Kelopak mata Ayra perlahan terbuka. Bukan Dita atau sang mama yang pertama kali ia lihat, melainkan sosok pria yang memiliki bibir lembap nan seksi yang tak lain dan tak bukan adalah Aksa. Dahi Ayra mengernyit. Lehernya terasa sakit karena ternyata ia tertidur di perpustakaan kampus.
Ayra berpikir sendiri, bagaimana Aksa bisa tidur di sebelahnya dengan posisi yang sama? Bukannya pria tersebut tidak berkuliah di sini? Aksa kan sudah bekerja.
Tangan Ayra yang semula terangkat hendak membangunkan Aksa pun seketika berhenti. Tidak, Ayra tidak akan membangunkan pria tersebut sekarang. Pemandangan di depannya ini terlalu indah untuk dilewatkan.
‘Ya ampun, ya ampun, ya ampun, nikmat mana yang kau dustakan? Mas Aksa ini guantengnya bikin mau meninggoy di tempat! Udah guanteng, baik pula. Kurang apa lagi sih? Idaman banget,’ batin Ayra yang sekarang malah senyum-senyum sendiri mengamati wajah rupawan pria di depannya.
Jantung Ayra terasa berpacu lebih
“A-aku nggak bisa.” “Kamu bisa, Ayra. Let's do it.” Secara tergesa, Varo membuka setiap kancing kemeja putihnya. Kedua mata elangnya terus menatap Ayra dengan pandangan yang begitu lapar, juga nyalang. Bukannya melakukan apa yang Varo minta, Ayra malah meringsut semakin ketakutan. Terlebih lagi saat ia melihat perut ber-ABS Varo, suaminya yang baru disahkan beberapa jam yang lalu. Ayra memang suka melihat pemandangan seperti itu di layar ponsel, tapi jika dilihat secara nyata begini, jatuhnya malah tampak menyeramkan. “Kamu nunggu apa lagi, hm?” tanya Varo dengan embusan napas yang begitu memburu. Ayra masih diam. Lidahnya terasa kelu. Nyalinya juga mendadak ciut. Ia sungguh belum siap jika harus bergulat di atas ranjang sekarang, apalagi dengan Varo yang badannya Ayra anggap terlalu kekar. Bagaimana kalau ternyata itu menyakitkan? Ayra kan masih ingin pergi ke kampus besok. “Mau aku bukain?” tanya Varo lagi seraya mend
Aksa menyetir dengan kondisi kepala yang masih dipenuhi tanda tanya. Niat awalnya adalah memberi tahu gadis tadi agar tidak berlari-lari sempoyongan di jalan agar para pengendara tidak terganggu. Eh, tahu-tahu gadis asing itu malah ikutan naik ke mobilnya. "Kamu mau saya antar ke mana?" tanya Aksa dengan suara serak-serak basahnya yang seksi. Bukannya kalimat berupa jawaban yang Aksa dengar, tapi malah suara dengkuran halus yang asalnya dari jok penumpang. Hal itu membuat Aksa langsung menoleh. Seketika dahi pria berbibir seksi itu berkerut. "Hei, kamu dengar pertanyaan saya, kan?" tanyanya yang masih membagi fokus kepada perempuan berambut pendek di sebelahnya dan juga jalanan malam di depan. Ayra masih tidak menjawab. Matanya tertutup rapat. Aksa mendecak pelan. Ia jadi bingung sendiri. Sebenarnya siapa perempuan berbadan pendek yang ada di sebelahnya ini? Lalu, sekarang ke mana tujuan Aksa? Ia tidak yakin akan membawa gadis manis ini pulang
“Ayra Salsabella. Dia di sini, kan?” “Di sini nggak ada yang namanya Ayra,” jawab Aksa dengan tenang. Varo melipat tangan di depan dada. “Kamu nggak perlu bohong. Sekarang kamu pilih, serahkan Ayra secara baik-baik, atau body guard saya yang akan periksa sendiri ke dalam rumah kamu.” “Sebelumnya saya mau tahu, Anda ini siapa?” “Saya suaminya Ayra.” Seketika, Aksa merasa jika ada sesuatu yang retak di dalam dadanya. Jadi Ayra, perempuan menggemaskan tadi sudah memiliki suami? Ia kira perempuan tersebut masih lajang. “Di mana Ayra istri saya?” tanya Varo lagi saat lawan bicaranya tampak mematung. Ia menekan dua kata terakhir sebagai pengingat kalau saja Aksa tiba-tiba amnesia. Aksa menelan saliva. “Di sini nggak ada yang namanya Ayra.” Varo mengangguk beberapa kali dengan seringaiannya yang tampak licik. Hanya dengan tatapan mata, dua body guard Varo pun langsung berjalan memasuki rumah Aksa untuk mencari keberadaan Ayra.
