Pagi itu aku terbangun dengan badan yang terasa sangat sakit, seolah tubuhku tertimpa sesuatu yang berat. Aku merenggangkan seluruh tubuhku, menghisap udara pagi dalam-dalam dan kemudian membuka kedua bola mataku.
Aku terperangah, di depanku saat ini sebuah pemandangan kamar asing dan aku sangat yakin ini bukan kamarku. Beberapa rak kayu tampak rapi berjajar layaknya pasukan penjaga, lengkap dengan buku sebagai muatannya. Semua tampak rapi dan bersih tidak seperti kamarku yang biasanya seperti kapal karam.
“Ini di mana?” ucapku tak mengerti.
Aku melihat ke sekeliling sekali lagi, berusaha mengingat sesuatu dalam ingatanku.“Ini! Kamar ini! Jangan-jangan! Ini kamar itu!”
Kamar yang selalu aku pandang dari balik layar ponsel, kamar yang selalu menjadi tempat peristirahatan orang itu.Aku bergegas mencari si pemilik kamar, tapi hasilnya nihil. Aku terus berjalan hingga sebuah bayangan asing terpantul dari sebuah cermin yang aku lewati.
“Wah!!! Kau!” aku menatap bayanganku sendiri dengan rasa tak percaya, “Ini hanya imajinasiku saja! Ya! Ini imajinasi saja!”
Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini tidak nyata sama sekali, ini hanya imajinasiku saja.
Surai dengan warna kuning, kemudian manik mata berwarna biru terang berhiaskan kacamata berbentuk persegi panjang, tampak terlihat sangat jelas dari pantulan cermin yang di hadapanku.
“Auuh!” pekikku setelah merasakan sakit pada pipiku.
Ini bukan mimpi! Ini nyata! Tapi bagaimana bisa?
Ah! Saat itu aku tengah membuka permainan “Monster Girlfriend” hingga tiba-tiba sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh dan menabrakku hingga aku kehilangan kesadaran, apa aku mati?
Bagaimana dengan Ayah dan Ibuku?
“Maafkan aku Ayah dan Ibu, aku belum mampu membahagiakan kalian,” ucapku sembari menatap kedua telapak tanganku sendiri.
Tapi bagaimana bisa? bukannya aku sudah berada di alam baka sekarang? Tapi ini bukan alam baka! Ini dunia “Monster Girlfriend”.
Aku belum memiliki pacar! Aku belum melaksanakan ujianku! Bahkan aku belum menamatkan web novelku! Aku belum memberi tahu Ibu dan Ayah bahwa aku diterima di universitas itu! Tidak-tidak! Aku harus kembali! Aku harus!
Tapi bagaimana caranya? Apa aku harus mati lagi di sini? Pisau! Aku melihat pisau!
“Tunggu! Bagaimana kalau aku benar-benar sudah mati di sana dan tidak terlahir kembali? Bukannya ini kesempatan bagus? Aku menjadi tokoh utama dalam cerita ini!” ucapku seraya melepaskan pisau yang baru saja bertengger dalam genggamanku di atas meja.
Baiklah! Selamat tinggal kehidupan lamaku! Selamat datang kehidupan baruku!
Mulai hari ini, aku harus hidup menjadi orang yang lebih baik. Aku harus bersosialisasi dengan teman-temanku di sekolah. Untuk selanjutnya, aku harus mencari cara menghindari mereka! Tapi bagaimana? Mereka teman sekelasku! Apa ada orang yang dapat menolongku?
“Ricky! Halo! Ricky!” tiba-tiba suara seorang remaja pria terdengar diiringi ketukan pintu.
Siapa dia? Aku harus mengingat-ingat! Tokoh utama bernama Ricky Brown memiliki seorang sahabat.Aku adalah Ricky Brown dan itu pasti Rudy!
“Rudy? Apa itu kau?” Aku berusaha memastikan siapa gerangan orang itu.
“Tentu saja! Kau kira ada orang lain yang mau merepotkan diri untuk mengajakmu berangkat sekolah?” jawab si pemilik suara.Kejadian pertama, tokoh utama kehilangan sahabatnya, Rudy Springfield. Ia tewas dengan alasan tak jelas dan membuat tokoh utama merasa bersalah karena membiarkan sahabatnya berangkat sekolah seorang diri.
