"Harusnya kamu malu, Rosa. Tidak bisa membuat Keluarga saya bahagia," ucap Ibu Mas Jalu dengan tangan di lipat didada, memandangiku dengan sinis. Aku hanya menunduk, mencoba meluaskan rasa sabar.
"Kamu denger nggak?" tanya Ibu sambil berteriak."Dengar, Bu." Aku menjawab singkat."Kalau dengar harusnya kamu sadar diri, obati diri kamu benar-benar, saya tidak akan pernah menyukai kamu sedikitpun. Sebelum kamu mampu memberikan anak saya keturunan.""Apa tujuan Ibu sebenarnya? Setiap hari melakukan hal ini." Aku memberanikan diri bertanya, rasanya sudah sia-sia aku bersabar, ibu selalu saja menyakiti hatiku sesukanya."Aku muak lihat kamu masih berada di rumah ini," bentaknya dengan mengibaskan rambut."Ini rumah Rosa, Rosalinda! Masa Ibu lupa?" tanyaku yang mulai tersulut emosi. "Dasar mantu kurang ajar, saya akan adukan kamu ke Jalu," ucapnya seraya berdiri menuju pintu keluar. Aku memusut dada, apakah akan terjadi masalah lagi setelah ini.Kalau terus begini, aku bisa gila tertekan, lebih baik aku pergi ke salon saja. Untuk membuang penat dan rasa lelah akibat tekanan Ibu mertua.Aku melajukan mobilku ke Salon Cantika, salon langgananku.Sesampainya aku di parkiran mobil, aku mengernyitkan dahi melihat salah satu mobil yang terparkir di parkiran salon.Mobil mas Jalu, ngapain dia di salon perempuan? Entah kenapa, rasanya degub jantungku semakin berpacu, kala melihat sosok mas Jalu keluar dari salon. Bersama seorang wanita yang begitu amat aku kenali, bahkan mereka berdua saling rangkul bak pasangan bahagia.'Ratih, Mas Jalu, apakah selama ini mereka menjalin hubungan diam-diam. Keterlaluan.' batinku semakin terluka, bukan hanya hinaan yang ku tuai, tapi juga pengkhianatan.Benar kata Ibuku, harusnya aku lebih pandai melihat perangai seseorang. Ternyata aku hanya di bodoh-bodohi oleh keluarga yang bahkan tidak menghargaiku sama sekali. Bahkan kawan baik sekalipun ternyata berperangai buruk, dengan meminta belas kasihan untuk di terima bekerja di perusahaan Papah, nyatanya untuk merebut Suamiku.'Baiklah, mungkin selama ini aku terlalu membuat kamu hidup nyaman, Mas. Maka saatnya membuat hidup kalian jungkir balik.'Aku urungkan niat ke salon, mobil kulajukan ke arah lain, setelah Mas Jalu pergi meninggalkan parkiran salon.Aku melaju ke rumah Papah dan Mamah. Sesampainya aku di rumah mewah berlantai tiga itu, ada sedikit perasaan tak nyaman, juga malu. Namun apapun itu, aku harus bisa hadapi.Kulangkahkan kaki memasuki rumah Papah dan Mamah. "Rosa, tumben datang!" sapa Mamah yang menuruni anak tangga.Aku tersenyum menatap wanita paru baya itu, langsung kuraih tangannya, dan menciumnya dengan khidmat."Duduk, Nak." Mamah mengajakku duduk di ruang tengah. Aku mengangguk mengikuti langkahnya."Papah mana? Mah," tanyaku sambil menyisir seluruh ruangan dengan mataku."Papah di kamar," sahutnya."Sakit?" tanyaku lagi."Masih ngorok!" jawab Mamah sambil terkekeh."Bangunin dong! Mah. Aku ada perlu sama kalian," ujarku memohon. Mamah menatap heran kepadaku, namun ia tidak langsung bertanya. "Tunggu ya!" ujarnya sambil mengulas senyum, ia berdiri menaiki tangga menuju kamar mereka.Lima belas menit kemudian, Papah turun bersama Mamah.Dengan wajah yang terlihat masih setengah mengantuk. Mereka pun duduk bersebrangan denganku."Ada apa? Ros," tanya Papah."Pah, aku mau kembali ke kantor! Biar aku saja yang pegang jabatan CEO disana, Mas Jalu turunin jadi staff cleaning servis saja." Papah nampak mengernyitkan dahi menatapku, ia lalu bertukar pandang dengan Mamah. "Ada apa Ros? Mendadak," tanya Mamah