Share

4.Three In One

Nia terbangun karena suara jam weker di kamarnya. Mencari keberadaan benda yang membuatnya terbagun kemudian mematikannya. Kembali ke posisinya tadi, dia pejamkan matanya kembali.

30 menit kemudian, Nia membuka matanya. Merasa tidurnya sudah lebih dari cukup, Nia akan terbangun dengan sendirinya. “Aneh, kenapa alarm nya gak bunyi ya?” gumamnya sambil melirik ke samping tempat tidurnya, ada meja kecil dan di situ ada jam wekernya. Tangannya terulur untuk mengambilnya, memastikan jam berapa sekarang.

“Hua ....” Nia terlonjak kaget melihat sudah pagi sedangkan dia belum sholat Subuh. Dengan cepat dia menuju kamar mandi yang berada di kamarnya ini untuk melaksanakan sholatnya yang terlambat itu.

Selesai menyelesaikan sholatnya Nia melipat mukenanya itu dan kebiasaannya melanjutnya berbaringnya untuk menunggu jam perkuliahannya.

Mendadak dia teringat sesuatu, harusnya pagi ini dia mulai bekerja. “Ah, semua ini gara-gara Rektor itu. Aku jadi pontang-panting seperti ini, coba kalau beasiswa itu masih ada pasti aku masih bisa menikmati pagi ini dengan rebahan cantik dulu,” gerutu Nia yang tidak tahu panjangnya sudah seperti jalan tol saja.

***

“Apa ini ya rumahnya?” gumam Nia sambil berhenti sebentar, mengecek alamat di ponselnya seraya mencocokan dengan rumah di depannya. Setelah memastikan lagi kalau sudah benar, Nia mulai mencari keberadaan belnya.

Beberapa menit kemudian keluar seorang wanita lanjut usia. Nia binggung apa ini pemilik rumahnya, tapi melihat secara keseluruhannya sepertinya wanita itu dari kampung. Mungkin juga sampai dengan dirinya.

“Permisi, Bu. Apa benar ini rumah Bapak Al Ghifari, ya?” tanya Nia sopan.

“Iya, benar. Mbak nya dari mana?” tanya Ibu tersebut.

“Saya Ghania Athari, dari biro jasa yang akan menjadi pembantu di rumah ini,” sahut Nia setelah mendapat pertanyaan itu.

“Oh, Mbaknya ya! Silahkan masuk, tadi Tuan Muda sudah pesan sama saya kalau pembantunya datang suruh langsung masuk saja,” balasnya kemudian dengan tangannya yang membuka pagar.

Nia ikut masuk membuntuti di belakang sang wanita tersebut, masuk dari pintu samping pada bagian rumah mewah tersebut. Sehingga membuat Nia berpikir, kalau dirinya tidak pantas masuk dari pintu bagian depan.

Saat di perjalanan, Nia sengaja bertanya pada Ibu tersebut sekedar untuk menjalin hubungan baik saja meski dia tidak tahu apa hubungan wanita tersebut dengan pemilik rumah.

“Maaf, dengan Ibu siapa ya?” tanya Nia ragu-ragu.

Sang wanita tersebut membalik badannya serta tersenyum ramah.”Panggil saja Mbok Ijah,” jawabnya sebelum melanjutkan langkahnya ke dalam lagi.

Ternyata Mbok Ijah membawa Nia menuju meja makan yang lumayan besar.

“Mbok, harus panggil siapa?” tanyanya kemudian.

“Ah, panggil Nia saja.”

“Kamu duduk dulu ya, sebentar Mbok tinggal dulu,” ucapnya meski Nia belum memberi jawaban.

“Ini kenapa rumah ini sepi sekali ya, memang gak ada orangnya apa?” gumam Nia sambil mengedarkan pandangan ke segala arah. “Tapi lumayan besar juga. Kalau aku membersihkan pasti lumayan capek juga ya! Ah, tapi tidak masalah. Ini demi untuk bisa bayar kuliah, supaya aku segera bisa lulus dan membuat bangga Ayah dan Bunda. Semangat Nia,” ucapnya menghibur diri, mengepalkan tangan kanan sambil mensejajarkan dengan wajahnya.

“Maaf, lama ya?” Mbok Ijah tiba-tiba sudah ada di hadapan Nia. Lalu menyodorkan kertas pada Nia.

