Share

Paman, Aku Layak Menjadi Isterimu
Paman, Aku Layak Menjadi Isterimu
Penulis: Lafiza

Bab 1. Kesempatan Kedua

Gadis yang terbaring pucat di ranjang yang mirip ranjang rumah sakit itu menatap langit-langit ruangan di atasnya. Suasananya sangat hening hingga dia bisa mendengar suara napas dan detak jantungnya sendiri. Ada sekilas kesedihan di matanya, tapi segera lenyap.

Dia seorang gadis muda yang cantik. Rambut coklatnya yang ikal panjang tersebar di sekitar wajah. Bulu matanya yang lentik bergetar. Sementara bibirnya yang indah mengulas senyum pahit.

Biasanya dia adalah gadis dengan semangat dan rasa percaya diri yang kuat. Hari ini dia merasa putus asa.

“Jadi, profesor hebat seperti kau pun tidak punya kemampuan untuk menyembuhkan penyakitku?” Setelah beberapa saat terdiam gadis itu melontarkan kalimat mengejek pada seorang pria tua dengan jas putih dan kacamata. Pandangannya masih pada langit-langit ruangan.

Pria yang menjadi lawan bicara hanya bisa mengangguk dengan enggan. Dia tidak peduli dengan ejekan itu. Dia hanya peduli dengan nasib malang gadis ini.

“Maaf,” ujarnya tak berdaya. “Sampai saat ini, tidak ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit seperti yang kau alami .”

Gadis itu hanya melirik sekilas pada wajah kuyu sang profesor, lalu kemudian terkekeh sendiri. Dia menertawakan nasibnya yang tidak beruntung.

“Aku masih sangat muda. Ulang tahunku yang ke sembilan belas baru seminggu yang lalu. Tapi kematian sudah akan menjemputku.” Lalu dia terbatuk sedikit hingga menimbulkan rasa nyeri luar biasa di dadanya.

Pria tua berjas buru-buru mendekat. “Bagaimana perasaanmu?” tanyanya dalam kebingungan. Gadis yang sedang sakit parah ini bahkan tidak memberitahu orang-orang terdekatnya. Hanya dia yang tahu. Jadi, hanya dia yang akan berada di sisinya untuk menenangkan atau kalau bisa juga menghibur.

Si gadis mengangkat tangannya sebagai isyarat bahwa dia tidak memerlukan bantuan apa pun.

“Napasku agak sesak. Dan kepalaku mulai sakit.” Pandangannya juga mulai tidak jelas sebenarnya, tapi dia tidak mengatakannya.

Akhir-akhir ini dia bahkan mulai berhalusinasi. Sang profesor memberitahu jika itu adalah salah satu gejala akhir.

“Dengar, kalau sesuatu terjadi, katakan pada ibu dan ayahku kalau aku berterima kasih pada mereka. Katakan juga pada pamanku—“ Gadis itu terbatuk lagi. Dia mencoba bangun tapi terlalu lemah untuk menopang dirinya.

Sang profesor mencoba membantu. “Jangan bergerak dulu.”

Gadis itu memang tidak bisa lagi menggerakkan tubuhnya. Dia kembali terjatuh di tempat tidur. Wajahnya sangat pucat. Tapi dia masih bisa bicara.

“Katakan pada Michael, persetan dengannya—“

Mata cantiknya masih terbuka saat napasnya hilang. Bibir pucatnya juga masih  membayang senyum kepahitan.

***

Rasanya sangat nyaman. Dia tidak lagi kesakitan seperti yang belakangan ini dia alami. Semua terasa ringan. Meski seperti berenang dalam kegelapan tanpa batas. Meski yang ada hanya kesunyian. Kematian ternyata tidak semenyakitkan yang dia bayangkan.

Sampai semua kenyamanan dan ketenangan itu menjadi berantakan oleh suara keras yang memasuki pendengarannya.

“Willa!” Suara memanggil disertai gedoran tidak sabar pada pintu membuat Willa tersentak.

Ada semacam kekuatan yang menyeretnya ke sebuah lubang cahaya yang berisik.

Gadis itu membuka mata dengan tiba-tiba dan mendapati langit-langit kamar yang berbeda. Dia menjadi linglung sejenak.

Di mana ini? Rasanya sangat asing. Tapi rasanya juga familiar.

“Willa, buka pintunya! Kau ingin kita terlambat di hari pertama kuliah?” Suara seorang gadis di luar sana terdengar sangat marah. Mungkin dia akan menghancurkan pintunya sebentar lagi jika tidak ada yang membukakan.

