Matanya mengerjap-ngerjap, hampir tiga jam pemuda itu tidak sadarkan diri. Rembulan tampak mengulurkan sinar kekuningannya dari celah-celah daun beringin. Hewan malam bernyanyi, terdengar menggema ke segala arah.
“Uhuk... uhuk...” Pemuda itu terbatuk.
Dia teringat bahwa beberapa waktu lalu ada yang menyerangnya. Anak panah. Pemuda itu ingat bahwa anak panah terakhir tepat mengenai perutnya. Tangannya meraba-raba perut yang terkena anak panah. Aneh, tidak ada bekas luka. Namun, rasa nyeri masih sedikit terasa.
“Akhirnya kau bangun juga, Anak muda!” Terdengar suara berat dari pohon beringin besar itu. Sosoknya keluar beberapa saat selanjutnya. “Kau sudah terlalu lama mengotori tempat suciku.”
Mata pemuda itu menyelidik. Siapa gerangan pemilik suara berat itu?
“Siapa namamu? Dan apa tujuan burukmu?” orang itu kembali berkata. Suaranya berat dan dalam.
“Setinggi apa derajatmu sehingga kau berani bertanya nama dan tujuanku?” tanya pemuda itu. Matanya menyelidik, berusaha bangun dari posisi terbaring.
“Hahaha! Aku harus mengakui bahwa kau mempunyai bekal mental yang cukup, Anak muda! Tidak ada salahnya kita berkenalan!” kata suara berat itu.
“Tapi sayangnya diriku terlalu murahan jika hanya mengenalmu. Manusia tidak jelas asal-usulnya,” sahut pemuda itu.
Sosok dengan suara berat itu sedikit tersinggung. Matanya memelototi pemuda itu beberapa saat, lalu berkata, “Apakah kau tidak ingat siapa yang membuatmu tersungkur dan tidak sadarkan diri?”
Demi mendengar itu, sang pemuda diam beberapa saat, mempertimbangkan situasi. “Ah, itu karena kamu pengecut. Aku tidak membawa senjata apa pun, dan kau membawa busur panah, ditambah dengan aku tidak tahu di mana posisimu.”
“Perkataan seperti itu adalah alasan untuk manusia-manusia yang lemah, menyalahkan lawan. Cobalah berpikir apakah kau akan selalu mengatakan bahwa lawanmu pengecut ketika kau tidak mengetahui di mana ia berada?” kata sosok itu. Kakinya berjalan ringan, berputar-putar tidak jauh dari pohon beringin.
Sepi. Pemuda itu terdiam. Sesekali angin malam menyapu tubuh mereka, sekalian pepohonan di sekitarnya. Rembulan timbul tenggelam di balik awan-awan hitam tipis. Udara dingin.
“Baiklah, rasanya tidak buruk juga berkenalan denganmu. Namaku Danu. Siapa kau?” kata pemuda itu.
Beberapa saat lengang, sosok itu tidak langsung menjawab. Dia mendekati pemuda yang menamakan diri dengan Danu. Danu waspada.
“Aku Rangkasa.” Suara berat dan dalam itu memperkenalkan diri. “Namamu tidak terlalu buruk, Danu! Sepadan dengan keberanian yang kamu miliki.”
“Apa maksudmu?” tanya Danu.
“Ah, aku tidak bermaksud apa-apa. Tapi, sepertinya kau lupa dengan pertanyaanku yang satu lagi!” kata Rangkasa.
“Oh, benarkah? Apakah aku harus mengatakan tujuanku pula kepada manusia yang baru saja aku kenal, yang hampir saja membunuhku?” Danu berdiri. Tubuhnya telah kembali tegap. Rasa sakit pada perutnya telah hilang.
“Baiklah, sepertinya kau terlalu keras kepala, Danu. Baiklah! Baiklah! Aku tidak akan bertanya apa tujuanmu. Sekarang, pergilah dari tempatku ini!” kata Rangkasa dengan penuh penekanan pada kalimat-kalimat terakhirnya.
Mata Danu memelototi Rangkasa. “Apakah kali ini aku tidak bisa meminta kemurahan hatimu?” kata Danu. Dia berjalan mendekati Rangkasa yang tengah berdiri tegap.
Rangkasa tertawa keras-keras. Suaranya dalam dan berat. Malam sunyi dan tebing yang begitu tingginya membuat suara Rangkasa menggema. “Aku kira kau tidak bisa memohon kepada manusia lain, Danu!” katanya mencibir.
