Share

3. Datang Di Tempat Yang Salah

“Iya, kamu mau?” tanya balik Bu Niken pada Nia.

“Ehm ...!” gumam Nia, belum memberikan jawaban.

“Kebetulan yang nyari ini sedang butuh banget. Kerjanya gak berat koq. Cuman bersihkan rumah, masak nyuci dan jam kerjanya juga tidak seharian full. Pagi masuk nyuci dan bersih-bersih sampai siang saja,” terang Bu Niken. “Kalau kamu mau, saya bisa infokan sama customernya karena beliau ini sudah lama sekali nyari cuman saya belum menemukan orangnya.”

Nia terlihat agak ragu untuk menerimanya, tapi mengingat batas dia hanya sampai 3 bulan saja akhirnya dia menyetujuinya. “Oke deh, Bu. Saya akan coba.”

Setelah kesepakatan itu, Nia diminta untuk menandatangani surat perjanjiannya. Sebagai rasa tanggung jawab, Nia akan dikenakan denda apabila membatalkan kerjasamanya atau mengundurkan diri.

“Aneh, orang mau kerja dapat uang, ini disuruh bayar denda” gerutu Nia sepanjang jalan menuju perkiran.

Akhirnya, Nia sudah sampai diparkiran. Gadis dengan tubuh tinggi sempai itu dengan cepat mulai duduk di motornya seraya melirik jam tangan di pergelangan tangannya. “Ah, sudah siang ya, aku harus ke kampus ini,” gumamnya setelah berhasil menstater motornya. Kemudian melajukan motor matic tersebut meninggalkan parkirkan biro jasa tersebut.

Nia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar sampai lebih cepat ke kampus. Tepat 20 menit gadis itu sudah berada diparkiran kampus.

“Nia ...!”

Nia menoleh pada sumber suara dan mendapati Tina yang barusan berlari dengan mulut berteriak memanggil namanya. “Apaan?” tanyanya pada Tina.

“Gak cuman nanya aja, gimana melamarnya?”

“Eh, kamu tahu baru melamar aku langsung diterima kerja,” ungkap Nia riang dengan mata yang berbinar karena masalah uang kuliah bisa terselesaikan karena dia diterima kerja.

“Hah ... alhamdulillah, deh! Btw, jadi kerja apaan?” tanya Tina antusias bahagia karena melihat sahabatnya itu juga memancarkan kebahagiaan.

“Jadi ... pembantu.” Nia menaikan turunkan alisnya lalu tersenyum.

“Apa! Pembantu?” Mulut Tina mengangga tidak percaya.

***

“Jadi rencana untuk ketemu Rektor batal nih?” tanya Tina pada Nia yang sedang membereskan buku-buku yang dia pakai kuliah tadi. “Kan kamu sudah diterima kerja.”

Perkuliahan sudah selesai 15 menit yang lalu tapi sengaja Nia terakhir meninggalkan kelas karena tadi ada CV yang kurang makanya dia sekarang melengkapinya.

“Jadi dong ... kalau ternyata Rektornya kasih kebijakan sama aku, kan lumayan buat nambah uang jajan,” jawab Nia dengan tersenyum. Berharap sang Rektor berbaik hati dan memberikannya pengecualian padanya. Tanpa dia tahu setelah bertemu nanti, pasti dia akan menyesali perbuatan telah masuk ke dalam ruangan sang Rektor.

“Oke, yuk. Aku anterin sampai depan ruangan saja ya, kamu masuk sendiri.” Tina mengandengan sahabatnya itu menuju ruangan sang Rektor.

Kedua gadis itu melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruangan sang Rektor. Ruangan yang berada di pojokkan, dan merupakan ruangan satu-satunya di area itu. Makanya kalau berjalan di sini pasti orang bisa menebak kalau mau menuju ruangan petinggi no 1 di universitas tersebut.

Keduanya sudah berada di depan ruangan tersebut. Tanpa beban Nia akan masuk. “Jangan lupa baca doa sebelum masuk dan sampaikan semua keluhan kamu kalau bisa dimelas-melasin aja biar beliau iba akhirnya membatalkan keputusannya itu.” Nasehat Tina sembari mencekal tangan Nia agar fokus pada ucapannya.

“Oke ...!” sahut Nia percaya diri seraya membentuk kedua jarinya menjadi huruf O.

Dengan perasaan gugup, Nia mengetuk pintu tersebut dan tidak lama terdengar balasan dari dalam menyuruhnya masuk. Sebelum masuk Nia sempat tersenyum pada sahabatnya yang menunggu di depan pintu tersebut.

“Permisi, Pak,” sapa Nia. Lalu melangkahkan kakinya menuju meja sang Rektor.

“Iya, jawab sang Rektor dengan posisi membelakangi Nia karena sedang mencari file yang berada di bawah kursinya.

Nia sempat menunggu beberapa detik tapi posisi sang Rektor yang tidak mengindahkannya membuatnya sedikit kesal. “Uh, gak sopan banget sih masa aku dikacangin gini,” batin Nia tapi dia masih bersikap sopan dan hormat.

Namun sebuah suara mengagetkannya, “Ada apa? Maaf, saya sambil nyari file ya?” beritahu sang Rektor dengan lugas.

Nia terperangah. “Ih, suaranya lembut banget pasti orangnya ganteng banget,” batin Nia, tidak masih penasaran dengan wajah sang Rektor karena dari tadi belum mengubah posisinya.

“Apa masih di situ?” suara sang Rektor sedikit lebih tinggi.