Nia bengong tapi meski begitu dia menerimanya sambil bertanya, “Ini apa, Mbok?”

“Itu, semua tugas-tugas kamu di rumah ini. Kamu bisa membacanya nanti kalau sudah menyelesaikan semua pekerjaannya,” jawab Mbok Ijah singkat.

“Lho, ini apa beda sama yang saya tanda tangani di biro jasa ya?”

“Mbok tidak tahu, tapi kalau di rumah ini. Aturan itu yang dipakai!”

Nia membaca sekilas, di tugas paling atas sama dengan yang di infokan pada biro jasa sehingga Nia berpikir kalau pasti yang kebawah juga akan sama. “Sepertinya sama, Mbok,” beritahu Nia tanpa membaca detailnya.

“Syukur kalau sama,” sahut Mbok Ijah.

Mbok Ijah menerangkan detail pekerjaan yang harus dilakukan oleh Nia. Di sampingnya Nia mengangguk-anggukan kepalanya saat Mbok dengan serius mencontohkan juga. Hampir sepuluh menit Mbok selesai menerangkan pada Nia dan sekarang Nia harus menyelesaikan semuanya.

“Pertama, kamu harus membersihkan semua ruangan ini. Menyapu dan mengepel karena Tuan Muda tidak suka saat melihat ruangan ini masih kotor.”

“Baik, Mbok. Kalau untuk menyapu sama mengepel sih aku bisa cepet koq.”

Nia mulai mengambil sapu dengan cepat dia sudah menyelesaikannya setelah itu dia mengambil air untuk mengepelnya. Setengah jam sudah Nia melakukan pekerjaan itu. “Ternyata berat juga ya, tugas pembantu,” gumamnya sambil napasnya yang terengah-engah karena capek.

Nia mengambil duduk di lantai kemudian mengibas-ngibaskan tangannya agar mendapatkan angin. Meski rumah ini sangat besar ternyata membuat gerah juga kalau pekerjaannya membutuhkan tenaga banyak seperti ini.

Sedang enak menikmati waktu istirahat, tiba-tiba Mbok Ijah datang. “Mbak, koq malah duduk-duduk nanti kalau Tuan Muda lihat saya bisa kena omel dikiranya Mbok gak ngajarin,” sindir Mbok Ijah yang sedikit kesal.

“Mbok, orang aku cuman duduk sebentar doang. Ya aku belum terbiasa kerja berat seperti ini, kalau di kampung malah aku cuman disuruh duduk-duduk saja saja karena kedua orang tuaku gak mau anaknya capek. Di kota ini saja aku terpaksa malah kerja seperti ini demi untuk bayar kuliah. Gara-gara Rektor tua itu. Tapi kenapa kata orang-orang dia cakep ya, dilihat darimana coba.”

“Sudah-sudah, Mbak Nia koq malah curhat sama Mbok. Mending nanti saja curhatnya sekarang kerja dulu sebelum Tuan Muda turun dan rumahnya belum bersih.” Mbok Ijah memperingati Nia.

“Ah, aku jadi penasaran gimana sih orangnya Tuan Muda,” tanya Nia penasaran. “Pasti orangnya jelek, gendut, perutnya buncit dan sukanya marah-marah ya?”

“Hush ... kalau ngomong hati-hati nanti kamu bisa kena omel. Mau?”

“Ya enggaklah, Mbok. Ya sudah aku lanjutin deh. Semangat Nia demi uang kuliah, demi keinginan Ayah dan Bunda.” Nia akhirnya berdiri dan meneruskan pekerjaannya.

Tanpa Nia tahu kalau seorang Tuan Muda yang dimaksud oleh Mbok Ijah sedang memperhatikannya dari lantai atas. Pria yang masih menggunakan piyama tidurnya itu tidak sengaja mendengar suara berisik di lantai bawah. Rumah yang biasanya sepi mendadak menjadi berisik dan itu mengundang rasa penasarannya. Kebiasaan Tuan Muda kalau turun dari kamarnya selalu berpenampilan rapi sedangkan dia belum membersihkan dirinya makanya dia hanya mengintip dari lantai atas yang langsung bisa melihat lantai bawah.

