“Kau bisa masuk. Pintunya tidak dikunci.” Willa mengatakan itu sambil bangkit lagi dari posisi berbaringnya.
Seraut wajah tua muncul dari balik pintu yang didorong.“Apa kau perlu dokter?” Lelaki itu menawarkan seraya mendekat. Dia memeriksa suhu tubuh Willa dengan meletakkan telapak tangan di dahinya.“Aku baik-baik saja.” Hampir saja Willa menepiskan tangan asing itu kalau tidak segera sadar kalau dia adalah orangtua kandungnya saat ini.Tampaknya lelaki ini cukup perhatian sebagai seorang ayah. Willa sedikit merasa hangat. Ingatan pemilik lama sebagian masih samar-samar baginya.Ayahnya dulu juga seorang yang penyayang.“Apa kau yakin?” Daniel masih meragukan ucapan Willa meski merasa suhu tubuh puterinya normal.“Tentu saja. Semalam aku tidur agak larut jadi masih sedikit mengantuk. Mungkin setelah mandi akan lebih baik. Ayah pergi saja dulu.” Willa mendorong lelaki itu pergi. “Aku akan pergi naik taksi nanti.”Daniel mengamati Willa sejenak, memastikan kebenaran ucapannya.“Baiklah. Kami pergi lebih dulu. Jaga dirimu. Jangan memaksakan diri untuk pergi kalau merasa kurang sehat.”Sepeninggal Daniel, Willa bergegas mandi. Kepalanya dipenuhi berbagai pemikiran. Ingatan-ingatan pemilik lama melesat-lesat dengan sangat cepat. Dia sedikit kecewa dengan kehidupan pemilik tubuh asli. Tidak populer di sekolah, jatuh cinta mati pada seorang tuan muda dan mempermalukan dirinya di saat kelulusan, beberapa kali nyaris dicelakai ibu tiri dan saudara perempuannya, diabaikan oleh adik lelakinya. Hanya ayahnya yang cukup baik padanya.Di depan cermin, Willa menatap dirinya sekilas. Setidaknya, ini wajah yang sama dengan miliknya. Hanya saja ada riasan tebal di sana. Dia menghapusnya dengan perasaan jijik.Baiklah, dia akan menjalani kesempatan kedua ini sebaik-baiknya. Lupakan Michael Nelson sialan itu. Dia tidak ada dalam kehidupan keduanya ini. Willa tidak perlu khawatir akan bertemu dengannya dan menjadi sedih lagi.Saat turun ke ruang makan, semua orang telah pergi. Willa pergi ke dapur dan meminta setangkup roti lapis dan segelas susu, menghabiskannya dengan segera sambil memesan taksi. Dia tidak bertemu Rachel Anderson, ibu tirinya, saat akan pergi.Tiba di universitas yang dituju, Willa ingat jika pemilik tubuh asli mengambil jurusan kedokteran. Meski berada di daftar terakhir, tapi itu cukup membanggakan. Ibu tirinya dan Emily sempat terlihat iri saat mendengar dia lulus di fakultas itu. Sementara Emily sendiri selain tidak berbakat, dia juga tidak tertarik untuk belajar medis. Tampaknya menjadi artis terkenal telah menjadi impiannya sejak lama sehingga dia lebih memilih seni sebagai bidang studinya.Willa sendiri tidak mengkhawatirkan apa pun. Markas Omega dulu dipenuhi orang-orang jenius. Beberapa pernah menjadi gurunya. Materi kedokteran tidak membuatnya takut. Dia pernah mempelajari beberapa hal secara acak.Setelah menyelesaikan pendaftaran mata kuliah yang akan diambil untuk satu semester ke depan, Willa tidak memiliki niat untuk tinggal lagi. Dia ingin kembali lebih awal. Ada beberapa hal yang harus dia pelajari dari kondisinya saat ini.Begitu di luar universitas, dia berbelok ke kanan. Willa ingin berjalan-jalan sebentar mengamati sekitar.Universitas ini ternyata bersebelahan dengan sebuah sekolah menengah pertama. Situasi di dalam area sekolah cukup ramai karena kelas belum dimulai. Tapi di ujung tembok pagar yang membatasi area sekolah dan dunia luar, Willa melihat sekelompok remaja tanggung tengah mengelilingi seorang remaja lelaki dan seorang anak perempuan.Dia melihat ada yang tidak beres saat salah satu dari remaja yang mengelilingi mendorong remaja laki-laki itu hingga terjatuh. Anak perempuan yang bersamanya tampak berusaha menghalangi remaja lainnya yang mencoba menendang temannya.Willa mempercepat langkah, mendekat.“Kupikir ada hal menarik di sini. Kiranya hanya sekelompok idiot.” Suara Willa mengatasi keributan di tempat itu begitu tiba di sana.Semua orang langsung berpaling padanya dengan rasa penasaran. Saat menyadari kata-kata itu ditujukan pada mereka, wajah beberapa remaja laki-laki langsung menjadi merah.Siapa gadis yang telah berani menyebut kelompok mereka sebagai idiot? Apakah dia sedang mencari mati?Seorang remaja lelaki bertubuh besar maju mendekat. Usianya mungkin paling tua di antara semua. Mungkin sekitar enam belas tujuh belas tahunan. Dia menyeringai seraya mengawasi Willa dengan tatapan kurang ajar.