Aksa memasak dengan kondisi kepala yang dipenuhi bayang-bayang Ayra. Gila saja, semalaman suntuk Aksa tidak dapat tidur hanya karena perempuan mungil itu. Sepanjang malam Ayra tidak berhenti mengigau. Tidurnya pun tampak seperti jarum jam yang menjelajahi setiap inci kasur ukuran king size milik Aksa. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa Ayra tidur menggunakan dress selutut. Hal itu membuat Aksa mati-matian menahan diri untuk tidak berbuat macam-macam. Ia bahkan mengeluarkan beberapa selimut yang masih baru untuk dapat menutupi tubuh Ayra yang posisi tidurnya tidak terkondisikan itu. Ayra juga tidak mau lampu kamar dimatikan. Katanya sih, ia takut gelap. Itu sangat bertolak belakang dengan Aksa yang jika tidur harus dalam kondisi lampu mati. Jadilah pria itu kesulitan terlelap dengan nyaman. Sementara di dalam kamar, Ayra terbangun karena indra penciumannya yang menangkap aroma sedap masakan. Ia mengucek mata dan mengitari pandangan ke sepenjuru kamar. Bebera
“Ra, lo ke mana aja sih? Dari kemarin kok Whatsapp lo off mulu?! Gedek deh gue.”Baru beberapa langkah Ayra memasuki kelas, dirinya sudah langsung diserbu pertanyaan oleh Dita, sahabatnya yang juga berasal dari prodi Sastra Inggris. Ayra mendecak, lalu segera duduk tanpa berminat menjawab pertanyaan Dita. Ayra tahu jika ada niat terselubung dari pertanyaan yang sahabatnya lontarkan. Dita pasti hendak meminjam tugas yang sudah diberikan oleh dosen mereka beberapa hari yang lalu.“Gila, the best banget lo. Tahu aja gue mau pinjam tugas,” puji Dita setelah Ayra memberikan bukunya. Tanpa babibu, Dita pun segera menyalin jawaban Ayra, sebelum dosen mereka datang. “Semalam gimana, Ra? Lancar nggak malam pertamanya? Terus, beneran enak kayak di film-film JAV nggak?” tanya Dita lagi dengan suara rendah.Dita memang sudah tahu jika Ayra baru saja menikah dengan Varo. Perempuan tersebut juga tahu jika sebenarnya Ayra sama sekali tidak m
Aksa berulang kali mendesah saat pikirannya tidak dapat fokus kepada apa yang saat ini tengah dirinya kerjakan. Seperti sekarang, ia sedang mem-plating dessert yang baru saja selesai dibuat, tapi pikirannya malah terus menerus tertuju pada gadis manis bersurai pendek tadi malam. Bayangan sosok manis Ayra tergambar jelas di otak Aksa. Dari cara gadis itu berbicara, caranya merengek manja, sampai caranya menangis benar-benar hampir membuat Aksa hampir gila. Jika saja tadi malam ia kehilangan akal sehat, sudah tentu Ayra telah menjadi santapan empuknya. Namun, Aksa masih waras. Ia tidak mau melecehkan wanita, terlebih lagi gadis imut yang terlihat lugu macam Ayra. “Ah!” Aksa menjatuhkan stroberi ranum yang semestinya ia letakkan di bagian paling atas dessert yang ia buat. “Ayra…,” gumam pria berambut agak gondrong tersebut. Ada sedikit desiran aneh yang ia rasakan di dalam dada setiap kali mengingat sosok Ayra. Seketika, lamunan Aksa tersadar saat seseorang menyentuh ba
Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?! Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami. “Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?” Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?” Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat
“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana. “Besok kita ke sini lagi, ya.” Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung. Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu. “Saya mau ngantar kamu pulang.” “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?” “Nggak usah, Ay. Saya bisa o—” “Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, ki