"Sekaaaar, tolong jangan tinggalkan aku!" teriak Rian. Betapa Rian tidak kaget kalau dia menemukan Sekar sudah tergantung tak bernyawa. Mata yang melotot dan lidah yang terjulur. Rian begitu merinding melihat pemandangan mengerikan yang baru pertama kali ia lihat. Rian mendekati Sekar, sepertinya sudah tidak bernyawa. Rian panik, ia takut di tuduh yang tidak-tidak. Kemudian dia keluar rumah Sekar dan meminta pertolongan warga. "Tolooong, tolong. Saya menemukan Sekar gantung diri," kata Rian meminta pertolongan dengan seorang Bapak tetangga di sebelah rumah Sekar. "Apa yang benar Mas?" tanya Bapak itu kaget.Rian yang masih syok hanya menganggukkan kepalanya."Baik kalau begitu saya akan panggil Pak RT dan memanggil pihak kepolisian," sambung Bapak itu lagi.Lima belas menit kemudian, Pak RT, beberapa orang polisi, tenaga medis, dan warga sudah tiba di rumah Sekar. Polisi di bantu tenaga medis menurunkan jenazah Sekar. Mereka langsung membawa jenazah Sekar ke rumah sakit untuk mel
PETAKA STATUS WA Aku dan Mas Rian baru saja menikah tiga bulan lalu. Seperti pengantin baru pada umumnya, kami pasangan yang sangat bahagia. Apalagi kami juga baru saja berbulan madu. Setelah beberapa bulan lalu terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.Mas Rian bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Sedangkan aku mempunyai sebuah usaha konveksi yang masih berkembang.Kami berbulan madu di pulau Bali dengan menyewa hotel yang lumayan mewah. Meski Mas Rian harus merogoh kocek agak dalam, tetapi itu tak masalah demi bisa memiliki waktu berdua yang berkualitas.Senja ini kami menghabiskan waktu di pantai Sanur. Kami duduk berdua beralaskan pasir putih. Kami saling bercerita, sesekali mengungkapkan rasa cinta yang menggema di dada."Kamu bahagia, Dek?" tanya Mas Rian sambil memandangku penuh cinta."Sangat. Mas sendiri?""Enggak bisa diungkapkan dengan kata-kata," sahutnya. "Terima kasih, ya, Dek. Terima kasih sudah melengkapi hidupku."Mas Rian meraih jemariku dan menciumnya
Ya Allah sesak dadaku, membaca pesan dari Mas Rian. Tega sekali dia seperti itu padaku. Aku bahkan sudah terlanjur mempercayainya selama ini. Sebenarnya aku dan Mas Rian memang sudah lama kenal karena kami dulu teman satu kampus di salah satu kampus swasta dan satu jurusan juga tetapi kami berbeda kelas. Harusnya aku sudah lulus kuliah tapi karena aku sempat tidak lanjut kuliah dulu karena dulu aku bekerja di warung makan. Jadilah aku mahasiswa paling tua di angkatan dari segi umur. Aku pun waktu itu juga tahu Mas Rian pacaran dengan Sekar karena mereka sering saling berkomentar di facebook. Kalau di kampus, aku dan teman-teman yang lain juga sering meledek Mas Rian di kampus membahas tentang Mas Rian dan Sekar yang sering saling melempar komentar di facebook. Bahkan aku juga berteman dengan Sekar di facebook, kami juga pernah saling sapa walau di dunia nyata kami belum sempat bertemu bertatap muka.Akhirnya kami pun lulus. Ada yang melamar di perusahaan maupun menjadi pengusaha sepe
Kami akhirnya pulang ke kota kami setelah menikmati liburan dari Bali. Bukannya merasa segar setelah liburan tapi malah menambah penat pikiranku karena aku mesti mencari bukti kalau Mas Rian masih berhubungan dengan Sekar. Untungnya aku sudah menyimpan tangkapan layar percakapan mereka di ponselku, siapa tahu suatu saat ini bisa berguna dan bahkan menjadi barang bukti.* * Aku membantu Bibi Tia, asisten rumah tangga di rumah orangtua Mas Rian untuk menyiapkan sarapan pagi. Menu pagi ini sederhana saja, nasi goreng ayam dan juga teh hangat. Kami masih tinggal bersama orangtua Mas Rian. Dia masih enggan kuajak untuk membeli rumah sendiri. Katanya masih betah tinggal dengan orangtuanya, padahal jika uang kami berdua di gabung untuk membeli rumah sebenarnya cukup. Sementara di sini ada Kak Rona, kakak pertama perempuan Mas Rian bersama suaminya, Mas Beni dan anaknya, Denis. Mereka sebenarnya tiga bersaudara, Mas Rian merupakan anak bungsu. Kak Resa, kakak kedua Mas Rian tinggal di komple