Nia tersentak dengan ucapan itu. “Sa-saya ... mau ... minta kebijakan tentang ... beasiswa saya, Pak,” ujar Nia dengan ragu dan terbata-bata.

“Memang kenapa dengan beasiswa kamu?” tanya Rektor seraya memutar kursi menghadap Nia.

Mata Nia membelalak dengan mulut yang mengangga, seolah tidak percaya dengan makhluk Tuhan yang ada di hadapannya sekarang ini.

“Kamu ...!” refleks dia menunjuk dengan jari telunjuk di hadapan sang Rektor.

Tak beda jauh dengan Bara, yang terperangah dengan gadis yang pernah menumpahkan minuman di kepalanya. Pria itu tidak mungkin lupa ingatan kalau harus mengingat kejadian kemarin. Namun dia berusaha menyembunyikannya dan bersikap seolah tidak pernah mengenalinya.

Barayudha Al Ghifari, seorang pria yang berhasil menjadi Rektor diusianya yang menginjak diangka 30 tahun. Tentunya bukan hal yang mudah hingga dia sampai di titik tersebut. Kepintarannya sudah tidak bisa diragukan lagi , sebelum menjadi Rektor  dia juga menjadi seorang Dosen.

Dengan santai Bara menyentuh jari itu dan menurunkannya hingga membentur meja seraya berucap, “Apa kamu tidak punya sopan santun, apa kita sedekat itu hingga kamu berani bersikap seperti itu, hah? Saya Rektor di sini, bersikaplah hormat sama saya?” ucapnya dingin disertai seringainya.

“Aduh, mampus aku kalaubeneran dia Rektor yang baru itu,” batin Nia masih menatap pada sang Rektor.

“Oh, maaf Bapak Rektor yang terhormat, mungkin saya salah mengenali seseorang karena kemarin saya bertemu dengan orang yang mirip dengan Bapak tapi ...!” sindir Nia dengan wajah polosnya, tidak ada ketakutan sedikitpun pada sang Rektor. Bahkan dia melupakan tujuannya, harusnya dia bisa bersikap mengambil hatinya agar keinginannya disetujui. Tapi ini yang terjadi malah dia menebarkan permusuhan.

“Tapi?” tanyanya, mengerutkan keningnya.

“Ah, gak penting juga,” balas Nia dengan mengibaskan tangannya seolah hal itu tidak berhubungan dengan pria itu padahal jelas-jelas kemarin itu ulah pria ini.

Bara memundurkan punggungnya untuk bersandar pada kursinya serta melipat kedua tangan di depan dada. Seringai tipis terpancar dari wajahnya yang tampan. “Kamu tadi bilang apa? Beasiswa?” tanya Bara menyambung ucapan Nia di awal tadi.

“Iya, saya minta sama Bapak agar membatalkan penghapusan beasiswa saya.” Nia mengatakan dengan percaya diri seolah Rektor itu akan mengabulkan keinginannya.

“Tidak bisa, itu sudah jadi keputusan saya dan harus dipatuhi!” tolak Bara dengan penekanan di akhir kalimatnya. “Memangnya kamu siapa berani menyuruh saya, hah.”

Tampak kedua tangan Nia, di bawah sana terkepal dengan erat. Dadanya bergemuruh namun dia tahan gejolak amarahnya. Kalau saja posisinya tidak di dalam ruangan Rektor dia bisa meluapkan emosinya.

Mungkin keputusannya datang di tempat ini salah, dan secepatnya dia harus segera pergi dari sini. Percuma saja dia tidak akan mendapatkan keinginannya.

“Oke, silahkan lakukan sesuai keinginan Bapak. Semoga Bapak bahagia,” ucap Nia sebelum dia balik badan untuk pergi.

“Hey, kamu nyindir saya?” teriak Bara sebelum melihat Nia menutup pintu.

Nia kembali berhenti dan memutar badannya, “Buat apa, atau kalau Bapak memang menyadarinya seperti itu.” Nia tersenyum tipis sebelum benar-benar menutup ruangan tersebut.

“Gimana, disetujui sama Rektor?”

Nia tidak menjawab pertanyaan Tina karena dia berjalan menjauh dari ruangan tersebut. Tina membuntuti sahabatnya itu, berpikir pasti ada hal buruk terlihat dari wajah Nia yang tertekuk itu.

Baru sampai di tempat yang biasa mereka kunjungi Nia mulai bersuara. “Kamu tahu, Rektor itu adalah orang yang sama saat kita makan mie ayam kemarin.”

Tina masih belum bereaksi. Gadis itu binggung yang dimaksud oleh Nia, tapi mengingat wajahnya yang tidak bahagia itu mendadak ingatannya tentang seorang pria yang membuat sahabatnya itu kesal.

“Jangan bilang kalau Rektor itu adalah pria yang kamu guyur pakai minuman kemarin?”

Nia menoleh pada Tina seraya mengangguk dengan mencembikkan bibirnya. Tina spontan menutup mulutnya karena kaget.

“Tin, dia tidak bisa ngasih aku kebijakan dan itu artinya aku harus kerja jadi pembantu,” ujar Nia sembari memeluk Tina.

“Lha, tadi sepertinya bahagia banget bisa dapat kerja, kenapa sekarang jadi sedih begini?” sahut Tina yang masih membalas pelukan Nia.

“Sebenarnya aku hanya ingin membahagiakan hatiku yang bersedih, Tina!”

Tina terbengong dengan pengakuan sahabatnya cantiknya itu.

“Masak gadis cantik kayak aku gini jadi pembantu! Argh ....” setelah mengatakan itu Nia berteriak dengan kencang hingga membuat Tina menutup kedua telingannya.

Bersambung......

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status