Nova ingin mengelak.Brian malah sudah membuka pintu dan turun dari mobil.Langkah kaki pria sangat konsisten. Bunyinya terdengar agak marah."Apa sudah puas bermain-main?" Brian berhenti di depan dan menatapnya dari ketinggian dengan ekspresi datar."Aku nggak main-main." Nova tidak menatapnya.Tatapan Brian sangat muram. "Kalau begitu, Bu Nova benar-benar mau ikut Stephen? Kapan kamu mulai berhubungan dengannya?"Nova agak mengerutkan bibir. "Pak Brian sudah salah paham. Aku sendiri yang mau resign, nggak ada hubungannya dengan orang lain.""Alasan."Akhirnya nova mengangkat kepalanya dan saling bertatapan dengannya. "Aku mau menikah, Pak Brian."Brian tiba-tiba menyipitkan mata. "Serius?"Nova menjawab, "Ya, serius. Aku sudah berusia 27 tahun."Brian mengasah wajahnya dan matanya memancarkan cahaya yang berbahaya."Apa kamu sudah punya pasangan yang cocok?"Nova terdiam beberapa saat."Masih belum, tapi baik sudah atau belum, aku tetap mau resign.""Apa sudah banyak uang?" Brian men
Setelah meninggalkan rumah sakit, ponsel Nova berdering.Terdengar suara Cindy yang disertai kecemasan."Bu, ayahmu mencari masalah lagi di perusahaan. Kamu cepat ke sini, kalau Pak Brian ketahuan pasti murka lagi."Nova mengerutkan kening dan mengakhiri panggilan dengan tergesa-gesa menuju perusahaan.Begitu masuk ke aula resepsionis, langsung melihat Gary sedang duduk di sofa sambil merokok."Padamkan rokok."Raut wajah Nova sangat muram.Gary tersenyum. "Oke, aku turuti semua yang dikatakan putriku."Nova merasa sakit kepala saat melihat dia seperti ini."Kita bicara di luar."Nova membawa Gary ke sebuah kafe di lantai bawah perusahaan.Baru masuk, Gary langsung tertawa."Sekarang putriku sudah sukses, sudah bisa keluar masuk ke tempat kelas atas seperti ini."Nova menatapnya. "Kalau kamu nggak takut sama Brian, kelak bisa cari aku terus."Gary mencibir. "Apa kamu sedang menakutiku? Apa Brian berhak mengaturku untuk mencari putriku?""Kamu boleh saja mencobanya, lihat bagaimana resp
Bibir Nova agak bergetar.Sejak dia berusia 18 tahun, Gary sering meraba wajahnya dan bokongnya.Ibunya sudah banyak kali bertengkar dengan ayahnya karena hal ini, tetapi Gary tetap saja tidak berubah.Hal ini berlangsung hingga dia masuk universitas dan meninggalkan rumah.Namun, dia tidak mungkin menceritakan hal semacam ini kepada Brian.Dia bertatapan dengan Brian dan berkata, "Nggak."Raut wajah Brian tetap sangat muram. "Aku nggak berharap terjadi hal semacam ini lagi."Hal yang dia maksud adalah kedatangan Gary ke perusahaan."Nggak bakal ada lain kali lagi, karena aku bakal segera resign."Brian menyipitkan mata dan tiba-tiba mencibir. "Kelihatannya Bu Nova bertekad untuk resign."Nova tersenyum getir. "Ya."Brian tersenyum simpul dengan suara yang membuat orang merinding. "Baik, kalau begitu, aku nggak bakal mempertahankan Bu Nova untuk resign."Nova mengiakannya, "Ya."Brian menatapnya, lalu berjalan ke tempat duduk di tepi jendela.Nova baru menyadari bahwa masih ada wanita
Nova langsung menaiki taksi ke rumah sakit di mana ibunya berada.Setelah tiba rumah sakit, kebetulan bertemu dengan Gary yang keluar dari dalam."Lho, bukannya ini putriku?"Nova menggertakkan gigi. "Apa sebenarnya yang kamu inginkan?"Gary tetap seperti itu."Apa kamu masih belum jelas dengan apa yang aku inginkan?""Gary, apa kamu nggak takut karma buruk?""Karma terburuk yang pernah aku alami adalah ketemu kamu dan ibumu!"Usai berbicara, Gary mengesampingkan Nova dan berbalik pergi.Sementara itu, Nova berdiri diam di tempat dan tangannya bergetar karena marah. Perutnya juga terasa sakit.Dia segera menelepon Nabila."Mungkin karena terlalu emosi. Kamu cepat cari tempat duduk untuk menenangkan suasana hati. Kalau masih saja sakit, cepat datang ke rumah sakit."Nova mengakhiri panggilan, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan emosinya.Setelah duduk sebentar di samping, barulah rasa sakitnya perlahan menghilang.Akhirnya perutnya sudah tidak sakit lagi, barulah dia menghe
