat sibuk agar Earl keluar dari kamar. Aku sialan capek.
"Daddy sudah punya tunangan?" Tanya Earl, "Kok dia gak bilang gue? Kapan tunangannya?"
"Well, dia cuma Bitch yang baru dilamar, gak usah khawatir, Laura terlalu muda buat Daddy gue yakin Daddy cuma main-main."
Aku membalas tatapan Earl, "Gimana sekolah lo?" Mengalihkan topik yang sama sekali gak bermutu dan pada akhirnya akan merusak Mood-ku.
"Oh namanya Laura, dia umur berapa?"
Oh come on, dia tidak tahu bagaimana caranya berhenti dan tidak bisa membaca respon asal-asalan dari lawan bicaranya, "Earl, lo gak jawab pertanyaan gue, I'm asking how your school?"
"Jangan alihkan pembicaraan Ed, dia Daddy gue juga." Fuck you Earl,
Aku memutar mataku malas, "Sekitar 29 atau 30 tahun I don't even fucking care, Earl." Aku menghela nafas, "Can you leave me alone please? I'm tired."
"Kenapa lo masih bersikap seolah-olah lo gak peduli Ed?" tanyanya masih berusaha, Well, Earl. Aku memang sudah berhenti untuk peduli.
"Earl, gue capek." jawabku lesu,
Earl berdiri dari ranjangku, menepis tanganku kasar. "Kenapa lo pura-pura gak peduli?!" tanyanya, kali ini nada suaranya lebih tinggi dari sebelumnya. "Lo tahu Daddy sama seorang jalang yang cuma peduli sama uangnya saja dan lo sesantai ini? Lo anak macam apa Ed!" Bentaknya, sialan di depan wajahku.
Kesabaranku sudah habis, aku melempar handuk yang sedari tadi digenggamanku ke lantai.
Aku mendengus kasar, "Shut up dude! Lo tanya gue anak macam apa? Mommy Daddy itu orang tua macam apa?! Kenapa lo cuma mengomentari sikap gue dan pura-pura buta dengan sikap mereka?" Aku sudah dalam kekesalan yang maksimum,
"Ed...." Earl tidak bisa berkata-kata, dia terkejut dengan responku.
Hey jangan marah padaku, aku lelah, dan harus mentoleransi sesuatu seperti ini? Aku bukan orang yang sesabar itu!
"Lo tahu apa yang terjadi dan Lo tanya begitu ke gue?" Aku menarik rambutku frustasi, "Please leave me alone!" Kataku penuh penekanan, berharap dia berhenti atau aku akan lebih meledak lagi.
Earl tampak terkejut dengan reaksiku, dia berjalan lunglai kearah pintu.
Aku menghela nafas, Reaksiku tadi berlebihan tapi..
Aku tidak punya pilihan,
Aku kembali menghela nafas, "Night Earl." Kataku menatap wajahnya lalu tersenyum sekenanya.
Earl mengangguk, tersenyum canggung lalu melangkah keluar. lalu pintu pun kembali tertutup,
Bisakah aku berharap pintu itu akan tertutup selamanya?
Meninggalkan aku sendirian, dan menjadi satu-satunya yang tersisa,
Aku tidak butuh mereka,
Mereka yang egois hanya tahu rasa sakit mereka tanpa peduli lagi pada rasa sakit yang lain,
Bahkan jika kamar ini bisa menelanku kedasar, aku akan lebih bersyukur.
Aku duduk di ujung kasur, mengusap wajahku kasar,
Apa yang terjadi dulu, tidak akan bisa selesai hanya sekedar kata maaf!
Karena hati, tidak sebaik dan sesimpel itu, terlebih hati seorang anak yang kecewa pada orang tuanya.