dengan heran."Aku ingin sedikit bermain, Mah." Aku menjawab sambil tersenyum."Ros, Mamah serius.""Mah, Rosa bisa kok menyelesaikan masalah ini, hanya saja tolong kembalikan posisi Ros di perusahaan Papah." Aku mengiba."Tapi kenapa dengan Jalu? Apa dia bermain nakal?" tanya Papah yang mulai curiga."Betul sekali, Ros mau memberi pelajaran lelaki tak tahu diri itu," sahutku berapi-api."Baiklah, itu urusan gampang Nak. Kamu amankan aset milikmu dulu, masalah perusahaan biar Papah yang atur." "Terimakasih, Pah." Aku berucap dengan wajah berbinar-binar.Setelah selesai, aku pun pamit pulang, banyak hal yang ingin kuperiksa di rumah.Sesampainya di rumah, aku sudah di sambut ocehan Ibu Mertua yang duduk di ruang tengah."Jadi Istri kok kluyuran melulu, bagaimana mau jadi seorang Ibu," celetuknya saat melihatku di ambang pintu depan rumah. Ini yang membuatku semakin tidak sabar untuk menghancurkan kesombongan mereka.Aku acuhkan saja, seakan aku tidak melihat Ibu mertua datang."Dasar mantu tidak beretika!" bentaknya. "Begini rupanya kamu di ajarin orang tua kamu," lanjutnya lagi dengan mencibir.Aku tetap harus sabar, sebelum semua misiku selesai. Aku tidak boleh terpancing emosi, tahan Rosa, tahan. Kusugesti diri ini, agar tidak lepas kendali. Biar Ibu mertua sakit jantung pada saatnya nanti, sekarang biarkan saja dulu ia merasa hebat dengan memakiku.'Aku tetap harus sabar, sebelum semua misiku selesai. Aku tidak boleh terpancing emosi, tahan Rosa, tahan.
Kusugesti diri ini, agar tidak lepas kendali. Biar Ibu mertua sakit jantung pada saatnya nanti, sekarang biarkan saja dulu ia merasa hebat dengan memakiku.Tanpa menyahutnya, aku berlari cepat menaiki tangga, memasuki kamarku. Kukunci langsung. Kurebahkan diri ini sejenak di atas kasur, sambil memikirkan banyak hal untuk melakukan pembalasan yang seumur hidup akan mereka sesali telah mengkhianati dan menyakiti hatiku secara sengaja.Jangan pikir karena aku bermasalah, lalu mereka se'enaknya berkhianat.Aku bangkit untuk melihat beberapa aset milikku yang tersimpan di brankas. Perhiasan aman, namun surat-surat ada beberapa yang berkurang. Inilah kebodohanku, terlalu percaya dengan Mas Jalu.Dua surat-surat tanahku yang lenyap, sialan.Sebelum semua habis, aku pun segera meraih surat-surat itu, dan akan menggantinya dengan surat-surat palsu.Aku pun menghubungi orang kepercayaan Papah untuk membuatkanku beberapa surat tanah palsu dan surat rumah palsu, untuk menjebak maling sialan yang ada di rumahku.Aku pun meminta tukang CCTV untuk datang esok hari, sebab hari ini ada Ibu Mertua yang selalu siap menggonggong.Aku kembali tercengang, melihat satu set kotak perhiasan milikku lenyap. 'Ya Allah, mas Jalu, keterlaluan kamu!'pekikku dalam hati.Setelah semua beres, membawa semua asetku ke rumah Papah dan Mamah. Namun, beberapa perhiasan limited edition yang hampir tidak pernah kugunakan, hari ini kupasang sesuai tempatnya.Kulihat diri ini di cermin, aku merasa mulai menua, bahkan baju-bajuku pun terlihat sudah sangat usang. Aku terlalu fokus mengurus mas Jalu, hidup hemat sesuai maunya dia, dan selalu di rumah. "Aku akan selalu mencintai kamu apa adanya, kamu nggak dandan aja cantik," ucapnya kala itu, namun kala itu aku terharu, terkesima. Sekarang? Aku muak! Nyatanya melihat Ratih yang sexy dan bening, mudah baginya menjadi sosok pengkhianat.Sepertinya aku telah memelihara singa ysng yang akhirnya menerkam tuannya. Mungkin itulah kata yang tepat buat seorang Ratih dan Mas Jalu.Aku kembali bernyanyi-nyanyi menuruni anak tangga, untuk