"Tadi ketemu Raya di Swalayan depan, sepertinya dia bekerja disana," ceritaku pada Yola saat dia mengantar Kyla."Terus?""Ya … dia ketus gitu, masih bahas rumah. Terus nuduh aku sama Mas Bima selingkuh, sama bilang gara-gara aku sama Mas Bima Mas Andrian dipecat dari pekerjaannya.""Andrian dipecat?" tanya Yola."Kata Mas Bima enggak, cuma downgrade dan ditempatkan di Kalimantan," jelasku pada Yola."Kok Raya bilang dipecat?" tanya Yola bingung. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menggeleng."Raya kerja di swalayan?" tanya Yola lagi."Iya." Aku mengangguk mengiyakan.Sesaat Yola terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Bagaimana juga mereka adalah bagian dari masa laluku. Hal tentang mereka terkadang masih mengundang rasa ingin tahuku juga."Apa … itu hanya alasan Andrian aja, bilang dipecat, biar bisa jauh dari Raya. Kalau dah nggak ada kerjaan kan nggak ada duit, maleslah si Raya itu mungkin. Perkiraan aku aja sih," ucap Yola kemudian."Masak gitu? Tapi, bisa juga sih … entahlah.
Pantai …Perjalan yang lumayan melelahkan terbayar dengan pemandangan pantai yang menakjubkan. Sebuah hotel yang langsung menghadap ke pantai Mas Bima pilihkan. Satu kamar deluxe dan satu vila sudah di pesan. Setelah menaruh barang bawaan semua langsung berlarian menuju ke pantai.Ini pengalaman baru untuk anak-anak pergi ke pantai. Dulu hanya mengisi liburan di dekat rumah saja. Tak ada cerita spesial di masa lalu tentang pantai. Sepertinya hari ini akan menjadi cerita spesial di waktu mendatang. Wajah-wajah ceria bersanding dengan birunya hamparan air laut. Kaki kecil mereka menapak tanpa alas di atas pasir. Ombak yang cukup tenang membuat anak-anak mulai berlarian menujunya tanpa rasa takut."Mama disini aja," ucap Mama memilih duduk di sebuah bangku yang menjadi bagian dari fasilitas hotel."Bima pesankan minum ya, Ma." Mas Bima yang masih berdiri di sampingku menawari mama minuman."Hana juga mau … es kelapa muda." Aku ikut menambahkan."Mama air dingin saja, jangan dingin-ding
"Mas, aku tak mau dipermainkan seperti ini, aku ingin segera dinikahi," rajuk Raya, setelah kami melepas hasrat di kamar kostnya. Entah untuk keberapa kalinya, saking seringnya aku sampai tak ingat. Kami biasa melakukannya walau belum ada ikatan perkawinan diantara kami. Raya, seorang janda muda yang bekerja di sebuah toko handphone. Aku mengenalnya beberapa bulan yang lalu, bukan tidak sengaja. Aku sedang mencari beberapa handphone sebagai hadiah untuk para pelanggan dealer di mana aku bekerja. Saat itu, Raya yang kebetulan melayaniku. Kami bertukar nomor W*, dan akhirnya berhubungan sampai sekarang. Dulu dia tinggal di kost biasa, sekarang aku memberinya sejumlah uang untuk mendapatkan kost bebas dengan fasilitas yang lebih bagus. Penampakannya tidak terlalu tinggi, tapi, dia memiliki bentuk tubuh yang seksi dengan rambut panjang sepinggang yang diwarnai coklat dan bagian tubuh lainnya, yang membuat pria mana saja pasti tergoda. Begitu juga denganku, aku se
Aku menghela napas, tak biasanya Hana bersikap seperti ini. Perempuan memang sulit dimengerti, tak terkecuali dengan Hana. Tak mau pusing aku dibuatnya, lebih baik tidur. Dua malam berturut - turut bertempur dengan Raya, cukup lelah juga. Kurang tidur, kurang istirahat. Aku merebahkan tubuh lelahku. Rasa kantuk sudah mendera, dalam sekejap jiwa ini terdekap lelap • Membuka sedikit kelopak mata, cahaya cukup terang menerobos lewat jendela. Tidak aku dapati Hana, saat aku bangun. Tidak seperti biasanya juga dia membangunkan aku sholat subuh. Ada apa dengan Hana, aneh sekali. Aku beringsut turun dari ranjang. Berjalan ke kamar mandi untuk mencuci muka. Setelahnya aku keluar kamar, menuju dapur untuk mengambil kopiku. Sesampainya di dapur nampak Hana yang sedang menghadap ke arah kompor, membelakangiku. Kopi tersedia seperti biasa, Hana sudah membuatnya. Mendengar aku datang, Hana menoleh. Ibu dari anak - anakku itu membalikkan badannya. "Hana sudah buatkan