“Kakak cantik, kau tidak serius dengan perkataanmu ‘kan? Bukankah yang kau maksud dua bocah ini?”Namanya Richard. Dia terkenal sebagai bagian dari sebuah gank preman. Tepatnya, saudaranya adalah bos dari kelompok yang menamakan diri sebagai Black Hand. Pekerjaan mereka adalah membuat kekacauan sekaligus memberi perlindungan dengan menarik bayaran yang tidak masuk akal.Richard dengan memanfaatkan nama saudaranya, membuat ulah di sekolah. Dia merundung beberapa anak yang tidak disukainya dan meminta uang pada siapa pun yang kebetulan bernasib sial.Pihak sekolah telah beberapa kali mendapat laporan. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Black Hand tidak sesederhana yang diketahui semua orang. Ada seseorang yang jauh lebih kuat berdiri di belakangnya.“Perkataanku ternyata tidak meleset. Orang idiot memang selalu lebih lambat dalam berpikir. Jelas-jelas yang kumaksud adalah kalian berlima. Kau malah menanyakannya lagi seperti orang idiot.” Willa terus menekankan kata penghinaan itu.Dia melirik si remaja lelaki yang kira-kira berusia 14 tahunan yang kini telah bangkit dari tanah. Sekilas Willa melihat kilatan aneh di mata remaja laki-laki itu. Gadis kecil temannya kini mencengkeram tangan remaja itu dengan mata membelalak ketakutan. Waktu tatapan Willa bertemu dengannya, gadis kecil itu menggeleng mengisyaratkan agar Willa tidak melanjutkan tindakan memprovokasinya.Willa pura-pura tidak mengerti. Dia malah melambai pada keduanya. “Hallo, aku Willa. Apa kalian terluka?”Si remaja lelaki menghindari pandangan Willa. Si anak perempuanlah yang menyahut. “Tidak. Kami baik-baik saja.”Willa mengacungkan jempolnya. “Baguslah.”Richard merasa diabaikan. Dia berdehem sebelum berkata, “Jadi namamu Willa—““Panggil aku nona Anderson. Siapa yang mengijinkanmu memanggil nama depanku.” Willa memotong dengan ketus.Richard terperangah. Rupanya gadis di depannya belum tahu siapa dia.“Nona Anderson, kau mencampuri urusan kami. Sebaiknya kau segera pergi dari sini sebelum kami turun tangan membereskanmu.” Richard menahan diri untuk tidak menampar mulut yang terlihat cantik baginya. Mungkin dia tidak benar-benar ingin menampar. Dia cukup berpengalaman bersenang-senang dengan beberapa gadis.Willa terkekeh. Dia memandang rendah lima remaja yang mungkin hanya selisih tiga empat tahun di bawahnya.“Kalian adik-adik kecil tidak tahu sopan santun. Berani mengancam dan berkata kasar. Segera minta maaf sambil berlutut. Lalu pergi dari hadapan kakak ini sambil merangkak. Kalau tidak, kakak cantik kalian ini tidak akan segan-segan memberi kalian pelajaran.” Willa menggosok-gosokkan kedua belah telapak tangannya yang terlihat halus. Jari-jarinya yang panjang dan putih terlihat lembut dan menyenangkan untuk disentuh.Lima remaja saling berpandangan sebelum tawa mereka meledak. Itu terdengar lucu. Bahkan guru-guru di sekolah tidak berani memberi hukuman. Bagaimana gadis yang tampak lemah dan asing ini berani menggertak sekeras itu? Tampak seperti anak kucing yang mengeong pada sekumpulan serigala dari hutan di pinggiran kota Lakeside.Tapi si gadis malah ikut tertawa. Seakan bukan dia yang menjadi bahan tertawaan.Richard menjadi tidak senang. Olok-olok mereka terasa menampar udara.“Apa yang kau tertawakan, Nona Anderson?”“Aku menertawakan apa yang kalian anggap lucu.” Willa bahkan menyeka sudut matanya yang berair karena ikut tertawa tadi.“Menurutmu apa yang lucu?” Richard menjadi kesal kini. Bicara gadis ini berbelit-belit. Apa mungkin dia ketakutan? Mungkin—“Kau bertanya apa yang lucu padaku sementara kau juga tertawa? Bukankah kau benar-benar idiot yang tidak tertolong?” ujar Willa. Lagi-lagi dia menyebut para remaja itu sebagai idiot.Ucapan Willa tidak saja membuat bingung tapi juga memancing kemarahan sekelompok remaja itu. Ini telah ke sekian kalinya mereka dipanggil idiot hanya dalam hitungan menit.“Bos, hajar saja. Beri pelajaran. Mulutnya terlalu tajam. Lama-lama kita akan menjadi sakit kepala dibuatnya.” Seorang bertubuh pendek dengan wajah jerawatan menyela dengan tidak sabar. Dia hanya mendengark
