"Tidak! Ibu, Ayah! Jangan tinggalkan aku, kumohon."
"Kumohon, jangan tinggalkan aku bersama Sean seorang diri."
"Kenapa kalian melakukan itu, kenapa kalian membiarkan aku sendirian, aku tidak bisa merawat Sean seorang diri, Ayah, Ibu!"
Deru napas yang saling memburu juga keringat dingin yang telah membasahi seluruh tubuhnya membuat wanita itu seketika membuka kedua matanya. Wajahnya pucat pasi dengan jantung yang berdegub kencang.
"Mimpi itu lagi," gumamnya. Dia mengambil gelas kaca berisi air putih yang terletak di atas nakas, meneguknya hingga tandas, lalu melirik jam weker yang berada tepat di samping gelas. Sudah beberapa kali dia mengalami mimpi yang sama. Kehilangan sosok kedua orangtuanya memang sempat membuatnya down, dan mengalami trauma.
"Sudah hampir pagi rupanya, kenapa mimpi itu selalu datang kembali, lima tahun sudah aku mencoba melupakannya, namun tetap saja itu akan selalu menjadi bayangan kelam hidupku."
"Bu, cepat buka pintunya! Ibu kenapa?"
Dia baru saja hampir beranjak dari atas ranjang hendak pergi ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya saat suara ketukan pintu di luar kamarnya, dan suara teriakan puteranya membuatnya mengurungkan niatnya.
Ceklek
Wanita itu membuka pintu kamarnya, mendapati wajah panik putera satu-satunya yang dia miliki berdiri di depan pintu kamar miliknya.
"Sean, kenapa kau bangun?"
"Aku mendengar Ibu berteriak, apa yang terjadi padamu, Bu."
Wanita cantik berusia 28 tahun bernama lengkap Kim Yoonhe atau akrab dipanggil Lizza itu mengusap helaian surai pekat milik puteranya dengan senyum menawan yang selalu ia tampilkan di depan anak semata wayangnya. Anak yang lahir di saat dirinya masih berusia belia.
"Maaf, Ibu hanya bermimpi buruk, tidak apa-apa, jika kau masih mengantuk tidurlah lagi."
Bocah bernama lengkap Sean Kim itu menggelengkan kepalanya. Wajah tampannya menengadah hanya untuk menatap wajah cantik orang yang telah melahirkannya penuh dengan gurat lelah, dan menyimpan beban terlalu banyak yang wanita itu simpan seorang diri.
Sean memang masih berusia 10 tahun. Akan tetapi, bocah itu terlalu peka untuk anak seusianya. Sejak balita anak itu sudah menjadi bahan cemoohan karena dia lahir tanpa seorang ayah dengan status ibunya yang tak pernah menikah. Dulu, dia hanya bisa merengek ingin bertemu dengan ayahnya, dan nenek kakeknya selalu membodohinya dengan ayahnya yang pergi bekerja di tempat yang jauh. Tetapi, sekarang dia mengerti, jika hidup tak sepenuhnya indah seperti yang dirinya kira. Disaat nenek kakeknya memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidup mereka karena tidak tahan dengan hujatan, meninggalkan dirinya bersama ibunya hidup terlunta-lunta.
"Aku sudah tidak ingin tidur lagi, apa hari ini ibu kembali bekerja di perusahaan bsar itu? tanyanya.
Seulas senyum terbit di sudut bibir berwarna peach tersebut. "Tentu saja, memangnya kenapa?"
"Tidak ada, hanya saja hari ini ada kegiatan di sekolahku, Bu. Hari ini sekolahku ulangtahun, dan seonsaengnim menyuruh untuk membawa Ayah, tapi ...,"
Bibir Sean seketika terkatup rapat. Anak itu tak mampu melanjutkan kata-kata nya. Sungguh miris disaat semua temannya memiliki sosok ayah, sedangkan dirinya ..., ironis sekali bahkan wajah ayahnya saja dia tidak tahu. Ingin sekali bertanya pada ibunya, namun Sean tidak ingin membuat wanita yang telah memperkenalkan dunia itu bersedih, Sean sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun.
"Maaf." Hanya itu yang bisa Lizza ucapkan.
"Kenapa Ibu minta maaf, bukan salah Ibu, tidak apa-apa, bagiku memiliki Ibu saja itu sudah cukup, bisakah hari ini Ibu datang," ucapnya penuh harap, dan segera diangguki oleh wanita cantik di hadapannya itu.