Willa mencoba bangun. Ternyata bisa. Meski tidak sakit lagi, tapi kepalanya sedikit pusing. Samar-samar, dia mengingatnya kini.

Ini bukan kamarnya! Ini juga bukan tempat terakhir kali dia berada.

“Willa Anderson, kau ingin aku mengadukan pada ayah bahwa kau telah mempermalukan diri dengan menulis surat cinta untuk William?” Suara gadis itu melengking nyaring dan masih berkata akan mengadukan Willa. Seolah-olah semua orang di rumah tidak ada yang mendengar perkataannya hingga dia perlu mengadukan lagi pada ayahnya.

Anderson? Nama belakangnya Anderson? Bukankah dia memiliki nama belakang Hayes? Sebuah nama keluarga yang sangat misterius.

Pintu digedor lagi.

Dengan terhuyung Willa turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Dia tidak punya banyak waktu untuk memikirkannya. Nanti saja.

Begitu pintu dibuka, wajah cantik seorang gadis dengan lapisan make up yang kentara segera menyambut. Dia mengawasi wajah berantakan Willa yang baru bangun sambil meringis jijik.

“Kau bahkan belum mandi?” Emily benar-benar merasa sakit kepala. Mereka sedang terburu-buru dan Willa tidak terlihat seperti orang yang akan bepergian beberapa menit lagi.

Beberapa ingatan memasuki kepala Willa. Ingatan yang bukan miliknya.

Gadis di depannya adalah Emily Anderson, kakak satu ayahnya. Mereka hanya selisih usia tiga bulan.

“Kepalaku sedikit sakit. Kalian pergi saja lebih dulu.” Willa tidak ingin berdebat. Ini terlalu membingungkan. Seperti mimpi saja.

Apa yang terjadi pada si pemilik tubuh asli?

“Setelah melihatmu, aku memang tidak akan menunggumu lagi.” Emily dengan kesal mengentakkan kakinya dan bergegas pergi dari hadapan Willa. Suaranya yang mengadu pada semua orang di lantai satu terdengar jelas hingga ke lantai atas.

Di kamarnya, Willa mengamati sekeliling sambil memegangi kepalanya. Dia mulai merunut semua kejadian satu persatu.

Sebagai puteri satu-satunya di keluarga Hayes, Willa adalah permata kesayangan keluarga. Di pulau yang menjadi kediaman mereka, tepatnya di markas Omega, semua orang berusaha menyenangkannya. Hingga dia mengakui perasaannya pada pamannya, Michael Nelson, pimpinan Omega sekaligus adik angkat ayahnya. Dia tahu, semua orang mulai bergosip tentangnya.

“Nona Hayes masih terlalu muda.”

“Tuan Nelson tidak mungkin menikah dengan gadis manja itu.”

“Bukankah sudah kukatakan, dia adalah magnet yang bisa menarik gadis mana pun?”

“Hei, apa kalian belum mendengarnya? Tuan Nelson—“

Kemudian rencana pernikahan itu nyaris membuat Willa mendatangi calon bibinya. Dia ingin sekali membunuh wanita yang tiba-tiba saja akan menjadi isteri Michael. Bagaimana dia bisa tidak tahu kalau pamannya telah memiliki kekasih?

Lalu kematian itu datang begitu cepat. Semuanya menjadi kabur. Tiba-tiba saja dia sudah terbangun oleh suara panggilan Emiliy.

Ini tampak seperti mimpi. Tapi ini juga begitu nyata.

Jadi, tahun berapa sekarang?

Di atas meja belajar sebuah ponsel tergeletak. Willa mengecek tanggal. Sudah lima puluh tahun sejak kepergiannya.

Sial! Apa benar bisa seperti ini?

Willa mengamati benda pipih di tangannya. Ingatan pemilik lama membuatnya tidak kesulitan mengoperasikan benda canggih ini. Tapi tetap saja dia merasa asing.

Berapa banyak hal di dunia ini yang sudah berubah?

Ketukan lagi di pintu.

“Willa, apa kau sakit?” Sebuah suara memanggil. Kali ini berbeda. Ini suara seorang laki-laki, ayah dari pemilik asli tubuhnya, ayahnya sekarang, Daniel Anderson.

Tatapan Willa beralih ke arah pintu. Dia penasaran dengan lelaki  yang menjadi ayahnya kini.

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status