bersiap ke rumah orang tuaku. Kulihat rumah sudah sepi, sepertinya Ibu telah pulang.Rumahku saja, ia miliki kunci gandanya, sesuka hatinyalah memasuki rumahku ini, seakan dialah tuan rumahnya.Kulakukan mobil ke rumah Papah dan Mamah, sambil menunggu surat-surat palsu yang aku minta, aku bersantai ria terlebih dahulu di rumah Papah dan Mamah."Nah, Ros. Ingat, restu orang tua itu penting. Itu kenapa Mamah melarang kamu bersama Jalu, melihat gelagat Ibunya saja, Mamah sudah yakin, bahwa akhirnya ia hanya akan mengacaukan kehidupan kalian. Apalagi si Jalu, laki-laki klemer-klemer begitu," ucap Mamah dengan wajah datar."Iya, Ros yang salah, maafkan, ya mah!" sesalku, sambil memegang tangan rentanya yang sudah mulai di makan usia."Tidak apa-apa sayang! Tapi lain kali, kamu nurut apapun yang papah dan mamah katakan."Aku mengangguk."Assalamu'alaikum!" ucap seseorang diambang pintu."Walaikumsallam!" sahutku serentak bersama Ibu. "Masuk, wan!" titah Ibu pada lelaki paru baya yang berada diambang pintu.Ia pun tersenyum sumringah sambil membawa kantong plastik berisi surat-surat yang aku minta.Setelah menerima surat itu, aku pun mengucapkan terima kasih dan memberikan ia upah.Aku tersenyum sumringah ketika membuka surat-surat palsu itu, sangat begitu mirip sama aslinya. βBuat apa itu? Ros." Mamah bertanya seraya mengernyitkan dahi."Mau menjebak tikus nakal, Mah." "Mamah bingung, Ros." "Udah ah, mamah kepo aja!" ujarku sambil berdiri, lalu aku menyimpan surat-surat asli milikku ke dalam brankas yang ada di dalam kamarku, saat aku masih bujangan dulu. Di rumah Mamah, aku mempunyai brankas sendiri sejak dahulu. Bahkan kamar itu pun akan selalu menjadi milikku tutur Mamah dan Papahku.Selesai menyimpan, aku berpamitan pulang, sebelum Mas Jalu pulang duluan. Ntar ribet urusannya. Setelah bersalaman, aku melajukan mobil pulang ke rumah, rumah masih begitu sepi. Aku bergegas masuk, dan menyimpan surat-surat palsu itu dalam brankas.Semua aman, sekarang aku bersiap menyiapkan makan malam buat pengkhianat.Aku sebenarnya enggan, namun ia masih sah suamiku, mau tidak mau aku harus tetap melayaninya.Selesai masak, aku mandi dan bersantai di ruang keluarga, sambil menunggu kepulangan mas Jalu.Tak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil berkali-kali dari luar rumah. Aku mendecak kesal, siapa orang yang main-main klakson sesore ini.Aku keluar rumah, di ambang pintu, terlihat mobil mas Jalu di depan pintu pagar.Apa maksudnya ini, apa ia memintaku membukakan pagar untuknya? Entahlah.Aku pun mendekat ke arah mobilnya."Mas, kenapa main klakson mobil?" tanyaku heran.Mas Jalu mendongakkan wajahnya dari kaca jendela mobil. "Buka Ros, masa gitu saja nggak paham kamu!" ucapnya dengan wajah yang nampak kesal.Ya Allah, mulai keterlaluan laki-laki ini, aku mencoba sabar. Kubuka pintu pagar, mobil itu pun meluncur masuk ke dalam pekarangan rumah. Kututup kembali pintu pagar, Mas Jalu keluar dari mobil dengan wajah datar. "Jangan pemalas dong Ros. Harusnya suami datang itu, kamu bergegaslah membukakan pagar, gitu saja nggak paham." Ia berkata dengan wajah acuh, seakan tak peduli perasaanku. Sabar, sabar. Tunggu saja kamu, mas. Pembalasanku tidak semanis madu. π Terimakasih πJangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku-nya makin semangat π"Mas, capek? Mau Ros pijitin nggak sayang?" rayuku.Mas Jalu menatapku seakan bingung, selama ini aku memang tidak pernah bersikap semanis ini, biasanya jika ia pulang aku hanya menyambutnya dengan santai. Paling tidak aku nawarin makan, itu saja."Tumben, ada maunya pasti," ucapnya sambil menarik pelan dasi bajunya.Aku mengulas senyum, lalu mendekat ke arahnya. Kupegang dasi yang sedari tadi mau ia lepas. "Sini, aku bantu!" ujarku sambil melepaskan pelan dasinya."Ayo, bilang, pasti ada mau-nya kan?