"Ibu akan menelpon Paman Seolwoo, untuk memberitahu atasan Ibu jika hari ini Ibu izin, apa kau senang."
"Iya, terimakasih Bu." Sean lantas menghambur ke tubuh ibunya. Lizza tahu, puteranya begitu mendambakan sosok seorang ayah. Terpikir dalam benaknya untuk mencari pasangan dan ayah untuk Sean, namun trauma akan ditinggalkan selalu menghantam nya dan takut untuk memulai sebuah hubungan dengan seorang pria.
****
"Seolwoo, tolong beritahu Nona Kim, aku izin hari ini ya, aku harus datang ke sekolah puteraku, tidak apa-apa, 'kan," ucapnya pada sosok laki-laki tampan yang merupakan tetangga apartemennya sekaligus seseorang yang telah berjasa banyak dalam hidupnya.
Laki-laki muda berwajah tampan yang berdiri di depannya mengangguk setuju. Dia menampilkan senyumnya yang menawan ke arah Lizza. Laki-laki itu bernama Seolwoo, Yoon Seolwoo. Pria lajang berusia 25 tahun.
"Iya, aku akan memberitahu Nona Kim, semoga wanita itu sedang dalam mood baik, atau kau tidak akan selamat, Noona."
"Iya, terimakasih kau selalu membantuku, Woo."
"Tidak perlu sungkan Noona, seperti dengan siapa saja. Oh ya aku dengar akan ada karyawan baru di kantor menggantikan Seokjoo yang keluar karena ingin menikah."
"Iya, aku juga mendengarnya, semoga dia tidak merepotkan hahaha," canda nya.
"Kau benar, tapi yang kudengar karyawan baru di Park Company, seorang laki-laki." Seolwoo mengedipkan sebelah matanya, dan berubah dengusan dari bibir wanita itu.
"Aku tahu maksudmu, jangan menggodaku, aku masih takut untuk menjalin sebuah hubungan."
"Kau jangan seperti itu, Noona. Bagaimana jika dia sangat tampan," godanya sembari menyenggol lengan perempuan bermarga Kim tersebut.
"Kau ini, daripada kau mencarikan aku jodoh, kenapa kau tidak mencari pasangan untuk dirimu saja, huh."
"Aku belum ingin, karena orang yang aku inginkan ada di depan mataku," lanjutnya dalam hati.
"Jangan-jangan kau tidak menyukai wanita."
Kali ini Seolwoo yang mendengus. Bibirnya berdecak sembari mengaitkan kedua lengannya di depan dada. "Ck, kau ini aku masih lurus, ya aku belum ingin saja untuk mencari kekasih, bagaimana kalau Noona saja yang jadi kekasihku," godanya lagi, namun kali ini tersimpan harapan dari ucapannya, agar wanita itu peka dengan perasaannya.
Wanita itu menggelengkan pelan lalu mengusak helaian rambut berwarna hitam milik pria di depannya sembari tersenyum. "Kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri, ada-ada saja, carilah wanita yang baik, jangan seperti ku, bahkan Ayah dan Ibuku memilih meninggalkanku karena malu memiliki anak sepertiku."
"Namun, itukan bukan sepenuhnya salahmu, kau pernah bilang jika ...,"
"Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lagi, aku pergi dulu, ingat ya beritahu Nona Kim aku izin hari ini."
"Iya, berhati-hatilah."
Lizza mengangguk sembari melambai ke arah pria muda tersebut. "Aku pergi dulu, Woo."
"Hati-hati, Noona."
Seolwoo hanya bisa menatap punggung sempit itu yang kini sudah menghilang dari pandangannya. Yoonhe Kim, perempuan yang menanggung banyak luka di hatinya, walau perempuan cantik itu selalu menampilkan senyum, namun Seolwoo cukup memahami, itu hanya sebuah tameng untuk menutupi hatinya yang rapuh. Mengenal sosok Lizza selama 5 tahun, cukup membuatnya mengerti jika hidup wanita itu sudah hancur, namun masih mencoba bertahan walau tertatih.
"Seandainya kau membiarkanku menjadi sandaranmu, Noona," desahnya. Namun mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin memaksakan perasaannya. Baginya, bisa melihat orang yang dia cintai tersenyum itu sudah membuatnya bahagia.
"Semoga Tuhan selalu memberimu kebahagiaan, Noona. Bahkan kau selalu menderita, jika itu aku, tidak mungkin bisa sekuat dirimu, aku sungguh-sungguh kagum padamu," ucapnya seorang diri sebelum kembali masuk ke dalam apartemennya.
