Isna mengerjapkan mata. Ia baru bisa tidur setelah jam tiga pagi. Tidak bisa dipungkiri, jika rasa penasaran membuat dirinya tidak bisa terlelap. Berbagai spekulasi muncul dalam pikiran. Mencoba menebak, siapa sosok yang namanya berkali-kali disebut Restu. Ia memang tidak tahu menahu tentang pribadi sang suami, karena pernikahan tersebut terjadi atas sebuah perjodohan.
“Bangunlah! Sudah pagi. Kamu tidak shalat?” Sebuah guncangan lembut dirasa Isna. Padahal, ia sudah membuka mata sedari tadi. Ingin rasa hati segera bertanya, tapi ia masih bisa menahan diri.
“Aku sudah bangun,” jawab Isna tanpa membalikkan badan.
“Aku mau mandi. Dimana handuknya?” tanya Restu.
Isna terbangun. Ia baru ingat, jika sedari sore belum memberikan peralatan mandi pada penghuni baru di kamarnya itu. “Lhoh, tadi sore mandi pakai apa?” tanyanya sambil mengucek kedua netra.
“Pakai handuk kamu di kamar mandi. Tapi terjatuh, jadi basah. Ambilkan yang kering, ya?” ujar Restu lembut.
Tak lama kemudian, Restu keluar dari kamar mandi yang berada di dalam kamar Isna dalam keadaan rambut basah. Membuat Isna tidak habis pikir. Karena semalam, ia tidak melakukan apapun dengan pria yang baru saja menjadi suaminya itu.
“Kamu tidak mandi? Aku shalat dulu, ya?” ucap Restu masih terdengar kelembutannya.
“Tidak! Tidak perlu mandi dulu, Mas. Aku tidak dalam keadaan junub.” Jawaban Isna membuat Restu salah tingkah.
“Mas, masih pagi mau kemana?” tanya Isna heran saat dirinya masih memakai mukena. Restu sudah memakai baju rapi. “Bukankah kamu masih cuti?” tanyanya lagi.
“Iya, aku masih cuti. Tapi, hari ini ada acara di kecamatan membahas program bedah rumah. Jadi, aku harus berangkat. Jika diwakilkan, aku tidak yakin. Kamu tidak perlu menyiapkan makan. Aku bisa makan di warung. Istirahat saja, ya? Kamu pasti lelah,” jawab Restu sambil mengusap kepala Isna.
“Apa kita pantas disebut pengantin baru, Mas?” tanya tidak tahan.
“Kamu bilang apa, Isna? Jelas kita pengantin baru. Semua orang tahu itu.”
“Apa kamu menikah denganku karena terpaksa?” Kali ini, Isna menatap mata sang suami tanpa kedip.
Restu terlihat celingukan. Terlihat ada yang disembunyikan dari gelagatnya.
“Jawab, Mas! Jangan menyembunyikan sesuatu hal, apalagi sebuah kebohongan di awal pernikahan kita.”
Restu menundukkan kepalanya.
“Siapa Marwah?”
Kali ini, Restu berani menatap Isa. “Dari mana kamu tahu nama itu?” tanyanya lirih.
“Semalam kamu menyebutnya berkali-kali. Apa kamu mimpikan dia di malam pengantin kita, Mas? Siapa dia? Dan kenapa kamu harus mandi basah seperti itu, padahal kita tidak melakukan apapun.” Tidak bisa dipungkiri, jika saat berkata demikian, hati wanita itu merasa sakit.
“Isna, mungkin memang seharusnya aku menceritakan ini sama kamu. Aku harap, kamu akan mendengarkan semuanya sampai kamu tahu segalanya …,” ujar Restu. Ia lalu duduk di hadapan Isna yang masih bersimpuh di atas sajadah.
Untuk mendengarkan sebuah hal yang tidak diinginkan, terlebih di hari-hari setelah menikah, membuat Isna mengatur detak jantung dalam dadanya. Menarik napas panjang, mencoba untuk berpikiran positif.