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.Aku tertawa sumbang. "Ayo makan malam di luar, sudah lama banget kita tidak makan bersama, aku kangen masa-masa itu!" bisikku sambil memeluk erat tubuh yang sebentar lagi akan aku lepaskan untuk selama-lamanya."Baiklah," ujarnya. "Tetapi, mas juga ada permintaan!" katanya lagi."Apa itu? Mas.""Mas mau mandi dulu!" bisiknya. Aku terkekeh mendengar pe
Kenapa Mamah kamu?" tanya Mas Jalu."Mamah mau pinjam uang tiga puluh juta, Mas.""Tumben, bukannya Mamah dan Papah selama ini tidak kekurangan uang?" tanya Mas Kali dengan wajah bingung."Katanya ia kena tipu, ratusan juta, Mamah takut papah tahu, makanya mau pinjam uang. Biar nutupin sisanya," ujarku. "Tetapi, dompet Ros sepertinya tertinggal di rumah, pinjam uang mas dulu, ya!" lanjutku."Yasudah, nanti kita ke ATM berdua!" ucapnya dengan santai. "Sekarang kita pesan makan dulu, kasihan Ratih, mana tahu udah lapar!" katanya lagi."Aku saja yang ke ATM sendiri, mas temani Ratih, Mamah soalnya perlu cepat." Aku mencoba membujuk. Mas Jalu nampak ragu, namun akhirnya ia pun mau memberikan ATM itu."Nanti kode-nya Mas kirim lewat pesan!" ucapnya. Aku mengangguk seraya beranjak dari duduk, dan meraih kartu ATM yang Mas Jalu sodorkan.Aku tersenyum bahagia, untung saja Mas Jalu selama ini tidak pernah membuat internet banking, jadi
"Ros, kamu ngapain?" tanya Mamah sambil mengetuk pintu kamarku, saat aku tengah bersantai sambil menyeruput kopi cappucino di depan layar laptop.Aku beranjak dari duduk, berjalan menuju pintu kamar. Kubuka perlahan pintu, "Ros lagi santai, kenapa Mah?" tanyaku sambil mendongakkan wajah."Temani Mamah ngeMall yuk! Lama kan kita nggak shopping bareng!" ujar Mamah sambil tersenyum."Oke! Ros ganti pakaian dulu!" jawabku."Jangan lama sayang! Mamah tunggu di ruang tamu!" ucapnya sambil berjalan menuju anak tangga.Aku mengangguk, lalu menutup pintu. Kumatikan Laptop, dan bergegas memilih pakaian terbaikku.Tak lupa, kupoleskan wajah ini dengan make up natural. Sudah sangat lama rasanya, aku tidak berdandan seperti ini.Aku dan Mamah pun meluncur menuju pusat perbelanjaan terbesar.Sesampainya di parkiran. "Kita mau kemana dulu? Mah." Aku bertanya dengan bingung, sebab sudah lama sekali, aku tidak pernah shoppin
"Mah, coba lihat tuh!" tunjukku ke arah Ibu mertua yang nampak ribut-ribut dengan seseorang.Ayo kita kesitu, Mamah penasaran!" ujar Mamah berjalan cepat.Aku dan Mamah pun duduk tak jauh dari Ibu mertua dan seseorang wanita paru baya yang kalau di lihat dari penampilannya. Ia bukanlah orang biasa, gayanya seperti istri-istri pejabat gitu."Ibu mertua kamu, ribut ko di cafe rame begini," bisik Mamah kepadaku. "Emang nggak tahu malu gitu ya? Karakternya.""Entahlah, kita fokus dengerin aja, Mah!" ucapku, dengan menajamkan pendengaran."Saya nggak mau tahu, ya. Kamu harus secepatnya balikin uang saya! Atau kamu akan saya laporkan ke Polisi," ancam wanita yang bersama Ibu Mertua."Heh, Jeng Tiara, surat-surat tanah saya itu semua asli. Dan ini, bukan pertama kalinya saya jual beli tanah. Selama ini, tidak ada pelanggan saya yang mengatakan surat tanah saya palsu."Wanita yang Ibu mertua pangg
