Share

Our Fight
Our Fight
Author: Vaya Diminim

1. PULANG

Aku menarik nafas panjang. Suaraku meninggi memenuhi langit-langit kantor. 

“Aku ingin kembali, aku tidak tahan melihat semua ini." Orang yang duduk di hadapanku tidak bergeming. 

“Ini baru hari keduamu masuk sekolah sayang, kau hanya perlu mengikuti tradisi sekolah ini, tidak sulit bukan?” jawabnya santai sambil membalik koran yang tengah dibacanya.

Pagi itu matahari seakan tidak mau menampakkan dirinya. Aku menghembuskan napas.

“Seharusnya aku tidak pulang,” gumamku pelan.

Sekarang usiaku lima belas tahun. Setelah kembali dari Kanada satu minggu yang lalu, aku memilih untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang diketuai oleh ayahku sendiri. Hari pertama menginjakkan kaki di sekolah itu membuatku merasa senang karena ini kali pertamaku kembali setelah sepuluh tahun menetap di negeri orang.

Hari pertama kuhabiskan untuk mengelilingi sekolah, samping, depan, belakang. Sekolah ini memiliki gedung belajar yang mewah dan fasilitas yang lengkap sebagai penunjang. Di tengah jalan, aku tidak sengaja menubruk seorang gadis. Aku langsung meminta maaf. Tetapi, salah satu diantara mereka bertanya dengan nada yang terdengar ketus. 

“Kau anak baru?” tanyanya seraya melipatkan tangan di dada, “kau terlihat cantik,” lanjutnya. 

Alisku terangkat mendengar kalimat selanjutnya.

 “Coba kulihat,” salah satu tangannya mengarah ke wajahku. Memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tetapi aku masih diam.

"Kau bagian dari kelas mana? kasta satu? kasta dua? atau kasta tiga?”

Kali ini aku tertawa geli. “Kasta? Apa yang kau maksud dengan kasta? Ini sudah zaman modern, aku tidak menyangka kalau kalian masih memakai kata-kata kasta,” balasku dengan senyuman tidak percaya. 

Waktu itu, aku langsung pergi sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Kita sudah merdeka, kenapa masih membawa-bawa kasta,” bisikku pelan.

Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Sudah waktu istirahat. Aku berjalan ke arah kantin. Aku ikut mengantri untuk mendapatkan makan siang. Tiba tiba saja seorang pria mendatangiku.

“Kau kasta apa?” tanyanya.

Keningku berkerut, lagi-lagi pertanyaan itu. Aku tidak mengerti kenapa semua orang membicarakan tentang kasta.

“Kalau kau kasta satu, kau bisa mengambil antrian depan, kasta tiga seharusnya di belakang, dan sekarang ini antrian untuk kasta dua, kau?” lanjut pria itu bertanya.

Aku langsung keluar antrian. Mengabaikan pria yang menanyaiku tadi. Aku memilih untuk mengantri diurutan paling belakang. Mataku lamat-lamat memperhatikan setiap meja makan yang diisi setiap siswa. Benar saja. Aku bisa melihat perbedaan yang sangat mencolok. Tidak heran jika semua siswa di sekolah ini masih menggunakan kata yang disebut “kasta” itu.

Mereka hanya bergaul dengan sesama mereka saja. Meja depan diisi oleh beberapa gadis yang terlihat sangat anggun. Gaya mereka tampak seperti model-model berparas cantik dari negara luar. Aku mengalihkan pandangan. Di sisi lain, terlihat sebuah meja yang dipenuhi buku-buku. Beberapa di antaranya memakai kacamata. Itu sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang cerdas di sekolah.           

Aku tetap tidak mengerti dengan orang-orang yang ada di sekolahku. Kenapa harus memandang kasta? Indonesia sudah merdeka tujuh puluh dua tahun lalu. Miskin bukanlah kriminal. Tidak cantik juga bukan tindakan asusila. Kita sama-sama manusia biasa. Kedudukan kita di sekolah ini sama.