“Marwah, dia adalah cinta pertamaku. Aku sangat mencintainya dan ingin sekali menjadikannya sebagai seorang istri. Namun, dia hanyalah gadis yang berasal dari keluarga yang cukup. Iya, orang tuaku menginginkan seorang menantu yang berpendidikan dan memiliki karir, agar bisa mendampingi aku bertugas menjadi kepala desa. Aku dan Marwah, kami berpacaran sejak dia masih SMP, sementara aku sudah SMA. Orang tuanya tahu tentang hubungan kami, itu sebabnya, meski banyak temannya tidak melanjutkan sekolah, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, Marwah melanjutkan ke SMA. Kamu tentu tahu, jika keluargaku termasuk terpandang. Jadi, kedua orang tuanya sudah sadar akan hal ini. Berusaha agar Marwah memiliki posisi yang sepadan denganku. Tapi, orang tuaku tetap tidak setuju, terlebih saat aku terpilih menjadi kepala desa, impian untuk menikah dengan Marwah menjadi hal yang mustahil aku wujudkan.” Restu berhenti bercerita, terpancar sebuah kesedihan dari sorot matanya. Isna paham sekali akan hal itu.
Sejenak, lelaki itu tidak berbicara lagi. Memilih mengamati raut wajah cantik Isna yang memandang sajadah.
“Aku kaget, saat bapak dan ibu menjodohkan kita berdua. Kamu gadis terpelajar dan memiliki pekerjaan yang bagus. Tentu saja mereka suka. Aku akui, kamu sangat pantas mendampingiku, Isna. Akan tetapi, hatiku belum bisa mencintai kamu. Aku tidak membencimu, tapi juga belum bisa menaruh hati padamu. Sangat sulit bagiku melupakan Marwah. Meski ia sudah menjauh bahkan pergi dari desa, setelah tahu jika aku sudah memiliki calon istri.” Restu berbohong perihal alasan menikahi Isna. Yang sebenarnya adalah ia sudah dijadikan batu loncatan sang suami untuk mendapatkan mimpi menjadi pemimpin desa.
Hancur seketika semua harapan indah akan sebuah momen yang sangat spesial. Kemesraan sepasang pengantin baru, memadu kasih bersama, berkhayal tentang keturunan yang lucu, hanya sebuah mimpi dan khayalan yang tidak akan pernah terwujud. Itu yang dipikirkan Isna. “Kenapa kamu tidak jujur padaku sejak dulu, Mas? Kenapa harus kamu jalani sebuah hubungan yang kamu sendiri tidak menginginkannya? Sementara aku, aku begitu bahagia atas pernikahan ini. Berharap apa yang kualami seperti cerita teman-temanku yang lain. Jika aku tahu ini sebelumnya, maka aku memilih mundur …,” ucapnya, kemudian menautkan kedua tangan, memainkan jari-jarinya sebagai usaha meredam gejolak hati.
“Aku minta maaf Isna. Orang tuaku sangat menyukaimu. Tidak mungkin saat itu aku menghancurkan impian mereka. Hatiku saja yang salah, sudah mencintai wanita yang tidak tepat. Lagipula, hendak dipaksakan seperti apapun, aku tidak akan pernah bisa bersanding dengan Marwah. Dia juga sudah pergi jauh, membiarkan aku hidup dengan pilihan orang tuaku, yaitu kamu ….” Restu menunduk. Tampak oleh Isna, sebuah kristal bening jatuh di telapak tangannya.“Lalu, bagaimana dengan aku yang tidak tahu apapun tentang masa lalu kamu, Mas? Aku hanyalah seorang gadis yang merasa bahagia karena telah dipersunting seorang lelaki yang membawaku ke dalam sebuah hubungan yang halal. Dan nyatanya, aku harus menemukanmu dalam keadaan masih mencintai wanita lain. Aku harus membawa hatiku kemana, Mas? Dan pernikahan kita, seperti apa nantinya hubungan ini akan dijalani?” tanya Isna dengan pipi yang sudah basah dengan derai air mata.Sebuah sentuhan halus terasa di pundak Isna. Ia membiarkan tangan kekar Restu memb