Willa menepis senjata pertama dengan memukul pergelangan lawan. Pisau segera terjatuh. Dan remaja yang tadi memegang pisau merasa sendi lengannya terlepas. Dia menjerit setinggi langit saat merasakan nyeri yang luar biasa.Senjata kedua terlempar oleh kibasan tas di tangan Willa. Pisau itu malah berbalik menggores lengan si penyerang. Gadis itu membuat gerakan berputar. Senjata ke tiga dihadang dengan sebuah tendangan. Pisau terlempar jatuh ke tanah. Sebuah tendangan lagi mendarat di perut si remaja. Laki-laki muda itu terbungkuk menahan sakit sambil memegangi perut. Sebentar kemudian dia sudah muntah-muntah.Senjata ke empat datang lebih lambat karena si penyerang mendadak jadi gugup. Willa tidak menghindar. Sambil menyeringai dia menyambut serangan itu dengan telapak tangan terbuka. Tanpa ada yang mengerti, pisau telah berpindah ke tangan Willa.Remaja yang tadi memegang pisau membelalakkan matanya. Dia seperti sedang melihat hantu saja.Pisau di tangan Willa berputar-putar dalam
Aaron sudah terbiasa dengan banyak tatapan memuja dari para wanita. Tapi cara gadis ini menatapnya sedikit keterlaluan. Bahkan dia bisa melihat gadis ini menelan ludahnya. Dia terlihat tidak berusaha menutupi rasa ketertarikannya.Tapi apa katanya tadi? Paman? Mereka baru bertemu dan gadis ini telah menyapanya dengan panggilan yang mengisyaratkan bahwa mereka telah sangat akrab. Terdengar kurang sopan. Tapi cukup untuk sedikit menghapus prasangka buruk Aaron. Bagaimana pun, tidak ada seorang gadis yang akan memanggilnya satu generasi lebih tua jika berniat mendekatinya.“Ayah, ini nona Willa Anderson. Dia yang sudah menyelamatkan kami. Ayah harus melihatnya. Dia sangat hebat. Kami sempat berpikir anak-anak nakal itu akan mencelakainya. Tapi ternyata, Nona Anderson berhasil menghajar mereka semua." Olivia Harris maju mengenalkan Willa pada ayahnya. Dia bahkan memegangi lengan gadis itu dan terlihat sangat menyukainya.Perasaan dingin Aaron sedikit mengendur. Mana mungkin dia bersikap a
Sang ayah di kursi penumpang terbatuk. Samuel di sebelahnya masih bisa mengendalikan diri. Dia hanya berdehem untuk membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Sementara Ethan tidak bereaksi. Sebuah headphone telah memblokir suara di sekitarnya. Dia punya firasat bahwa akan ada percakapan yang tidak ingin dia dengar sejak masuk ke dalam mobil.Gadis di kursi belakang melebarkan mata indahnya dan mengintip lewat kaca spion. Hanya ada satu kemungkinan jika tuan Harris sampai sekarang belum menemukan pasangan lagi. Dia masih mencintai isterinya yang sudah meninggal atau belum ada wanita yang membuatnya tertarik untuk menikah lagi. Jangan katakan kalau tidak ada wanita yang menyukainya? Willa berani disambar petir jika setengah wanita Lakeside pasti akan tergila-gila jika bertemu Aaron Harris.Bahkan dia yang baru pertama kali bertemu saja sudah mencampakkan cinta matinya dahulu begitu bertemu pria ini.Willa sibuk berdebat sendiri di dalam hati sampai sebuah sikutan di ping
Acara makan siang hari itu meriah oleh celoteh dua orang, Willa dan Olivia. Mereka bicara tentang apa saja yang melintas di kepala keduanya dan tampak seperti dua sahabat yang telah berpisah bertahun-tahun lamanya.Aaron dan Ethan hanya menyahut dengan enggan sesekali jika ditanya tentang suatu hal. Keduanya berusaha fokus pada makanan yang mereka santap. Sementara dua gadis menjadi sangat berisik dalam pendengaran mereka.Usai makan siang, Willa tanpa malu-malu meminta diantar ke rumah keluarga Anderson. “Aku khawatir ibuku akan mengamuk karena aku terlambat kembali,” ujar Willa dengan wajah dibuat memelas. Padahal hari masih siang. Tidak ada yang akan peduli jika dia tidak pulang sekali pun. Oh, mungkin ayahnya akan khawatir juga. Tapi tidak akan lama. Isteri tercintanya akan membuat praduga-praduga yang menyalahkan Willa dan mengatakan jika semua akan baik-baik saja.“Apa ibu tirimu sangat jahat?” Olivia begitu antusias menanyakan itu.