Aku memejamkan mata. Bahkan di Kanada saja, para siswanya bergaul dengan baik. Tidak bergantung kepada seberapa kaya orang tua mereka, seberapa cantik wajah mereka, atau sejauh mana kepintaran mereka. Aku tidak tahu kalau keadaan di sekolah ayahku sendiri akan seburuk ini. Aku sangat membenci sistem ini.

Keesokan harinya. Sebelum memasuki kelas, aku tersentak melihat para siswa sudah berkumpul seolah-olah sedang menunggu kedatanganku. 

 Aku berjalan santai, tanganku menurunkan tas punggung. “Apa yang kalian lakukan?” tanyaku penasaran.

Pria yang menegurku di kantin kemarin maju satu langkah. Kini aku dan pria itu berada di tengah-tengah kerumunan siswa lain. Pria itu menunjukkan layar ponsel yang berisikan biodata diriku. Aku merampas ponsel itu untuk memastikan apakah itu benar biodata diriku.

“Tidak kusangka, ternyata kau adalah orang nomor satu di sekolah ini. Tapi kenapa kau berusaha menutupi identitasmu?” tanya pria itu. Ia kembali merampas ponsel yang ada di tanganku.

“Aku tidak menyembunyikannya. Ini memang hidupku,” jawabku ketus.

Pria itu tersenyum mencibir. “Seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku sudah menjadikan kau orang nomor satu di sekolah ini”.

Aku balas tersenyum. “Terima kasih yang sangat-sangat. Kalau kau pikir aku senang, kau salah besar. Aku tidak pernah mau bergaul dengan kalian. Pergaulan kalian sangat menjijikkan. Hidup...,” pria itu tertawa memotong kalimatku.

“Menjijikkan? jangan bersikap yang paling benar di antara kami. Justru kaulah yang paling menjijikkan,” suara pria itu meninggi.

“Setidaknya aku tidak seperti kalian. Hidup dengan membeda-bedakan satu sama lain, saling menjatuhkan dan berpikir kalau kalian yang paling hebat,” aku membalas dengan lantang.

“Kamu.” Aku menunjuk salah seorang gadis cantik di seberangku, “apa kau bisa tenang setelah melihat orang yang lebih cantik darimu?” tanyaku. Gadis itu menggeleng.

“Apa kau tidak cemas kalau suatu saat perusahaan keluargamu bangkrut dan jatuh miskin?” lanjutku. Pria berkacamata yang kutunjuk ikut menggeleng.

“Dan aku, aku tidak senang meskipun aku anak ketua yayasan sekolah ini. “

Semua terdiam. Pria yang meninggikan suara kepadaku itu juga terdiam. Mulutnya seperti tersumpal setelah mendengar perkataanku.

“Kenapa? kalian baru sadar?” aku menyeringai, “apa gunanya bersikap sombong kalau orang lain menghinamu. Nikmatilah hidup kalian selagi masih bisa. Hidup ini hanya sekali,” tambahku.

Aku meninggalkan kelas. Ponselku berbunyi. Ruang obrolan chat sekolah hangat memperbincangkan diriku. Kejadian inilah yang membuatku harus mendatangi kantor direktur sepagi ini.

“Aku ingin kembali ke Kanada besok pagi,” pintaku setelah menjelaskan tragedi barusan. 

Ayahku hanya tertawa ringan. “Baiklah, baiklah, aku tidak mungkin menolak, aku takut kau akan dipermalukan lagi.”

Satu-satunya hal yang kupikirkan saat itu hanyalah pulang. Aku menatap wajah sendunya yang tampak kecewa dengan keinginanku.

Waktu itu aku hanya merasa tidak adil karena dipermalukan. Tapi kau tahu yang sebenarnya? Itu hanyalah kulit luar yang belum terkelupas menampakkan isinya.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status