Pria itu tersenyum menyadari pembantu barunya itu adalah mahasiswi kemarin yang mendatanginya karena beasiswanya dihapus. Tapi bukan itu fokus Bara saat ini karena lebih dari itu, mahasiswinya itu adalah orang yang sama yang menumpahkan minuman di kepalanya. Sejak saat ini dia sudah berjanji akan membuat perhitungan pada gadis itu. Rupanya keberuntungan sedang berpihak padanya karena dia tidak perlu jauh-jauh mencari karena gadis itu yang datang sendiri ke rumahnya.

Senyum kemenangan tersungging di wajahnya yang tampan, seenggaknya itu kata orang-orang yang melihatnya.

“Oke, pembantuku. Perjalanan kamu dimulai dari sini. Aku akan tunjukkan bahwa posisimu di sini adalah seorang pembantu dan aku majikan yang bebas menyuruh-nyuruhmu.” Setelahnya dia beranjak pergi, masuk ke dalam kamarnya kembali.

Selesai mengerjakan menyapu dan mengepel. Nia dibawa ke dapur oleh Mbok Ijah. Di sana dia dijelaskan tentang memasak. Dia tidak perlu repot memikirkan menu apa yang harus dimasak karena sudah ada menunya, dia tinggal mengolah bahan saja untuk menjadikan masakan. Biasanya malam hari harus menginformasikan pada Tuan Muda, menunya untuk besok. Kalau misalnya tidak cocok Tuan Muda akan merevisinya.  

“Lha, Mbok aku bilangnya sama Tuan Muda bagaimana?” tanya Nia masih binggung kan dia tidak punya kontaknya.

“Kamu bisa pakai telepon itu atau langsung ke ponselnya Tuan Muda,” jelas Mbok dengan menunjuk telepon yang berada di meja ruang tamu. “Tapi sementara ini,  Mbok saja dulu karena Mbok harus tanya apa boleh kasih no ponselnya sama kamu.”

“Oke, deh!” jawab Nia santai padahal sebentar lagi dia akan masuk ke dalam permainan Rektornya sendiri, pria yang dibencinya.

Tiga puluh menit sudah Nia berada di dapur itu dan sekarang sudah selesai memasaknya. Tentunya sangat cepat karena masih dibantu oleh Mbok.

“Sekarang kamu siapkan di meja makan ya, sebentar lagi Tuan Muda pasti turun untuk sarapan,” ucap Mbok Ijah.

“Oke, Mbok.”

Nia membawa menu masakan itu ke meja makan, menatanya bersama piring, sendok dan garpu. “Ah, minumnya,” gumamnya kemudian mengambil gelas dan menuangi dengan air putih.

“Perfect,” serunya seraya mengibas-ngibaskan telapak tangan seakan puas dengan pekerjaannya itu.

“Gimana, sudah selesai?” tanya Mbok Ijah sambil melihat pekerjaan Nia yang menata makanan di meja makan. Senyum puas langsung tersungging di wajah Mbok Ijah sambil memberikan jari jempolnya.

“Trus, selanjutnya harus ngapain aku, Mbok?”

“Tunggu, Tuan Muda turun trus makan. Setelah itu piringnya kamu bersihkan.”

“Gitu aja, yang lain?” Nia masih belum yakin sama penjelasan Mbok Ijah.

“Iya, yang lain nanti kamu bisa baca-baca yang Mbok kasih ya,” terang Mbok kemudian.

Benar saja, sekitar 15 menit terdengar derap langkah kaki yang besar-besar. Nia yang berdiri di sebelah Mbok, menunduk karena merasa takut. Sebisa mungkin dia akan memberikan sikap yang baik agar majikannya itu tidak marah karena sesuai informasi dari Mbok kalau Tuan Mudanya ini suka marah kalau ada pekerjaan yang tidak sesuai makanya dia sudah merasa takut duluan.

“Pagi, Mbok!” sapanya ketika sudah sampai di meja makan.

Nia merasa mengenali suara itu tapi tidak yakin apa benar dugaannya. Saat keberaniannya muncul, dia mendongakkan kepalanya dan secara tidak sengaja kedua mata saling bertatapan. Sementara Mbok Ijah menjawab sapaan itu. “Pagi, Tuan Muda!”

Nia membeku di tempat merasa tubuhnya tidak bisa digerakkan. Ujian apalagi ini, ternyata pria yang dia tumpahi minuman, Rektor di kampusnya dan majikannya adalah orang yang sama.

“Damn it,” umpatnya dalam hati.

Bersambung..

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status