“Rudy!” aku segera berlari dan membuka pintu kamar, “Tunggu! Jangan pergi! Aku mohon! Temani aku hari ini! Aku sedang tak enak badan!”
Remaja pria berambut gelap yang berdiri di hadapanku menatap aneh, bola mata hijaunya seolah bertanya “ada apa? Kau aneh hari ini!”
“Tidak bisa, kau tahu bukan aku ada seleksi untuk mewakili sekolah kita dalam perlombaan antar sekolah?” ucapnya sembari mengangkat kedua bahu.
Ah! Aku lupa ia harus ke sekolah! Aku harus melakukan sesuatu! Aku tidak mau kehilangan sahabatku ini!
Tunggu! Lupa? Aku belum tahu tapi kenapa aku bisa lupa?Sepertinya ingatan Ricky perlahan mengalir ke dalam kepalaku.“Benar juga, tapi kau tahu bukan? Kalau kau adalah satu-satunya sahabatku? Apa kau berjanji akan bersamaku hingga lulus nanti?”
Mencari teman baru di sini tampaknya tidak mungkin, apalagi Ricky korban bully di sekolahnya. Jika aku membiarkan Rudy menghadapi ajalnya sekarang, aku akan seorang diri. Aku tidak bisa diam saja! Ia orang baik!
Sial! Kenapa perasaanku campur aduk sekarang!
“Tentu saja! Untuk apa kau mengharu biru di pagi ini? Kau ini hanya sakit bukan mau meninggalkan dunia ini hahaha!” tawanya lepas.
Bukan aku, kaulah yang akan meninggalkan dunia ini.
“Tunggu, aku akan segera bersiap! Jangan tinggalkan aku! Ingat itu!”
“Baiklah, tapi cepat!” ia meninju bahuku pelan.
Baiklah, misi pertama membuat Rudy selamat hingga 24 jam.
Sebuah bangunan besar dan megah terpampang jelas di hadapanku, suara gemericik air menyambut langkah kami berdua. Suara itu terdengar semakin jelas kala kami masuk ke dalam halaman dan semakin dalam. Tepat di depan pintu masuk ke bangunan sekolah, sebuah air mancur yang indah mengalihkan perhatianku.Lengkap dengan patung wanita yang membawa bejana serta kolam berbentuk lingkaran berisi ikan-ikan yang tengah menari.
Aku semakin tertegun kala melihat bangunan sekolah ini, terlihat sangat indah dan hampir bisa dikatakan sebuah kastil. Ornamen bergaya Eropa, jendela kaca yang tersebar di seluruh penjuru bangunan, serta tanaman merambat berdaun hijau di dindingnya membuat bangunan ini semakin luar biasa.
“Hei! Ricky!” panggil Rudy yang telah cukup jauh berjalan di depanku.
Aku bergegas mendekatinya kemudian melanjutkan perjalanan kami menuju kelas.
“Hei! Tuan Brown!” tiba-tiba sebuah suara yang terdengar mengejek memanggil namaku.
“Biarkan saja, anggap kita tak mendengar ucapannya.” Rudy membuka pintu kelas, kemudian mendorongku masuk terlebih dahulu.
Susunan meja dan kursi tampak rapi di tengah kelas, beberapa gadis remaja tampak berbincang dan tak jarang tertawa pelan. Tiba-tiba mereka menjadi gusar dan duduk dengan rapi, bahkan beberapa anak laki-laki berlari ke meja mereka.
“Hei! Apa yang kau lakukan! Cepat duduk!” Rudy memanggilku dari sebuah kursi yang tak jauh dariku.
“Tuan Brown! Sudah berapa kali saya katakan. Saya tidak suka melihat bila ada yang murid masih berdiri ketika saya datang.” Suara berat seorang pria dewasa terdengar dari depan kelas.
“Ah? Maaf!” aku sedikit menundukkan kepalaku.
“Baiklah, saya akan memaafkan bila kau dapat menjawab pertanyaan ini. Tapi bila kau gagal, maka kau tidak boleh ikut pelajaran saya hari ini.”