Dering telepon masuk menghentikan obrolan kami bertiga sesaat. Aku meraih gawai milikku, yang berada di dalam tas. Terpampang jelas nama Mas Jalu, sedang memanggil.Aku pun meminta Mamah dan Gunawan untuk diam sesaat, dan meloudspeaker panggilan dari Mas Jalu.[Hallo, Mas! Ada apa?] tanyaku so' polos.[Ros, kamu bantuin, Mas! Mas kena masalah di kantor Papah, ada yang fitnah Mas, menggelapkan uang perusahaan!] rengeknya.[Lho, ko bisa? Emang mereka nuduh apa sudah ada buktinya?] tanyaku pura-pura kaget.[Ada sih, Ros. Mas juga nggak tahu, tiba-tiba ada bukti transferan uang masuk dalam jumlah besar, dan tiga kali dalam sebulan!][Wow, luar biasa! Uangnya masih ada di rekening kamu? Mas.][Belum cek, keburu di sita audit, semua kartu ATM, di bekukan Papah!][Terus, bagaimana dong? Mas.][Tadi ibu juga nanya, ternyata kartu kredit Ibu dan lainnya, juga di bekukan
Sesampainya aku dan Mamah di rumah, aku kembali masuk ke dalam kamar, untuk melihat CCTV yang sudah terpasang sedari kemarin di rumahku sana.Aku sengaja memantau dari rumah Mamah, agar Mas Jalu merasa leluasa untuk melakukan apapun di rumah.Dugaanku seratus persen benar, semua tidak pernah meleset sama sekali, Ibu Mertua benar-benar lancang. Berani masuk kamarku, serta membobol brankas milikku. Aku yakin, ia tahu kode brankas itu pun dari Mas Jalu, Ibu dan anak sama saja, suka nyari untung.Ibu terlihat rakus sekali, ia bahkan mengambil beberapa perhiasan yang sudah kuganti dengan yang palsu. Ha ha ha ..., ah, seru rasanya ngerjain manusia serakah.Aku kembali memutar rekaman CCTV yang menunjukkan pukul enam malam hingga pagi.Yah, terlihat Mas Jalu pulang seorang diri, kupikir Ratih akan ikut bersamanya.Saat aku hendak menghentikan aktivitas menonton rekaman CCTV hari kemarin, aku tersentak. Ratih datang tepat di jam dua bela
'Ayo Rosa, bangkit dan hadapi pada bedebah itu dengan cantik. Buat mereka menyesal seumur hidup, telah menyia-nyiakan ketulusan kamu.' batinku mencoba memberi semangat, meskipun konsekuensinya, aku akan hancur dan terluka. Biar bagaimanapun juga, perasaan ini masih tertaut pada Mas Jalu. Namun luka dan logika, memaksaku untuk sadar, bahwa Mas Jalu dan keluarganya, bukanlah orang yang tepat untuk aku kasihi.Sore hari, aku tengah asik bersantai di taman depan rumah. Terlihat sebuah mobil mewah BMW i8 memasuki halaman rumah, aku mengerutkan kening menatap si empu mobil."Gunawan!" lirihku, ia memarkirkan mobilnya tepat di dekat taman, dan keluar dari mobil sembari menebar senyum sumringah. Ntah kenapa, Gunawan semakin terlihat tampan rupawan, bahkan kini ia terlihat lebih rapi dari sebelumnya.Yah, mungkin efek dari pekerjaannya, yang menuntut ia harus tampil rapi."Hai, ngapain di sini?" tanyanya sambil mengambil posisi duduk di sebelahku.
"Ratih, terimakasih ya! Sudah mau menolong Ibu Mertua." Aku mengucap sambil tersenyum kepada Ratih."Nggak masalah, kita sesama manusia memang harus tolong menolong!" jawab Ratih merendah."Iya, benar sekali. Yang penting masih dalam jalan kebaikan, nggak tolong menolong dalam maksiat," sindirku seraya tersenyum.Membuat Ratih terlihat menjadi kaku dan salah tingkah.Mas Jalu pun sama, mereka berdua seakan membeku menghadapiku."Ros, kamu kok sering nginap ke rumah orang tua kamu sih? Ntar laki kamu mencari kehangatan lain loh!" ujar Ratih sambil terkekeh.Aku pun sama, ikut terkekeh mendengar penuturannya. "Nggak apa-apa, jika wanitanya mau memberi kehangatan. Hitung-hitung mainan buat mas Jalu, di saat aku tidak ada.""Mainan?" Ratih membelalakan matanya mendengar sahutanku.Aku tertawa sumbang. "Apa coba kalau bukan mainan? Mana ada cinta yang utuh untuk dua insan, tetap cinta cuma satu. Satun