Share

Sebuah Nama

Hari yang indah, yang telah lama aku harapkan tiba. Saat dimana aku melepas masa lajang, berganti status menjadi istri Mas Restu, pria yang aku kagumi sejak lulus dari SMA. Banyak tamu undangan dari kalangan orang terpandang di desa-desa yang ada di kecamatan kami hadir. Pelaminan megah, dan juga pesta yang meriah menjadi pertanda statusku kini sudah bukan lagi perempuan lajang.

Aku sengaja memilih perias terbaik di kabupatenku untuk acara paling spesial yang aku harap sekali dalam seumur hidup. Banyak teman seprofesi hadir. Umumnya mereka masih memakai seragam putih. Seragam kebesaran kami sebagai seorang bidan.

Sementara itu, banyak juga kepala desa yang datang, karena suamiku adalah seorang kepala desa pula. Sungguh acara yang sempurna. Menyatukan dua hati menjadi satu.

Senyum bahagia terus mengembang di bibir ini. Sesekali aku melirik Mas Restu, lelaki pendiam, pilihan Bapak. Dia selalu membalas tatapanku dengan senyuman, lalu menunduk. Meskipun hasil sebuah perjodohan, aku begitu mencintainya.

“Kamu cantik sekali, Isna. Kalian pasangan yang sangat cocok,” ujar beberapa temanku yang menjadi tamu undangan.

Satu per satu tamu undangan pulang. Meninggalkan rumahku yang masih berhiaskan bunga dan juga dekorasi pengantin yang sangat megah. Kini, tinggal aku dan Mas Restu di atas pelaminan yang masih melakukan sesi foto.

“Kita pindah ke kamar,” ucap fotografer sembari melihat-lihat kameranya, hasil jepretan gambar kami.

Aku mengikuti perintah dari pemuda yang bertugas menjadi tukang foto. Menggandeng tangan Mas Restu dan mengajaknya turun dari panggung. Pria itu hanya menurut tanpa sepatah katapun. Ah, dia memang irit bicara sejak kami resmi dijodohkan.

Tak mengapa, sepertinya aku yang energik harus lebih agresif. Batinku berujar.

Selama sesi foto, sepertinya, aku yang lebih agresif memang. Berkali-kali diminta mendekatkan tubuh, aku yang selalu melakukannya lebih dulu. Hingga akhirnya, prosesi pengambilan foto telah selesai. Dan aku sudah berganti baju, Mas Restu masih memainkan ponselnya sembari berbaring di atas kasur.

“Mas, mau makan?” Aku bertanya saat semua atribut baju pengantin telah terlepas.

“Enggak. Nanti saja,” jawabnya seraya menyunggingkan senyum.

“Mau minum apa?” tanyaku lagi sembari duduk di samping tubuhnya yang berbaring. Aroma khas kamar pengantin menguar di hidungku.

“Teh hangat saja,” jawabnya singkat.

“Ok, aku ambilkan, ya?” Selesai berkata demikian, aku berlalu. Tak berapa lama, aku kembali. Kulihat Mas Restu telah terlelap. Padahal, jam menunjukkan pukul tiga sore. Saat seharusnya bersiap menunaikan sholat Ashar.

Kuletakkan minuman yang diminta pria yang telah resmi menjadi suamiku di atas nakas. Kemudian berlalu pergi.

Hampir Maghrib, Mas Restu baru bangun. Sebagai istri baru yang ingin dianggap baik, kusiapkan semua keperluannya termasuk sajadah untuk sholat. Dia masih diam. Bahkan, sampai kami makan, dia hanya menjawab pertanyaanku secukupnya.

Malam menjelang, pria itu sudah beranjak lebih dulu ke atas pembaringan. Aku menyusul setelah tamu Bapak dan Ibu sudah tidak banyak.

“Mas,” sapaku padanya yang masih memainkan ponsel.

“Isna,” balasnya singkat.

Aku ikut membaringkan tubuh. Berharap akan terjadi sebuah adegan romantis seperti yang diceritakan teman-teman.

Satu menit, Mas Restu masih berkutat dengan ponselnya. Lima menit, hingga seperempat jam aku menunggu, tak juga Mas Restu membuka suara.

“Mas,” panggilku lagi. Kali ini dadaku mulai terasa sesak. Merasa ada yang janggal dari sikap dia. Malam yang seharusnya kami isi dengan memadu kasih, nyatanya hanya kami lewati dengan saling diam.

“Eh, iya, Isna. Kamu lelah, ‘kan? Tidurlah! Kita istirahat, ya? Biar badan kita tidak lelah,” jawabnya membuat aku kaget. Ia meletakkan ponsel di kasur yang kosong. Lalu, menarik selimut. Tak lupa, ia juga menutupi tubuhku dengan selimut yang sama.

“Maksudnya?” tanyaku bodoh. Tubuhku sudah aku miringkan menghadapnya. Tak diduga, ia melakukan hal yang sama, menyisakan jarak yang sedikit diantara kami.

“Kamu pasti capek seharian berdiri menyalami tamu undangan. Ayo, kita tidur,” ajaknya seraya mengusap kepalaku dengan telapak tangan.

Wajahnya berada dekat dengan wajahku. Meski belum pernah dekat dengan lelaki manapun, aku merasakan ingin sekali wajah itu semakin mendekat hingga tiada jara lagi yang tercipta diantara kami.

“Tidurlah!” ujarnya lagi seraya mengusap pipiku. Ini adalah kali pertama Mas Restu menyentuhku. Rasanya penuh dengan debar-debar yang aneh. Entah karena nyaman, atau memang lelah, perlahan mata ini terasa berat hingga aku terlelap.

“Marwah, Marwah, Marwah ….”

Sayup aku mendengar suara seseorang memanggil nama Marwah. Mata yang masih mengantuk, membuatku tak ingin bangun. Namun, suara itu semakin lama semakin jelas terdengar, hingga akhirnya aku terperanjat, kala menyadari, suara itu berasal dari pria yang tidur memunggungi aku.

Seketika tubuh ini bangun. Duduk terpekur memandangi sesosok lelaki yang masih memanggil nama seorang perempuan. Perlahan suara itu mengecil hingga akhirnya berhenti terdengar. Ia kembali tertidur. Namun, tidak dengan aku yang merasakan sebuah sakit dalam hati ini.

Siapakah Marwah? Batinku terus bertanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status