Apa? Hanya karena begitu saja aku tidak boleh ikut belajar? Guru macam apa dia ini.
“Mozart membuat sebuah lagu yang sangat susah untuk dibawakan, ia sengaja menciptakannya khusus untuk adik iparnya yang sangat ia benci. Apa kau tahu judul lagunya?” pria itu tersenyum penuh kemenangan.
Semua mata memandangku, menunggu jawaban yang akan aku lontarkan.
Hahaha! Aku tahu! Lagu ini sempat menjadi tantangan di antara para pengguna aplikasi video pendek di duniaku.
“Queen of the Night,” ucapku dengan tenang.
Mata pria itu membulat seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.
“Baiklah, silahkan duduk.”
“Terima kasih,” aku berjalan dan duduk di sebelah Rudy.
Semua mata dalam kelas masih memandangku dengan rasa takjub dan tak percaya.
“Rudy, apa ada yang salah? Kenapa mereka semua menatapku seperti itu?” aku menyenggolnya yang menatapku sembari membuka mulut.
“Tidak!” ia menggeleng kemudian menyuruhku duduk.
******
“Ricky! Ada apa sebenarnya? Tingkahmu sangat aneh hari ini!” Rudy menatapku sembari menyendokkan makan siang ke dalam mulutnya.
“Bisa kau menginap di kamarku hari ini? Ada sesuatu yang harus aku tunjukan kepadamu.”
“Tapi kau tahu bukan kalau ak-”
“Aku mohon Rudy! Untuk hari ini saja!”
Ia menatapku dengan khawatir, kemudian tersenyum dan mengangguk.“Baiklah, tapi kau harus menungguku seleksi sepulang sekolah.”
“Tenang saja,” Aku menyeruput minumanku,“Aku akan menunggumu.”
Rudy mengangguk kemudian melanjutkan makan siangnya.
Tiba-tiba aku merasakan ada air yang mengalir dari pucuk kepalaku kemudian turun membasahi wajah dan leherku.
“Maaf tuan Brown! Tanganku terselip hahaha!” tawa seorang remaja pria yang merupakan teman sekelasku itu.
“Hentikan! Ia sedang sakit!” Rudy bangun dari duduknya kemudian menatap tajam ke arahku, tepatnya di belakangku.
“Kau sedang sakit? Kasihan sekali!” ia terus mengguyur kepalaku dengan air.
“Zack hentikan.” tiba-tiba suara seorang wanita dengan nada serius terdengar.
“Ma-mary! Kenapa?” air berhenti mengalir dari pucuk kepalaku, setelah Zack bertanya pada teman wanita sekelasku itu.
Aku yang masih diam seperti posisi awal saat masih mengobrol dengan Rudy, hanya memutar kepala ke arah suaranya yang terdengar serius dan dingin itu.
Seorang wanita berambut merah dengan mata cokelat tua, berjalan ke arahnya dan tanpa berdosa ia memberi tamparan keras pada Zack.
“Kau, hentikan atau kau akan aku beri pelajaran.” Wanita itu menatapnya dengan aura mengerikan, seolah akan menelannya bulat-bulat.
I-itu Mary Thornton, salah satu tokoh wanita monster yang akan aku temui!
Padahal aku telah berusaha untuk tidak bertemu dengannya di kelas, tapi kenapa ia malah menghampiriku?
“Kau, pakai ini,” Tiba-tiba sebuah handuk terbang ke arahku dan mendarat tepat di atas kepala, “Ricky temui aku sepulang sekolah, ada yang harus aku katakan kepadamu.”"Menemuimu?" tanyaku lagi untuk memastikan ucapannya.
"Kau akan menunggu Rudy bukan?"
"I-iya..."
"Tidak ada masalah kalau begitu." Ia berjalan menjauh meninggalkan kami.
Apa? Apa yang harus aku lakukan! Monster ini ingin menemuiku!