Aku mendorong pintu kamar tamu, hingga terbuka lebar. Hana benar - benar sudah mempersiapkan kamarnya, seperti permintaanku. "Ini kamarmu sekarang," ucapku. Raya masih berdiri di ambang pintu. "Kalau kamar, Mas?" tanyanya kemudian. Aku meletakkan koper Raya di samping ranjang, dan berjalan mendekatinya. "Itu," tunjukku pada kamar yang aku tempati dengan Hana. Raya mengangguk. "Pasti lebih besar. Nggak papa, nasib jadi yang kedua." Raya menghela napas, lalu beranjak masuk ke kamar barunya. Mata Raya mengedar, langkah kaki membawanya ke arah jendela. Raya membuka jendela yang menghadap langsung ke taman kecil, yang berisi koleksi bunga milik Hana. "Suka berkebun juga istri Mas?" Raya mengamati bunga - bunga luar kamarnya. "Hana suka dengan bunga, suka memasak juga, masakannya enak." Raya langsung mendelik melihatku, apa ada yang salah? "Puji aja terus …. " Bibir sensual istri keduaku itu manyun, terlihat begitu seksi. Aku mendorong pintu dengan
Bahkan, aku lihat Hana makan, makanan yang sama persis dengan Raya. Dan, Hana terlihat baik - baik saja. Tuduhan Raya tak memiliki dasar. Bisa saja dia salah makan tadi siang sebelum berangkat kesini. "Gimana?" tanya Hana yang baru datang dengan segelas air putih dan sebuah bungkusan kecil "Masih di kamar mandi." Aku menjawab. "Ini obatnya?" tanyaku pada Hana sambil menunjuk bungkusan di tangannya. "Iya, tapi …." Hana tak meneruskan kalimatnya. "Tapi, kenapa?" Aku mengernyitkan dahi. "Ada efek sampingnya. Untuk sebagian orang bisa bikin gatel - gatel. Bentol seluruh badan. Tapi, nggak semua orang." Hana menjelaskan. Hana baru selesai menjelaskan, ketika Raya keluar. Wajahnya terlihat pucat. "Ini obatnya?" Raya langsung mengambil gelas dan bungkusan kecil ditangan Hana. "Tapi, Mbak itu ada efek sampi …." Hana belum selesai bicara Raya sudah menegaknya. Hana hanya terdiam melihat Raya, bahunya sedikit terangkat. Dia kemudian mengambil kemba
"Hana mau siapin, Abang Al dulu," ucap Hana kemudian. Aku hanya mengangguk dan membiarkannya berlalu. Anakku yang paling besar sudah TK kecil dan Luna juga sudah ikut Play Group. Aku bergegas ke kamar Raya, dia pasti marah padaku, karena aku membela Hana barusan. Tapi, tidak mungkin juga aku bisa membela Raya di depan Hana. Yang ada hanya akan menambah masalah saja."Raya," panggilku sesampainya kembali di kamar istri keduaku itu. "Mas jahat," tangisnya di sela tangannya yang terus menggaruk tubuhnya. "Sayang, jangan membuat Hana curiga." Alasanku. "Kita ke dokter," ucapku kemudian. "Nggak mau." Raya bersikukuh menolak. "Lihat dirimu, itu terlihat parah." Bekas garukannya semakin memerah, bahkan karena terlalu kencangnya dia menggaruk terlihat lecet. "Mas belikan saja, obat alergi di apotik," pinta Raya, lalu menyebutkan sebuah merk obat. Raya mengaku alergi dingin, badannya akan bentol - bentol kalau udara dingin. Karena itu mungkin reaksi obat sa
Makanan sebanyak ini bagaimana Raya tak bisa melihatnya. Dan, aku cukup mengenal Hana. Semarah apapun dia, Hana tak akan tega membuat tamunya kelaparan."Mas, perutku sakit lagi. Tapi hanya mulas, sakit sekali." Raya muncul di belakangku. Aku menoleh ke arahnya, bibirnya nya masih bengkak, juga wajahnya. Kulit mulusnya terlihat lecet, sangat memprihatinkan. "Mungkin karena belum makan." Aku menjawab keluhannya."Istri Mas itu, yang mau bunuh aku pelan - pelan. Nggak kasih aku makan, ditinggal pergi gitu aja." Raya terlihat masih emosi, padahal tampak lemas sekali."Kamu nggak salah lihat? Hana sudah menyiapkan banyak makanan." Aku menunjuk meja makan, Raya berjalan mendekat dan dia menggeleng."Kok, bisa. Beneran Mas, tadi nggak ada apa - apa, sampai - sampai aku hanya minum air. Kulkas juga kosong nggak ada makanan." Raya bertahan dengan perkataannya.Oke, aku mencoba percaya, lalu berjalan ke kulkas. Aku buka lebar - lebar, ada buah, susu, bahkan ada puding