⇝
ANASTASIA POVAku menaruh baju-baju pantai able, entah itu baju renang, bikini, gaun malam atau pun gaun yang akan dipakai saat pernikahan Papa.Sebentar lagi rumah ini akan diisi penghuni baru, Rumah ini tidak akan sama lagi seperti sebelum-sebelumnya. Rumah yang semula hanya diisi aku, Papa, dan beberapa pegawai pembantu rumah tangga mungkin akan terasa ramai karena akan menambah tiga orang sekaligus.Aku mengedarkan pandanganku keseluruh bagian kamar yang sudah kutempati hampir 20 tahun, aku tidak pernah sekalipun pindah kamar, hanya beberapa kali mendekor ulang kamar menyesuaikan dengan seleraku yang suka berubah-ubah mengikuti mode yang ada.Kamar tidur yang pernah berganti cat hingga berkali-kali, dari warna pink - ungu - biru muda - Peach dan berakhir pada warna abu-abu muda. Aku tersenyum singkat, ada perasaan berdebar-debar yang sulit aku ungkapkan setiap kali membayangkan akan hidup bersama dengan calon pendamping Papa.Aku tahu itu bukan hal buruk, tapi aku rasa, akan banya
ANASTASIA POVAku merasa seperti gadis buruk rupa yang mendadak menjadi pusat perhatian, karena dua cowok Bule dengan celana kolor yang males-malesan berjalan disampingku dengan wajahnya sialan mencolok dan berbeda. Bahkan dengan celana kolor yang mereka kenakan tidak mengurangi pesona mereka.Sejak kapan celana kolor terlihat keren dipakai untuk ke mall,Ibarat angsa berbaur dengan bebek. Entah bagaimana aku merasa seperti bebek yang salah berbaur dengan rombongan angsa yang cantik dan elegan,Aku melirik mereka malas, tapi tidak bisa berhenti melirik tingkah mereka. Entah sudah keberapa kalinya aku mencuri pandang kepada mereka berdua.Berjalan dengan tangan disaku,Celingak-celinguk,Dan yang paling menyebalkan, mereka masih mempesona dengan tampang melongonya.Sejak kapan tampang melongo gak tahu apa-apa begitu sedap dipandang.Sedangkan diriku, yang sudah mencoba untuk tampil mempesona terhempas jauh dengan outfit Celana kolor mereka. Eder dan Earl, mereka cocok menjadi model Ce
EDER POVAku bisa melihat bagaimana bentuk pulau Bali sebelum pesawatku mendarat,Ini kali pertama aku ke tempat ini. Dan perasaanku masih berantakan, Ya, aku belum pernah ke Indonesia, bukan berarti aku tidak punya uang tapi Indonesia salah satu negara yang membuatku berfikir dua kali untuk berkunjung setelah Korea Utara.Jangan bertanya kenapa, karena aku sudah cukup lelah mendikte alasannya.Aku melepas Safe Balt saat Pramugari sudah memberi isyarat jika pesawat sudah mendarat dengan aman di Bandara Ngurah Rai, Bali.Tersenyum Samar,Akhirnya aku menginjakkan kaki dengan percaya diri disini.Aku tidak akan mengelak, beberapa tahun yang lalu saat aku sudah bisa mengurus semuanya sendiri, aku sempat berfikir untuk datang kesini, tapi..Aku menaikan bahuku, lupakan saja, sekarang aku disini.Jangan membebani diri dengan pikiranmu sendiri, Ed.Mataku menangkap Earl yang merapihkan dirinya sebelum bangkit dari kursi pesawat yang ia duduki sejak dua jam perjalanan.Perang dingin, ini ma
AUTHOR POVAnastasia terlihat bahagia berlarian dipinggir pantai bersama Arcila, mereka berlarian menghindari ombak sambil sesekali tertawa menertawakan ekspresi lucu satu sama lain.Pantai, merupakan hal terfavorit untuk Anastasia. Dia memiliki angan-angan suatu hari nanti, akan menikah dibawah sinar bintang, dengan ditemani suara deburan ombak dan angin yang tak henti menerpa wajahnya. Impian seorang gadis akan pernikahan idamannya.Seketika gelak tawanya berhenti, saat melihat seseorang Anastasia membeku. Dia bahkan tidak menghindar saat ombak besar menerpa betisnya. Dari kejauhan bisa dilihat bagaimana ekspresi bahagia Anastasia sirna dalam sekejap, senyumnya perlahan menghilang saat ia melihat laki-laki yang pernah menjadi masa lalu gilanya.Laki-laki yang dulu dia fikir akan menikahinya,Laki-laki yang diharapkan mengwujudkan impiannya,Laki-laki yang menjadi alasan untuk setiap mimpi dimasa depannya,Nathan Erlangga.-ANASTASIA POV"Auntie."Panggilan Arcila mengejutkanku, Aku