“Kau tak apa?” suara seorang wanita yang terdengar ceria memasuki ruang dengarku. “Ah! Ju-judy Wolfgang!” “Apa-apaan kau ini menggunakan nama lengkapku,” wanita berambut pendek itu duduk di sebelahku, “kau terlihat murung!” Jujur saja aku terkejut dengan suaranya yang tiba-tiba masuk ke dalam telingaku. “Aku sedikit tak enak badan.” “Aku dengar kau diganggu lagi oleh Zack!” ia memiringkan kepalanya ke arahku, membuat rambut hijaunya jatuh ke bawah tertarik gravitasi bumi. “Iya, seperti biasa dia akan terus menggangguku.” Aku tersenyum getir. Sial! Kenapa di dunia ini pun aku menjadi orang yang tertindas! “Kenapa kau tidak melawannya? Dasar anak kepala sekolah!” Ia menatapku dengan serius kemudian mengepalkan tangannya, “Kau tidak bisa terus-terusan di bawah perlakuannya! Kalau ada aku, pasti dia akan aku pukul!” “Tadi ada Mary yang menolongku, jadi ia tidak berbuat lebih jauh.” “Ma-Mary! Mary
“Kau kenapa Ricky?” Judy bertanya kepadaku dan duduk di sebelahku.“Tersedak,” ucapku sembari memukul dada pelan.“Zack berkata seperti itu?” Rudy bertanya memastikan.“Iya Zack berkata seperti itu.” Mary mulai duduk di sebelahnya tanpa membuang perhatian dari wajah Rudy.“Iya kami bertemu dengannya tapi aku segera mengajak Ricky pergi dari sana. Kalian tahu bukan apa yang ia lakukan siang tadi?” Rudy mengambil minumannya kemudian menenggak isinya, berusaha mengurangi ketegangan yang ia hadapi.“Aku ke kamar mandi sebentar.”Aku bangkit dan menatap Rudy yang tengah memasang wajah memelas ke arahku.Aku harus ke kamar mandi, bukan mau kabur! Sabar, tunggu aku kembali! Aku tidak mungkin meninggalkanmu.Hari ini panas sekali, ditambah dengan berlari ke sini, sepertinya aku harus mandi sesampainya di rumah.Aku berjalan masuk ke kamar mandi, kemudian suara
“Kau...” Suara lembut Rose yang biasanya terdengar.“Kenapa? Aku ikhlas kalau kau akan membunuhku.”Aku yang masih menutup mata berkata dengan sejujur-jujurnya.“Kau... benar-benar... tidak takut padaku?”“Tentu saja, kau temanku. Tapi aku memiliki permintaan kepadamu, kalau aku mati bisa kau menjaga Rudy?”Tiba-tiba sebuah pelukan terasa mendekap tubuhku dengan spontan aku membuka mataku.Ro-rose apa yang kau lakukan!“Dan di saat seperti... kau masih memikirkan Rudy?”“Ru-rudy sahabat terbaikku. Ro-rose bisa kau lepaskan aku?”“Oh! Jadi ini rahasianya?” tiba-tiba suara Rudy mengagetkan kami berdua.Dengan wajah memerah, Rose melepaskan pelukannya.“Tu-tunggu ini salah paham!” aku berusaha menjelaskan semuanya.“Ru...rudy sejak kapan... kau berada di sana?” Rose bertanya sembari menatap lantai
“Rahasia di antara para pria, benarkan Rick?” Rudy menyenggol kakiku.“Benar! Benar! Ini rahasia di antara kami!”Untung saja Rudy berpikir cepat!“Kenapa? Salah satu dari kalian menyukainya?” Judy mengedipkan sebelah matanya.“Rahasia,” ucapku singkat.“Benar! Rahasia!” Rudy mengangguk.“Kalian ini, padahal aku bisa saja membantu kalian untuk mendapatkannya,” ia membusungkan dadanya, “jika kalian tidak mau terbuka, apa boleh buat?”Judy menatapku dengan sorot mata yang tidak dapat aku artikan, kemudian berbalik dan duduk di kursinya yang kosong.“Kenapa dia?” gumamku tak sadar.“Hmm? Ada apa?” Rudy yang tengah membereskan buku ke dalam tas hitamnya menyahut.“Judy menatapku cukup lama sebelum kembali ke kursinya.”“Kau ini bodoh atau bagaimana Rick?” Rudy menggelengkan kepala.