“Bagaimana bisa kamu memberitahunya?” Harun menyesalkan sikap sahabatnya.“Aku tidak sengaja menyebut nama Marwah saat tidur. Isna mendengar dan menanyakan hal itu di pagi harinya. Aku bisa apa? Aku tidak ingin Isna berpikir yang macam-macam.”“Jadi benar kamu tidak melakukan kewajiban kamu di malam pertama?”Restu menggeleng.“Kamu keterlaluan, Restu! Apa kamu akan tetap seperti ini?” Meski dengan nada pelan, Restu tahu jika sahabatnya itu marah.“Aku tidak bisa melakukannya tanpa sebuah cinta. Aku sangat tersiksa dari kemarin saat ijab qabul. Aku selalu membayangkan, jika Marwah yang ada di sampingku, maka aku akan sangat bahagia. Aku bingung, Mas Harun. Aku belum bisa menyentuh Isna. Aku belum ingin. Hatiku benar-benar menolak dia menggantikan posisi Marwah ….”“Bukankah dulu saat kamu hendak meminta pada orang tuamu untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, kamu sendiri yang menyetujui perjodohan ini? Kenapa sekarang kamu mengingkari itu? Dan menyakiti seseorang yang tidak bersa
Di tengah rasa bimbangnya, ia segera memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Entah mengapa, hati seolah menuntun untuk pergi ke sana.Dengan mengendarai motor, ia melewati jalan yang naik turun khas pegunungan. Di kiri dan kanan, terdapat deretan kebun cengkeh dan kopi yang membuat suasana tambah dingin. Hatinya tambah berdebar, manakala melihat sepeda motor Isna ada di halaman rumahnya yang luas. Dengan debar takut, ia berjalan masuk ke dalam rumah."Kamu seharusnya tidak bekerja dan membiarkan istrimu kesepian datang ke sini. Mana ada pengantin baru keluyuran seperti itu? Desa sudah memberikan cuti. Semua urusan bisa kamu serahkan kepada carik," todong sang ibu."Ayo, pulang," ajak Restu halus."Aku masih betah di sini," tolak Isna tanpa melihatnya."Ibu masak dulu, ya?" pamit wanita bernama Narsih itu.Kini tinggallah sepasang pengantin yang saling bingung--duduk berdua. Restu memandang terus wajah Isna, mengamati dan mencoba mencari alasan kuat untuk dirinya bisa menjatuhkan hati pad
“Sudah mandi?” tanya Restu tatkala melihat Isna yang masih memegang handuk di depan kamar mandi yang ada di dalam kamar. Ia memang sudah merancang kamar yang nyaman. Dulunya berpikir jika orang tuanya akan luluh merestui hubungan dengan Marwah, sehingga segalanya telah dipersiapkan jauh hari. Ia yang lulusan arsitek bangunan paham sekali bagaimana membuat kamarnya nyaman.“Sudah,” jawab Isna lalu tersenyum sedikit. Hatinya memang belum bisa pulih. Namun, mencoba bersikap dewasa dan berusaha menerima masa lalu Restu. ‘Lelaki yang menjadi suamiku adalah jodoh yang dipilihkan Allah. Aku telah menjaga kesucianku dan juga perasaanku sejak dulu dengan tidak berpacaran. Maka, apa yang terjadi hari ini adalah sudah diatur oleh penulis skenario terbaik. Marwah sudah pergi jauh. Mas Restu juga sudah menjadi suamiku. Dia memilih menikah dengan jodoh pilihan orang tuanya. Maka, itu artinya, Mas Restu memang tercipta untukku. Bismillah, semoga seiring berjalannya waktu, benih-benih cinta akan tumb
Meski saat ini, tangannya memeluk dan membelai Isna, meski bibirnya sesekali mencium mesra wajah serta anggota tubuh lain Isna, tapi itu hanyalah sebuah kepalsuan belaka. Bohong! Ia telah membohongi Isna juga hatinya sendiri. Batinnya seolah berontak untuk tidak melakukan semua itu. Setiap gerakan yang ia sentuhkan terhadap sang istri, di sana seolah ada seulas senyum Marwah yang mencegahnya melakukan semuanya.Sementara wanita yang berada dalam belaiannya justru berpikir lain. Isna merasa jika saat ini, Restu benar-benar sedang menikmati malam kemesraan mereka dan mulai menerimanya sebagai seorang istri. Imajinasi yang berbeda dirasakan oleh kedua insan yang kini sudah saling menyatu.Isna memejamkan mata sembari mengucapkan sebuah doa dalam hati. ‘Bismillah ya Allah, aku lepaskan sesuatu yang berharga untuk dia suamiku, lelaki yang sudah halal, dan insya Allah akan menjadi imamku seumur hidup.’Sedangkan Restu pun ikut memejamkan mata, tapi di hatinya tidak terucap doa apapun, melai