To be continue
Hari ini Lizza datang terlambat ke kantor. Tidurnya berantakan semalam karena kembali dihantui mimpi buruk tentang masalalunya yang menyakitkan. Dia berlari kesetanan menerobos beberapa karyawan di kantor besar di mana dia bekerja membuat beberapa orang mendecih tak suka ke arahnya, bahkan ada yang mengumpat 'Di mana kau letakkan matamu, Nona' dan hanya ditanggapi permohonan maaf sekilas lewat israyat tubuh sebelum kemudian melanjutkan langkahnya yang lebar."Kau terlambat lagi, huh!" Wanita cantik berkacamata yang merupakan kepala personalia di kantor tempatnya bekerja berkacak pinggang dengan sorot mata tajam tepat menghunus ke arahnya."Maafkan saya Nona Kim, hari ini saya bangun kesiangan."Jengah, itu yang kini wanita cantik bermarga sama dengan orang yang tengah berdiri menunduk di depannya itu rasakan. Dia sudah benar-benar bosan dengan alasan yang kerap Lizza ucapkan. Ini sudah keempat kalinya wanita itu lakukan
"Hei, Noona! Apa kau tekena sindrom love first sigh huh! "Lizza yang masih tak mampu mengalihkan pandangannya dari karyawan baru tersebut, tersentak saat tangan besar Seolwoo menepuk pundaknya dengan cengiran di bibirnya yang sarat akan godaan."Aku tidak," ucapnya gugup walau mata bulatnya tak mampu berpaling dari sosok yang kini telah menghilang di balik tembok ruangan penyimpanan alat-alat kebersihan."Jangan berbohong, lihat saja kau terus menatapnya sampai bayangannya menghilang.""Bodoh, aku hanya kaget saja, aku seperti tidak asing dengan wajahnya.""Eh, benarkah." Alisnya terangkat saat mendengar ucapan Lizza yang membuatnya penasaran sekaligus rasa sakit, bagaimana jika dugaannya itu benar. "Apa yang kau maksud itu ayahnya, Sean."Bibir pink itu bungkam, tidak menggiyakan atau membantahnya. Hanya tatapan ssndu yang kini dapat Seolwoo lihat. "Aku tidak mau berharap banyak, mungkin hanya mirip saja, dia sudah
Lizza merasakan tubuhnya yang teramat pegal akibat lelah bekerja seharian. Dia berjalan lesu menuju apartemen sederhananya yang ia huni bersama puteranya. Langkahnya pelan agar tak mengganggu putera kesayangannya karena mungkin saja Sean sudah tidur karena jam sudah menunjukan pukul 10 malam waktu Korea.Hari ini dia lembur hingga malam. Dia membuka pintu kamar satu-satunya yang ada di apartemen tersebut, mendapati Sean yang tengah tertidur meringkuk di atas kasur.Lizza menaruh tas selempangnya di atas nakas lalu duduk di atas ranjang sembari mengelus kepala puteranya penuh sayang."Sean," bisiknya pelan. Dia bermaksud membangunkan puteranya karena mungkin saja bocah itu belum makan.Dia mengguncang pelan tubuh Sean namun bocah itu tak juga bangun, malah mendapati puteranya yang mengingau menyebut kata 'Ayah' yang membuat hatinya cukup teriris."Sean, ayo bangun.""Ayah, Sean rindu Ayah, Ayah di mana?" gumamnya dengan mata
Lizza tengah asyik membersihkan kaca jendela di ruang rapat dengan telinga tersumpal earphone. Bahkan bibir merahnya ikut melantunkan lagu-lagu yang cukup hits dari boyband besutan agensi ternama di negeri ginseng itu. Wanita cantik itu adalah seorang fansgirl dari salah satu boyband milik negeri yang terkenal dengan dramanya yang romantis ini. Selain lagu-lagunya yang enak didengar, ia juga menyukai visual dari membernya terutama leadernya yang begitu tampan— menurut perempuan itu.Sementara itu di ruangan yang sama. Pemimpinan tertinggi perusahaan tersebut, pria tampan bernama lengkap Bryan Park, yang menjabat sebagai Presiden direktur terlihat berdiri dengan tubuh bersandar pada pintu dan mata yang fokus menatap sosok Lizza yang tenggelam dalam pekerjaanya tanpa menyadari keberadaan atasannya itu. Bibir lelaki itu tersenyum simpul mendengarkan suara merdu wanita si pemilik marga Kim yang terus saja bersenandung menyanyikan lagu milik salah satu boyband pap