Willa berhenti di depan pintu kamarnya, memandang Emily sekilas dari atas hingga bawah. Senyumnya segera dengan polos mengembang.“Dia memang sedikit lebih tua. Tapi dia jauh lebih baik dari William. Kau ambil saja tuan muda sombong itu. Aku sudah tidak menyukainya lagi.” Setelah mengatakan itu, Willa masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras di depan wajah Emily.Bam!Bahkan Emily bisa merasakan sambaran angin dari pintu yang sengaja ditutup dengan cara kasar. Wajah gadis itu segera menjadi jelek.Emily merasa hari ini Willa berbeda dari biasanya. Adiknya seperti tidak memiliki rasa takut sedikit pun padanya. Dan ada apa dengan kata-katanya tadi? Sudah tidak menyukai William? Siapa yang menulis surat cinta dan mengatakan bahwa sangat mencintai pemuda itu sampai ingin mati?Willa menyukai William dan mengirim sebuah surat cinta yang kemudian bocor. Surat yang ditulis dengan kata-kata yang menjijikkan itu dibaca semua penghuni sekolah di papan pengumuman. Seseorang menempelk
Willa masih bersenandung saat turun ke lantai bawah untuk makan malam. Ini pertama kalinya dia bertemu Rachel, ibu sambungnya. Dia pikir dia akan mengabaikan wanita ini karena mereka tidak saling menyukai. Nyatanya Rachel sangat ramah. Dia menambahkan daging dan sayur ke piring Willa dan mengatakan padanya untuk makan lebih banyak.Dengan sedikit heran, Willa melirik Emily. Senyum kakaknya itu terlihat tidak pada tempatnya. Ada apa ini?Di bagian lain, Nathan, adik lelakinya yang berumur 16 tahun seperti tidak melihat semua yang terjadi di meja makan.Semuanya terjawab saat Rachel tiba-tiba dengan gembira mengatakan sebuah rencana. “Willa, ayahmu sedang berusaha mencari bantuan ke beberapa orang. Dia ingin mengundang tuan Morgan untuk makan malam. Kita bisa saja menghubungi sekretarisnya, tapi kami ingin membuat makan malam yang tidak terlalu formal. Kita akan membuatnya penuh dengan nuansa kekeluargaan. Maukah kau memintanya untuk datang? Kudengar kau cukup dekat dengannya.”Wajah Wi
Saat semua orang panik di kediaman Anderson, Willa sedang berada di ruang tamu keluarga Harris. Olivia Harris sedang mengajarinya sebuah game pertarungan di ponsel. Karakter Willa tewas berkali-kali, tapi dia tidak jera juga. Olivia menertawakannya, hal yang membuat Willa hampir melempar ponsel miliknya. Pemilik asli tubuhnya ternyata juga tidak pandai bermain game.“Willa, ternyata kau lebih pandai berkelahi di dunia nyata dibanding di dalam game.” Olivia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengolok-olok gadis itu. Ini permainan mudah dan familiar di kalangan anak-anak. Tapi Willa bahkan tidak tahu cara menggerakkan tangan dan kaki karakternya. Dia terus membuatnya berputar-putar dan bergerak tidak jelas.“Diamlah. Kau terus membuatku kalah dengan terus bicara.” Willa menganggap kesialannya adalah kesalahan Olivia.Gadis kecil itu segera cemberut. “Willa, bukankah sebaiknya kita pergi ke kamarku. Apa kau tidak lelah?”Mereka tiba di rumah setelah makan siang. Willa menjemput Olivia d