Dalam hati Danu menyumpahi Rangkasa dengan berbagai sumpah. Namun untuk yang satu ini, dia harus merendahkan diri di hadapan Rangkasa. Jika dia memaksa untuk melanjutkan pendakian pun hasilnya akan sia-sia, bahkan lebih mengarah pada bunuh diri.
“Untuk yang satu ini aku harus memohon dengan hormat sebuah kemurahan hati dari Rangkasa.” Danu memperbaiki cara bicaranya, lebih sopan dan lebih halus.
“Tidak semudah itu, Anak muda!” sahut Rangkasa. “TERIMA INI!” teriak Rangkasa. Tubuhnya terangkat dua meter dari tanah.
Danu kaget. Matanya terbelalak. Apa yang akan Rangkasa lakukan? Itu adalah pertanyaan Danu sekarang.
Tubuh Rangkasa kembali memijak tanah. Sebuah kuda-kuda yang kokoh dan sulit untuk dirobohkan. Sesaat kemudian Rangkasa menarik nafas dalam-dalam. Tangannya mengepal, kaki tanpa alas itu mencengkeram tanah, bergerak memutar sedikit ke depan. Debu mengepul, remang-remang disinari oleh cahaya rembulan. “Bersiaplah!” Suara itu bertambah berat dan dalam.
Setelah Danu mengerti apa yang akan terjadi, dia mulai memasang kuda-kuda. Tapi belum genap kakinya mencengkeram tanah, Rangkasa telah mengirimkan serangan pertama. Tubuhnya terbang satu meter dari tanah. Tangan kanannya mengepal, menyasar dada Danu.
Tangan Danu susah payah menepisnya, tapi berhasil. Serangan pertama Rangkasa berhasil Danu belokkan.
Danu sekarang lebih siap dengan serangan. Dia memilih untuk menunggu, memasang kuda-kuda sekuat mungkin. Beberapa saat serangan selanjutnya datang.
Tanpa banyak bicara, Rangkasa menghentakkan kakinya ke tanah, memutar-mutarnya. Debu mengepul di sinari remang-remang cahaya kekuningan rembulan. Tangannya mengepal. Beberapa saat berikutnya tubuhnya terangkat, kepalan tangannya menyasar dada Danu. Dengan mudah Danu menepisnya.
“Seharusnya dari awal aku menyadari kekuatanmu, Anak muda! Kau berhasil mendaki tebing Gunung Tiga Maut sampai sejauh ini.” Rangkasa berkata dengan suara beratnya. “Tapi tidak ada salahnya kita bermain-main. BERSIAPLAH!” teriak Rangkasa dengan suara beratnya.
Pertarungan jarak dekat tidak dapat dihindari. Danu meladeni Rangkasa dengan tepisan-tepisan. Dia memilih untuk mengamati cara bertarung lawannya terlebih dahulu. Menyusun rencana terbaik untuk melakukan serangan.
Tangan kanan Rangkasa memukul dari samping, Danu menepisnya dengan baik. Sekarang tangan kiri Rangkasa yang menyerang dari samping. Lagi-lagi Danu menepisnya dengan baik.
Sekarang Rangkasa tidak hanya menggunakan tangan, tapi kedua kakinya mulai beterbangan menyasar tubuh Danu. Sungguh cepat serangan kaki itu. Danu hampir saja kewalahan.
Buk...
Satu tendangan kaki mendarat dengan mulus dari arah depan, mengenai dada Danu. Tubuh Danu terhuyung beberapa langkah ke belakang. Kuda-kudanya goyah. Tapi beberapa saat berikutnya tubuh Danu kembali berdiri tegap.
Beberapa saat berikutnya datang, menyasar dada Danu kembali. Kali ini Danu lebih siap. Tangannya membentuk tameng, dan berhasil menghentikan tendangan Rangkasa. Berikutnya serangan datang dari kepalan tangan Rangkasa. Kiri, kanan, samping, depan, semua berhasil Danu tangkis dengan baik. Itu yang membuat Rangkasa sedikit geram.
“Hai, Anak muda, kenapa kau hanya diam menangkis? Apakah kau tengah kelaparan?” kata Rangkasa. “Ah, rasanya energi tangkisanmu masih cukup kuat, jelas kau tidak kelaparan.”