Brian berkata dengan tatapan muram, "Kalau begitu, mohon segera lakukan, jangan menunda jabatan manajer baru."Nova terdiam beberapa saat. "Aku bakal segera mengurusnya."Usai berbicara, dia meletakkan proposal di depan Brian. "Ini adalah proposal produk baru, coba Pak Brian lihat apa masih ada yang perlu direvisi."Brian juga langsung membaca dengan serius tanpa banyak bicara.Terhadap pekerjaan, sikapnya selalu sangat serius, bahkan bisa dibilang sangat tegas.Dia tidak membiarkan Nova pergi, sehingga Nova hanya bisa berdiri sambil menunggu dia selesai baca.Sebenarnya isi proposal ini tidak banyak, hanya belasan halaman.Namun, Brian malah membacanya selama lebih dari satu jam.Dia menanyakan setiap baris, setiap halaman dengan jelas.Setelah memastikan tidak bermasalah, barulah dia membubuhkan tanda tangan dirinya, lalu menyerahkan kepada Nova.Nova menyambutnya, lalu ragu-ragu di tempat."Apa Bu Nova masih ada urusan?" Brian menatapnya dengan ekspresi datar.Nova terdiam dua detik
Brian duduk di sofa dengan malas dan santai.Bisa dilihat, suasana hatinya saat ini lumayan bagus.Sementara wanita yang duduk di sampingnya justru wanita di kafe tadi malam.Saking pendeknya rok wanita itu sudah sampai pangkal paha.Nova melirik kaki wanita itu yang menempel pada Brian, lalu mengalihkan pandangan.Sepertinya dia datang tidak tepat pada saatnya.Ekspresi wajah wanita itu sontak menjadi muram ketika melihat Nova masuk.Namun, dia tidak mengatakannya di depan Brian.Brian agak mengangkat alis mata sambil menatap Nova."Bu Nova, ada masalah?"Nova menatap wanita di sisi Brian."Memang ada sedikit masalah."Brian bersandar di sofa. "Kalau masalah resign, Bu Nova bisa langsung berurusan dengan Departemen HR saja."Nova terdiam sejenak, lalu berkata, "Bukan masalah resign."Brian tersenyum simpul. "Kalau begitu, masalah apa? Aku pikir Bu Nova cari aku hanya karena urusan resign."Nova mengabaikan sindirannya. Dia menatap wanita yang duduk di samping Brian."Aku mau berbicara
"Nova!"Brian tiba-tiba mencubit dagunya dengan kejam.Nova terdiam.Sebenarnya Brian jarang marah.Kebanyakan waktu, dia tidak menunjukkan kemarahannya.Dia menyembunyikan emosinya di dalam hati dan tidak membenarkan orang lain untuk mengetahuinya.Namun, sekarang tatapannya yang penuh amarah malah membuat Nova agak takut."Aku bercanda." Usai berbicara, dia saling bertatapan dengan Brian dan bertanya, "Menurut Pak Brian, aku sebanding nggak?"Tatapan Brian semakin dingin. "Kalau kamu menawarkan harga ini, lebih baik kamu menunjukkan nilai dari harga ini."Usai berbicara, Brian berdiri. "Setelah selesai kerja, segera pulang."Nova menyunggingkan senyuman. "Baik."Setelah pulang kerja, Nova langsung pulang ke rumah.Rumah itu sebenarnya adalah sebuah apartemen yang dihadiahkan oleh Brian kepadanya saat mereka bersama.Setiap sudut diatur menurut kebahagiaan yang dia rasakan kala itu.Selama ini dia menyebut tempat ini sebagai rumahnya.Rumah mereka berdua.Begitu Nova masuk rumah, dia
"Apa yang terjadi?"Suaranya dingin dan tatapannya terjatuh pada perut Nova.Selama ini Brian paranoid dan sensitif.Nova sangat jelas bahwa mungkin Brian sudah mencurigai dirinya.Nova menundukkan kepala. "Satu hari nggak makan, sehingga perut kurang nyaman."Ekspresi Brian tidak jelas dan mencengkeram belakang lehernya untuk memaksa dia mendongak. "Benar hanya karena perut kurang sehat?"Nova tidak berani mengelak pandangannya. "Benar. Gary mencari masalah padaku seharian, sehingga nggak ada selera makan. Perutku memang kurang sehat, ditambah dengan tadi tiba-tiba makan bubur dengan tergesa-gesa, sehingga mau muntah."Brian menatapnya beberapa lama, lalu mengangguk dengan ragu-ragu. "Besok pergi periksa."Nova mengepalkan jari tangan. "Baik."Dia mengatupkan bibir dan akhirnya tidak sabar mengetesnya."Apa Pak Brian mencurigai aku hamil?"Brian berjalan ke tepi jendela dan menyalakan sebatang rokok.Setelah mengisapnya, dia baru berkata."Selalu lebih baik untuk berhati-hati. Bu Nova