"Selamat siang Bu. Ada yang bisa kami bantu?" sapa Yuni dengan ramah kepada Kak Rona. "Aku mau menjahit gaun untuk ke acara pernikahan temanku. Soalnya ke penjahit langganannya katanya orderan penuh. Jadi aku ke sini deh," jawab Kak Rona. Aku tidak tahu ekspresi mereka karena aku hanya mendengarkan di balik gorden."Baik Bu. Tapi orderan menjahit kami juga penuh. Kalau Ibu berkenan, gaunnya jadi minggu depan." "Oh iya tidak apa-apa. Pas aja itu." "Baik Bu. Saya ukur dulu ya badan Ibu agar bajunya pas dan cocok." Yuni kemudian mengukur badan Kak Rona dan mencatatnya di buku, lalu ia menggambar model bajunya seperti yang di inginkan Kak Rona.Yuni menyerahkan nota upah menjahit gaun Kak Rona. Jadi Kak Rona wajib membayar uang muka dulu."Wah murah banget ini daripada di penjahit langgananku. Awas ya kalau hasilnya nggak memuaskan," ancam Kak Rona.Duh belum apa-apa kok main ancam-ancaman segala. Kecuali bajunya sudah jadi tapi tidak sesuai kehendaknya okelah dia boleh komplain."Ibu
"Hari ini Papa akan mengumumkan pembagian warisan. Papa sengaja membagi warisan ketika Papa masih hidup agar nanti kalian tidak rebutan harta yang Papa wariskan ketika Papa sudah meninggal nanti." "Semua anak sudah mendapatkan jatah masing-masing," kata Papa menambahkan."Yang pertama untuk Mama. Mama mendapatkan rumah di kawasan Kelapa Hijau dan perusahaan Papa.""Untuk Rona mendapat rumah yang ada di kawasan Semanggi. Resa mendapatkan rumah di kawasan Mengkudu." Papa melanjutkan."Kemudian. Rian dan Hilda mendapatkan rumah di kawasan Manggis beserta satu buah mobil pajero yang Papa miliki." "Loh kenapa kami hanya mendapatkan rumah, Pa? Sedangkan suami kami kok nggak di beri? Malah Rian dan Hilda mendapatkan rumah tiga tingkat? Sedangkan rumah yang kami dapat hanya tingkat dua?" protes Kak Rona. "Iya nih, Pa. Rian dan Hilda malah dapat mobil juga. Ini namanya nggak adil kalo gini," sahut Kak Resa juga ikut-ikutan. Padahal mereka juga sudah mempunyai mobil pajero, sedangkan Mas Ria
"Kamu yakin kalau pernikahan kita akan di resmikan ke KUA?" tanya Mas Rian ketika kami berada di kamar."Memangnya kenapa Mas?" Aku bertanya sambil menyisir rambutku."Ah nggak apa-apa. Hanya saja...""Hanya saja gimana?""Kamu beneran cinta kan sama aku?" tanya Mas Rian dengan nada serius.Aku menghentikan menyisir rambutku. Baru pertama kali ini dia menanyakan pertanyaan yang menurutku seperti anak muda yang baru saja pacaran.Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku jadi ingat chat Mas Rian dengan Anita dan juga dengan Sekar. Seketika luka yang ingin segera kuhapus itu menganga kembali."Kamu sudah persiapkan berkas pernikahan kita ke KUA kan?" tanya Mas Rian lagi."Belum, Mas. Lagi pula sepertinya sudah terkumpul juga di lemariku. Jadi tidak susah lagi besok untuk mengambilnya.""Oh begitu. Baiklah kalau semuanya sudah siap."Aku heran dengan sikap Mas Rian, tadi sewaktu Papa memintanya untuk segera meresmikan pernikahan kami wajahnya begitu pucat. Namun sekarang malah kembali ceria
Ternyata mereka sekarang chat di aplikasi Whatsapp! Uh sudah berani skalian rupanya. Langsung saja kubuka chat yang di namai 'Sekar Sayang' itu.[Sayang, Mas di suruh menikah resmi dengan Hilda bagaimana ini?] kata Mas Rian sepertinya nampak panik.[Ya sudahlah. Lagian kan kita sudah rujuk. Nggak apa-apa. Nanti kalau Mas sudah bosan tinggal ceraikan aja dia, bikin aja alasannya kalau Hilda nggak hamil-hamil. Gampang kan?] balas Sekar. Aku kaget ketika menemukan kenyataan lagi bahwa mereka sudah rujuk. Lalu apa sebenarnya alasan Mas Rian mau saja ketika Papanya menyuruh kami meresmikan pernikahan? [Wah, betul juga ya. Itu alasan gampang. Lagipula kan Hilda wanita bodoh, mudah saja di bohongi!] [Tuh kan. Apa ku bilang! Manfaatkan saja dia Mas selagi bisa. Jangan sampai gagal, Mas. Ini kesempatan emas lho. Aku rela saja Mas Rian menikah resmi dengannya. Tapi Mas janji lho harus segera menceraikan dia kalau tujuan Mas sudah tercapai.]Aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Setega itu di