Danu hanya tersenyum tipis, tidak tertarik untuk menanggapi.
“Atau... hahaha...” Rangkasa tertawa keras-keras dengan suara beratnya. “kau ingin mempelajari teknik menyerangku? Itu hebat, Anak muda. Tapi, itu tidak akan berlaku jika kau tengah bertarung denganku.” Jubahnya melayang-layang rendah diterpa angin malam.
“Sepertinya Rangkasa bukan manusia biasa,” bisik Danu kepada dirinya sendiri.
“Apa? Kau gentar menghadapiku?” bentak Rangkasa.
Itulah yang sangat tidak disukai oleh Danu, diremehkan, apalagi sampai ada yang menghinanya. Dia keras kepala.
“Jangan sebut aku Danu Amarta jika ada manusia yang menghinaku bisa tertawa lepas!” kata Danu, suara penuh penekanan.
“Oh, nama yang indah. Danu Amar...”
Belum selesai Rangkasa mengulangi nama lengkap Danu, dari arah depan Danu telah mengirimkan serangan pertamanya. Tangannya mengepal, tubuhnya terbang satu meter dari tanah. Menyerang Rangkasa.
“Benar keras kepala sekali anak ini!” ucap Rangkasa lirih kepada dirinya sendiri.
Tangan Danu mengepal keras bagai batu pegunungan, menyasar wajah Rangkasa. Tapi Rangkasa lebih dari siap untuk menangkis pukulan Danu. Rangkasa mengepalkan tangannya, menghadang pukulan Danu dengan pukulan. Dua pukulan bertemu di udara. Senyiur angin menyelimuti.
Setelah serangan pertama tidak berhasil, Danu kembali mengepalkan tangannya, memukul dari arah kanan. Pukulan itu berhasil ditangkis oleh Rangkasa. Kiri, juga demikian. Kaki Danu mulai terangkat, menendang-nendang tubuh Rangkasa. Tapi semua berhasil Rangkasa tepis.
Rangkasa tengah menaikkan level tenaga dalamnya. Memasang kuda-kuda, benar-benar kokoh. Jubahnya beterbangan diterpa angin malam. Bayangan tubuh Rangkasa terpampang jelas di tanah oleh remang-remang cahaya rembulan. Senyiur angin tertiup, daun-daun beringin bergerak.
“HA...” teriakan Rangkasa terdengar menggema, mengalahkan deru hewan malam yang tengah bernyanyi. Angin semakin bertiup kencang.
Kedua tangan Rangkasa mengarah ke depan, menyasar tubuh Danu dari jarak tiga meter. “HA...” sekali lagi Rangkasa berteriak. Kali ini beriringan dengan menaiknya debu-debu yang terkena hempasan angin pukulan kedua tangan Rangkasa.
Tubuh Danu melenting ke belakang, kuda-kudanya tidak mampu menahan angin pukulan Rangkasa. Bahkan tubuh Danu terangkat dua meter dari tanah, melayang ke belakang. Danu tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Meskipun Danu mempunyai kemampuan untuk meringankan tubuh, tapi itu tidak akan membantu banyak jika dia jatuh dari tebing itu.
Rangkasa mengeluarkan pukulan kedua kalinya. Angin bertiup lebih kencang. Jubahnya melayang-layang diterpa angin, rembulan bersinar terang. “HA...” sekali lagi Rangkasa berteriak.
Debu mengepul, beterbangan, berputar-putar. Tubuh Danu yang masih melayang di udara harus pasrah menerima angin pukulan kedua kalinya dari Rangkasa.
Bum...
Angin itu tepat mengenai sasaran. Tubuh Danu melayang tujuh meter dari tanah, selanjutnya terjun bebas dari tebing. Benar-benar tidak ada yang dapat menyelamatkan Danu sekarang ini. Kemungkinan paling ringan adalah tubuhnya terbelah menjadi dua, minimal kepalanya terputus, terbentur bebatuan di bawah sana. Empat ratus meter.
“A... keparat kau, Rangkasa!” teriak Danu. Suaranya menggema, tapi tubuhnya telah hilang, terjun bebas ke bawah.