Kalau aku bersikap baik, mungkin saja ia akan berubah pikiran!Aku harus tenang! Aku harus tenang!“Ka-kalau Paman mau, Paman bisa mengikutiku kebetulan aku juga menuju ke arah yang sama.”Aku tersenyum ke arahnya walaupun keringat dingin mengucur deras.“Terima kasih, tolong bantuannya!” Pria dewasa itu tersenyum.Walaupun ini terdengar gila, tapi aku sebagai calon korban dan dia calon tersangka berjalan bersama menuju alamat itu.Aku harus mengingat-ingat apa motif pria ini membunuhku.“Maaf paman kalau boleh tahu, ada urusan apa Paman?”Ia menghela napas, “sebenarnya Paman mencari rumah mantan istri Paman, kami memiliki seorang anak yang berumur tak jauh darimu, ia memiliki kelainan pada jantungnya.”Ah! Aku ingat! Ia membunuhku untuk mengambil jantungku!Kenapa kau selalu berakhir dengan kematian Ricky?Tiba-tiba Paman itu menangis, “tapi ia tewa
“Seperti biasa Zack.” Aku tersenyum pahit. “Benar-benar anak kepala sekolah itu!” Judy mengepalkan tangannya, “Ah iya! Kau dicari oleh tim lomba! Untuk persiapan lomba beberapa hari lagi.” Kalau dalam waktu seminggu aku belum menemukan pelakunya, ada kemungkinan Rudy akan diserang saat mengikuti lomba! Bagaimana ini! Aku harus melakukan sesuatu! “Ah Judy! Kemarin sepulang sekolah kau ke mana?” tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari dalam mulutku. “Ke-kemarin? Aku berbelanja! Ya! Aku berbelanja,” ucapnya dengan sedikit terbata. Ada apa ini? Kenapa dia terlihat seolah menyembunyikan sesuatu? Mencurigakan! “Rick...” Rose menepuk bahuku. Sebenarnya aku tidak memiliki niat untuk menuduhnya, tapi dengan gelagatnya yang seperti ini, siapa yang akan menututp mata? “Apa yang kau beli Judy?” Aku tersenyum ke arahnya. “A-aku membeli buku tulis hahaha!” tawanya terdengar canggung. “Kenapa kau tampak gelis
“Kakak! Apa yang kau lakukan!” tiba-tiba suara Rose meninggi.“Hee? Kenapa?” jawab suara tanpa wujud itu.“Kakak yang melakukannya pada Ricky kan?”“Lalu? Ada yang salah?” suaranya terdengar tak merasa bersalah.“Tentu saja salah!” ucap Rose tak mau kalah.“Itu bayaran untuk pekerjaanku Rose...”“Pekerjaan?”“Benar pekerjaan! Kalau aku berhasil menangkap pelaku penembakan, Ricky akan menghabiskan malam denganku.”“Tu-tunggu! Aku tidak ingat aku mengatakan itu!” protesku.“Apa kau lupa? Kau memohon untuk menangkap pelaku itu agar Rudy bisa bersekolah lagi bukan? Dan sebagai gantinya, aku bisa menikmati tubuhmu itu.”Apa yang dia katakan! Aku tidak mengatakan hal itu sama sekali!“Rose dengarkan aku! Aku tidak berkata seperti itu!”Rose terdiam, kemudian menatap mataku.
“Ricky?” Wanita itu menatapku dengan terkejut, “padahal sebentar lagi akan ke sekolahmu ternyata malah bertemu di sini.”“Nyonya Julietta?” ucap paman Zanone.“Tuan Zanone?” balasnya tak kalah kaget.Jadi mereka saling mengenal? Apa ada sangkut pautnya?“Jadi paman Zanone mengenalnya?” tanyaku meyakinkan diri.“Benar, kami bekerja di tempat yang sama.”“Kalau begitu kita tidak usah bersusah payah lagi mencari orang itu Paman “ aku tersenyum ke arahnya.“Maksudmu Rick?” tanya paman Zanone tak mengerti.Aku menatap kolega wanita teman paman Zanone, lalu menatap kembali ke arah paman Zanone.“Ja-jadi orang itu?”Aku menganggukkan kepala.“Ada apa denganku?” wanita yang dipanggil nyonya Julietta tampak tak mengerti.“Bisa kita bicarakan ini di ruangan tertutup?” ajak paman Z