***
Nathan ikut bersama kami untuk bertemu dengan Sutan. Selama di perjalanan, Violet tak hentinya terus menggoda pria tampan tersebut, hingga Nathan berkeluh kesah padaku tentang sikap wanita yang duduk di sampingnya.
“Dia wanita paling cerdas dan licik di Cincin Hitam, anggap saja sebagai salam perkenalan darinya.”
Nathan melongo sambil terus mencoba menjauh dari Violet, entah kenapa aku merasa kasian padanya, ia tipe pria yang sama sekali tidak suka ketika dirinya digoda, tapi ia juga tipe pria yang tak bisa kasar pada wanita. Sungguh momen dilematis yang sangat membingungkan.
“Violet, di mana posisi Sutan sebenarnya?” tanyaku, wanita itu segera teralihkan dan mulai membuka peta di ponselnya.
Ia mengirimkan kepadaku sebuah peta yang menunjukan koordinat dari pesan enkripsi yang sudah Violet buka, terlihat pesan singkat yang berisi “Bertemu, bayar, lupakan”. Aku yakin, pesan ini pasti ditujukan kepada pelanggan
*** Cukup lama kami berlindung di balik batu dan pohon, menghindari peluru-peluru panas yang keluar dari senapan mereka. Sungguh sambutan yang tak terduga kami dapatkan malam itu. “Apa kita akan terus bersembunyi di sini? Atau kita akan pergi melawan?” tanya Nathan, ia mengeluarkan revolver dari saku celananya, begitu juga dengan dua buah granat peledak yang tengah ia pegang. “Tunggu! Kita jangan menyerang mereka, mereka justru tengah memancing kita, apakah kita bersenjata atau tidak,” ucapku dengan banyak memikirkan segala kemungkinan dari kejadian yang telah terjadi. Nathan mengangguk, ia menurunkan kembali revolvernya dan menyimpan dua buah peledak itu ke dalam saku jasnya kembali. Ia tengah berlindung tepat di depan kananku, bersama Violet yang berada di dalam genggamannya, sedangkan Reno terpisah dengan kami, ia berlindung seorang diri di balik pepohonan dengan wajah tegangnya. “Sial! Kami akan kehabisan waktu jika terus bersembunyi seper
***Aku pergi ke kediaman Violet untuk sementara waktu, bersama Nathan dan Reno untuk mencari tahu identitas dari pembunuh di dalam daftar yang Sutan berikan. Hal ini tentu sangat mendadak membuat Tiara begitu marah ketika mendengarnya, ia mengatakan kalau dirinya sudah mempersiapkan makan malam untukku.“Aku minta maaf, lain kali aku akan membalas semuanya, tenang saja,” ucapku dengan lembut, via telepon ketika Tiara menghubungiku malam itu.“Terserah kamu saja, aku tidak peduli!” erang Tiara, tak lama wanita itu langsung menutup panggilan teleponnya.“Ah, aku mencium bau-bau pertengkaran di sini,” ledek Nathan.“Bisakah kamu diam?”“Tentu, aku tidak ingin pertengkaran barusan merembet hingga ke tempat ini,” kelakar Nathan, Violet yang berada di sampingnya tak kuasa menahan tawa.“Sudahlah, lama-kelamaan juga ia akan kembali membaik. Mungkin malam ini moodnya yan
Kuikuti sumber suara tersebut, tak terduga ternyata suara dan kalimat tersebut berasal dari Reno yang berada di tepi kolam renang. Posisi pria itu tengah membelakangiku tanpa tahu keberadaanku saat itu.Tapi untuk menghindari kecurigaan Reno, kusimpan dugaan ini dalam-dalam dan menyapa pria itu dengan hangat.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” tanyaku, kujulurkan kopi hangat yang berada di genggamanku padanya.“Tuan Revan, ada anggotaku yang perlu tahu tentang rencana yang kita buat tadi,” balas Reno, ia meraih gelas tersebut dan meminumnya bersamaan denganku.“Begitukah? Anggota tentunya perlu tahu tentang rencana yang akan kita laksanakan, bukan?”“Tentu, Tuan. Ini demi menyukseskan rencana kita, semua unsur perlu tahu tentangnya,” balas Reno sembari tersenyum.Aku menduganya, Reno adalah orang yang pandai merangkai kata, jika ia tidak menjadi ajudanku, mungkin saja ia sudah menjadi seor