Lereng itu tengah diselimuti kabut. Sayup-sayup cahaya matahari pagi menerobos dedaunan. Daun pohon beringin itu hampir menyentuh tanah. Dari bawah sana terdengar kokokan ayam. Tentunya itu adalah ayam hutan. “Uhuk... uhuk...” Danu baru saja terbangun dari tidurnya. Tidur? Ah, entahlah, pingsan atau tidur. Seingatnya tadi malam dia bertarung hebat dengan Rangkasa, sosok tua yang sepertinya menghuni terasering lereng itu. Lalu Rangkasa mengeluarkan jurus hebat, memukul angin, lebih memukul dengan angin. Tubuhnya terangkat oleh angin pukulan Rangkasa. Lalu, terjun bebas. Kemudian... “Ah, kenapa aku berada di tempat keparat ini lagi?” Danu tersadar dari lamunannya. Dia baru sadar bahwa dia sekarang kembali berada di sebuah lereng terasering, dengan pohon beringin yang daunnya hampir menyentuh tanah. Matanya memandang sekeliling, tidak ada orang. “Ke mana Rangkasa keparat itu pergi?” kata Danu melampiaskan geramnya. Dia berusaha bang
“Selamat datang di Lereng Agung ini!” kata Rangkasa menyambut sosok itu.“Tidak usah banyak cakap, keparat! Cepat kau berikan apa yang seharusnya menjadi hak seorang Narga.” Matanya memelotot. Giginya bergemerutuk. Rahangnya mengatup keras-keras. Sepertinya sosok yang menamakan diri dengan Narga itu tengah marah.“Apa yang kau bicarakan, Narga? Apakah kau tetap mengaku-ngaku seperti belasan tahun lalu? Apakah kau belum sadar bahwa tidak ada yang berhak atas benda itu?” Rangkasa mengibas-ngibaskan jubahnya.Danu yang mendengarkan dari bawah pohon beringin belum mengetahui arah pembicaraan. Ia hanya mendengarkan dengan sesekali duduk, berdiri, kemudian duduk kembali. Sampai akhirnya sesuatu yang tidak diduganya terjadi.“Oh, ternyata belasan tahun aku meninggalkan tempat ini, kau sudah mempunyai seorang murid, Rangkasa?” kata Narga, tangannya menunjuk Danu. Sontak Danu bertambah bingung.“Lalu sek
Akhirnya Danu mencari sebuah tempat yang tepat untuk bermalam. Entah kenapa setelah berpindah tempat dan waktu matanya menjadi mengantuk. Danu berjalan menuju sebuah pohon besar di tepian jalan setapak. Ia akan tidur di atas dahan pohon besar itu. Suasana hening. Langkah kaki Danu yang menginjak dedaunan terdengar begitu keras. Sesekali kakinya menginjak ranting-ranting kering yang berserakan di bawah setiap pohon. Hutan ini sepertinya jarang dijamah manusia. Alami. Danu memanjat pohon besar. Mudah saja bagi manusia yang telah mencapai empat ratus meter lereng Gunung Tiga Maut untuk memanjat pohon besar itu. Ditambah lagi dengan kemampuan untuk meringankan tubuh yang Danu miliki, itu akan sangat-sangat mudah. Beberapa saat kemudian Danu telah berada di atas sebuah dahan pohon. Dahan itu besar, lebih dari cukup untuk membaringkan diri dan menjaga keseimbangan. Samar-samar bintang-gemintang tampak dari celah dedaunan. Sinarnya terang, namun tidak cukup untuk me
“Siapa namamu?” tanya orang tua itu tanpa basi-basi.“Danu Amarta,” jawab Danu.“Dari mana kamu berasal?” tanya orang tua itu lagi.“Aku berasal dari Prambon,” jawab Danu.“Prambon?” kata orang tua itu dengan nada bertanya. Apakah ada yang salah dengan Prambon?“Apakah ada yang salah dengan Prambon, Tuan?” tanya Danu. Ia berusaha bersikap sopan.“Ah, jangan panggil aku tuan. Panggil saja aku bapak atau apalah. Tidak ada yang salah dengan Prambon. Tapi, bukankah itu adalah sebuah nama kota yang jauh? Ada perlu apa sampai-sampai kamu berada di desa Macanan?”“Sebenarnya aku juga bingung, Bapak!” Danu memanggil orang tua itu setengah canggung.“Maksudnya?” tanya orang tua itu.Danu ragu-ragu untuk menceritakan apa yang dia alami beberapa hari lalu, atau bahkan tadi malam. Dia belum mengenal orang tua ini,
Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.“Makan!” perintah Diana.“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangann
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k