Tidak banyak yang dibicarakan Isna dan Restu di hari kedua mereka menjalani hidup bersama. Peristiwa semalam membuat keduanya canggung. Narsih tersenyum senang, manakala melihat Isna dan Restu berambut basah saat pagi. Berpikir jika anak lelakinya sudah bisa menerima perempuan pilihan mereka.“Aku mau pulang ke rumah,” ucap Isna saat keduanya di kamar.“Kenapa?”“Kita menikah belum ada satu minggu. Seharusnya aku belum ke rumah ini.”“Baiklah, ku antar,”“Tidak usah ….” Isna menolak. “Aku mau ambil sesuatu di rumah Bu Ika,”“Bu Ika bidan desa sebelah?”Isna mengangguk.“Baiklah. Hati-hati! Aku mau ke balai desa. Jangan cerita tentang apa yang kita alami pada orang lain, ya?”“Sementara ini belum, Mas. Karena aku juga menjaga harga diriku. Tidak lucu pastinya, aku yang dulu disukai banyak cowok, harus mengalami pernikahan yang tragis.” Isna langsung pergi keluar kamar. Membuat Restu kembali memikirkan peristiwa semalam.‘Nanti malam, aku harus bisa melakukannya. Tolong aku, Marwah, iji
Tanpa sadar, keduanya saling berhadapan, saling memandang. Dan tak lama, Restu menarik wanita yang kini memakai piyama panjang naik ke peraduan. Agak ragu buat Isna untuk menyambut kemesraan dari lelaki yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuhnya. Ia masih teringat peristiwa semalam. Namun, melihat Restu yang begitu gigih, akhirnya ia luluh. “Siapa tahu, saat anak saya kembali, dia bisa berjodoh dengan lelaki yang dicintainya ….” Kata-kata yang disampaikan Ruslam, terngiang kembali di telinga Restu. Terus menerus, seolah menjadi sebuah bisikan yang menghantui. Bayangan Marwah yang sedang menangis meratapi nasib, hadir kembali dalam pikiran Restu. Hingga membuat hasrat yang sudah membuncah, kembali surut. Dan dia, lagi-lagi harus membuat Isna yang sudah bersiap menutup mata--kecewa. Restu duduk kebingungan. Dipandangnya wanita cantik yang sudah siap untuk menyerahkan raga untuknya tengah menunggu. Hingga satu menit berlalu, Isna membuka mata dan menyadari, kejadian yan
Kokok ayam berbunyi sahut menyahut, menandakan sang surya hendak turun dari peraduan, memberikan hangat pada seluruh makhluk yang ada di bumi. Isna masih terpekur dengan berbalut selimut. Matanya terpejam, tapi hati masih terjaga. Hendak bangun, rasanya enggan. Semalam, ia urung sholat, karena merasa tidak mampu berdiri.“Isna, bangunlah!” Restu selalu memperlakukannya dengan lembut. Pun saat ini, tangan kekarnya menepuk bahu Isna.Tak ada jawaban atau respon apapun dari pemilik tubuh yang tengah merasakan lara hati itu. Saat ternyaman bagi mereka yang terluka batinnya adalah dengan diam dan memeluk semua seorang diri. Percuma pun mengadu, tidak ada stupun orang yag bisa menyembuhkan sakit yang dirasa.“Ayo, bangun! Kita mandi dan sholat,” ajak restu lagi.“Jangan ganggu aku!” sahut Isna pelan, tetapi tegas.“Kamu masih marah dengan kejadian tdai malam? Aku janji, nanti malam, tidak akan lagi ada kegagalan---““Jauhkan dagumu dari tubuhku! Jangan bersikap manis lagi. Aku benci sandiw