*** Mereka membawa kami mengunjungi sebuah tempat yang cukup jauh dari Ibukota, aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan, tapi jika situasi memburuk, aku bisa mengirim sinyal kepada anggota yang ikut bersamaku. Kini, posisiku dengan Gisele tidak menguntungkan. Aku dengannya di pisahkan antara dua mobil sedan hitam, dengan tegas kukatakan pada mereka untuk menjamin keselamatan wanita tersebut. Mereka mengangguk setuju. “Pimpinan kami ingin mengatakan sesuatu padamu,” ucap seorang pria yang duduk di kursi depan, ia masih menatap jalanan meski tengah berbicara denganku. “Pimpinan? Terdengar begitu resmi, aku tidak bisa menduga siapa kalian ini sebenarnya,” balasku dengan angkuh. Benar, aku harus bersikap kuat saat ini jika tidak ingin mereka meremehkanku. “Kamu akan mengetahuinya sebentar lagi.” Pria itu berbalik dan memerintahkan kedua anak buahnya untuk menutup wajahku menggunakan kain hitam yang begitu pekat. Aku tidak bisa melihat ap
Tak kusangka, seseorang yang justru kuakui sebagai salah satu petinggi yang mumpuni kini berencana untuk merebut Cincin Hitam dalam genggamanku. Benar, ia tumbuh dan berkembang di Indonesia sembari melihat aktivitas mafia yang kulakukan. “Kau! Aku tidak menyangka kau mengincar posisiku saat ini.” “Jangan naif, aku hanya ingin membentuk Cincin Hitam yang lebih baik dan lebih bermartabat dibanding saat kau memimpin,” ucap Soo, ia tersenyum menyeringai seolah-olah berkata dengan lantang “Akulah pemenangnya”. Tapi akan kupastikan ia tidak bisa mengambil Cincin Hitam dariku, jika kulakukan sesuai peraturan organisasi. Aku akan mengangkat beberapa orang lagi sebagai seorang eksekutif dan menjegalkan langkah Soo untuk mengambil alih. “Para eksekutif ini, kamu pasti hapal salah satu atau mungkin mereka semua. Dalam gelap, mereka terus saja menghambur-hamburkan uang, melecehkan para wanita dan memainkan uang di pasaran,” keluh Soo, aku tidak mengerti apa yang
*** Pencarianku terhadap keempat orang tersebut terpaksa kuhentikan, cidera yang dialami Gisele ternyata lebih buruk dari dugaan sebelumnya. Cidera engkel yang ia derita disebabkan oleh peregangan berlebihan di bagian ikatan ligamen –urat yang mengikat tulang. Klinik kesehatan menyarankan aku untuk membawanya ke rumah sakit, aku menyetujui meski Gisele menolaknya mentah-mentah. Aku katakan padanya jika kita tidak punya banyak waktu, orang-orang yang kita kejar bisa saja mengetahui pergerakan Cincin Hitam dan mulai melarikan diri. Tujuh hari adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengembalikan keadaan Gisele kembali seperti semula. Dengan bantuan rumah sakit yang besar dan berpengalaman, aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Gisele lagi karena dia berada di tempat yang tepat. Pagi itu, dia masih terlelap di atas kasur pasien yang begitu empuk. Aku sengaja membawanya ke ruang VIP agar ia bisa mendapatkan perawatan yang maksimal. Ruangan ini
*** Alberto? Apakah mungkin ada pria tukang sate dengan nama Alberto yang lain? Tidak! Orang jawa identic dengan nama-nama yang khas, sangat jarang orang menamai anak mereka Alberto. Hanya satu kemungkinan jika Alberto yang lain ada, yaitu orang asing yang memilih menetap di Jawa Tengah dan mengubah kewarganegaraannya. Kuperhatikan lebih jelas wajah dari pria di depanku, ia berkulit putih dan memiliki perawakan khas orang-orang Kaukasian. Apakah mungkin jika orang ini adalah buronan yang tengah kucari? Semakin malam, udara di sekelilingku semakin dingin dan menusuk. Jalanan pukul sebelas malam di depan tukang sate tampak lengang, hanya beberapa kendaraan yang bias kuhitung dengan jari. Dan terlebih di daerah itu hanya ada tukang sate milik Alberto seorang yang masih buka, entah kenapa kurasa seperti ada yang ganjil dari penampilan pria bertubuh besar tersebut. Sudah lebih dari setengah jam aku berdiri tepat di samping jalan, tidak ada
“Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?” tanya Alberto, sorot matanya begitu tajam seolah kini tengah mengintimidasiku. “Sebaiknya kita cari tempat lain. Aku tidak mau anak ini mengetahui identitas sebenarnya dari Ayah yang begitu ia sayangi,” ucapku. Kubalikan tubuh ini membelakangi Alberto dan melirik pelan melalui sudut mataku kepada Sinta. Gadis yang malang, di usia yang cukup belia, ia terpaksa harus menghadapi situasi sulit seperti ini. Tapi hal menyedihkan akan membawa kekuatan bagi seseorang, begitu juga dengan mereka yang ditinggalkan. Aku yakin dia cukup tangguh untuk melewati sisa hidup ke depannya, poin plus sudah ia dapatkan ketika dengan berani meneriaki dan membentakku. “Ayah! Jangan tinggali aku.” Wajah Sinta berlinang air mata, untuk anak seusianya aku sama sekali tidak keberatan jika harus menunggu. Hari ini, di waktu petang tiba, Sinta akan berpisah dengan ayahnya, mungkin untuk selamanya. “Tidak apa-apa, jangan khawatir