EDER POVAku menghentikan langkahku saat melihat Anastasia berlari kecil kesana kemari ikut mengatur menata pesta makan malam antar keluarga nanti malam, sesekali dia berbicara pada pelayan seperti memberi intruksi.Sesuatu yang tidak pernah bisa aku lakukan, bersandiwara untuk terlihat baik-baik saja.Dengan gesitnya dia berlari kesana kemari, aku bisa melihat bahwa mendekorasi pesta ini membuatnya senang. Tapi entah kenapa aku kasihan melihatnya,Tak henti-hentinya dia tersenyum, dan berlari hingga tiba-tiba langkahnya berhenti.Anastasia mematung memeluk satu buket cukup besar berisi bunga Lily, membuatku mengerutkan kening karena keheran melihat keceriaannya menghilang persekian detik seperti tertiup angin. Aku berusaha mengikuti arah pandangnya, dan aku menangkap laki-laki bersama seorang perempuan berjalan bergandengan, berbincang ringan dan sesekali tertawa bersama.Nathan, dan entah siapa perempuan yang ada disampingnya.Aku kembali melihat kearah Anastasia, dia masih diposisi
EDER POVAku tidak terlalu suka berada dikeramaian, terlebih berada dilingkungan asing yang sama sekali tidak kukenal. Tapi saat ini aku tidak begitu merasa terbebani karena ada Anastasia yang dengan ringan memperkenalkanku dengan sanak saudaranya, membuatku bisa merasakan berada disebuah keluarga.Lebih tepatnya, keluarga besar.Anastasia memang benar seperti maskot keluarga Nugroho, dia peduli dan mengerti setiap keluarganya, Satu persatu.Mungkin, dia lebih paham bagaimana keluarganya dibandingkan dirinya sendiri."Itu namanya Bastian." Anastasia melambaikan tangannya saat laki-laki berjas hitam melambai lebih dulu kearahnya, "Dia baru selesai kuliah di Australia, padahal masuk kuliahnya barengan aku. Dulu waktu kecil dia gak seganteng itu, ingusan, gak mau pakai baju, gak tahu kenapa bisa secakep itu sekarang.""Lo sering kumpul-kumpul keluarga?" Tanyaku, masih memperhatikan satu persatu keluarga Anastasia yang super banyak itu.Jika aku Anastasia aku tidak yakin bisa mengingat ma
FLASHBACK"Sayang."Laki-laki tampan itu menoleh, dengan langkah cepat Anastasia mendekatinya lalu memeluknya dari belakang."Tunangan aku kok wangi banget, habis mandi ya?" Tanya Anastasia menghirup dalam kaos oblong putih yang dipakai laki-laki yang sudah bersamanya bertahun-tahun.Aroma favoritnya,"Kamu baru pulang? Gimana kuliahnya, kamu harus lulus tahun ini, emangnya kamu gak mau ikut Aku ke Landon buat nerusin kuliah Aku." Sahut laki-laki yang tak lain adalah Nathan, dia berbalik mengubah posisi memeluk gadisnya.Menghelus lembut rambut panjang gadis yang sangat berarti untuknya,"Iya, aku sudah berusaha keras kok, aku pasti Lulus tahun ini." sahut Anastasia dengan semangat,Nathan tersenyum, menghusap hidungnya dengan hidung Anastasia. "Jadi cuti dulu ya dari blog dan desain kamu. Om Nugroho gak akan bilang yes kalau kamu belum lulus.""Daddy pasti bilang yes buat aku, kamu gak perlu khawatir." sahut Anastasia, dia lebih mengenal Ayah-nya lebih daripada yang lain. Dia tau, ji
ANASTASIA POVRock bar, Ayana Resort, Bali.Aku masih menatap Eder yang dengan santainya duduk celingak-celinguk memperhatikan sekitar, aku masih tidak bisa percaya beberapa saat yang lalu dia menarikku pergi dari acara makan malam keluarga.Setiap kali mengingat hal itu jantungku masih berdegup kencang hingga sekarang.iPhone-ku kembali berbunyi, entah sudah keberapa kali Mbak Rini menghubungiku."Gak mau diangkat aja?" tanya Eder dengan santai sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jamarinya, menikmati alunan DJ yang diputar. Seakan tidak ada beban.Apa-apaan itu?Apa dia tidak merasa bersalah?Liat dia baru saja membuat masalah tapi dia bisa sesantai ini dan pura-pura tidak terjadi apa-apa."Kamu sadar gak sih, kita habis ngapain."Aku benar-benar ingin memukul wajah sok bodohnya itu, pelanga-pelengo benar-benar tidak menyadari perbuatannya, "Memangnya apa?""Oh god.. Mr Eder, are you kidding me?" Aku berdiri dari tempat dudukku, sebal bukan main dengan tingkahnya."Ayo pulang!" sahutk