Seonjoo merebahkan tubuhnya di atas futon di dalam kamar sederhananya. Pikirannya melayang, memikirkan seorang Lizza Kim. Seorang yang begitu menawan. Padahal baru kali ini ia bertemu dengan sosok indah itu, apa ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Tidak mungkin, mungkin ini hanya perasaan kagum sesaat.Selama ini dia selalu diam, tak pernah menyapa hanya menatapnya dari jauh. Seonjoo bukan tipe laki-laki yang akan banyak bicara dan merayu sana-sini, namun wanita itu cukup untuk menarik perhatiannya."Seojoo, kau di dalam."Di tengah lamunanya, pria tampan namun pendiam itu dikagetkan dengan suara seorang wanita dari depan pintu kamarnya. Seonjoo buru-buru bangun dari tidurnya, melangkahkan kakinya membuka pintu.CeklekSuara pintu terbuka menampilkan wanita paruh baya memakai hanbok berwarna gelap, dengan hiasan bunga kecil-kecil di bagian bawahnya, tengah berdiri
"Kau sekarang akrab dengan Seonjoo." Seolwo menyenggol bahu Lizza sembari berjalan menuju area kantin kantor untuk makan siang bersama."Tidak juga, kami hanya berteman tapi belum begitu akrab, dia terlalu pendiam.""Sayangnya dia sangat tampan."Lizza hanya mampu tersenyum mendengar ocehan sahabatnya ini. Yah, memang Lizza akui Baek Seonjoo sangatlah tampan bahkan dia seperti idol di negeri ini tidak cocok menjadi seorang office boy."Memang kenapa kalau tampan.""Yah, mungkin saja kau menyukainya, Noona. Tetapi, aku sarankan jangan menyukai dia, masa depan Sean bisa suram cari saja pria kaya seperti Presdir Park," kelakarnya."Kau gila, Nyonya Park bisa membunuhku, kau mau Sean tidak punya Ibu.""Aku hanya bercanda, Noona. Bagaimana jika aku saja yang menjadi Ayah Sean." Seolwoo menggodanya, namun ada keseriusan di balik ucapannya. Seolwoo hanya takut mengucapk
"Seonjoo-ah, kau itu lucu sekali. Wajah setampan kau, belum oernah memiliki kekasih, kau bercanda.""Aku serius, Noona."Langkah kaki Bryan terpaku, saat mendengar suara tawa yang berasal dari dalam ruangan office boy. Dia yang awalnya ingin, menemui sepupunya yang bekerja sebagai kepala personalia dia urungkan.Sepertiya kau sangat bahagia, kenapa dari dulu aku selalu kalah darinya. Bahkan sampai sekarang aku tidak mampu mengjangkaumu, batinnya berkata.Bryan mengusap kasar wajah tampannya, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke ruanganya. Niat untuk menemui sepupunya sudah hilang. Dia berbalik arah, tanpa tahu seorang wanita yang adalah istri sahnya memperhatikannya sejak tadi tidak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri."Sampai kapan kau akan seperti ini Oppa, tidak cukup kah hanya denganku saja," ucapnya lirih sembari menghapus air matanya.***
Lagi-lagi pemandangan menyakitkan itu membuat mata Seolwoo pedih. Dia menghela napasnya panjang. Dia sudah memutuskan untuk membuang perasaannya pada Lizza. Tetapi, kenapa setiap dia melihat Lizza dan Seon Joo semakin lengket setiap hari hatinya merasa begitu sakit."Tidak aku tidak boleh begini, kau bisa Seolwoo, kau bisa melespaskannya," ucapnya menyemangati dirinya sendiri. Dia lalu berlari menghampiri kedua orang itu—Lizza dan Seon Joo— yang tengah berjalan bersama."Kalian berdua, wah semakin lengket saja, apa kalian sudah bersama sekarang," ucapnya sembari menyenggol pelan bahu Lizza.Lizza sendiri tampak salah tingkah. "Kau ini bicara apa, kita hanya teman."Seolwoo menyipitkan kedua matanya. Memutari tubuh mereka berdua dengan satu jarinya dia ketuk-ketukan di atas dagu."Aku tidak percaya, ayo mengaku saja.""Kami hanya berteman dekat, Hyung," sambar S