‘Empuk.’
Keningnya mengkerut saat merasakan punggungnya menyentuh benda yang terasa empuk dan nyaman.Perlahaan Alice pun membuka kedua matanya. Dikerjapkannya beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya sesaat kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya.“I-Ini di mana lagi?” gumam Alice, mengedarkan pandangannya untuk menatap sekeliling ruangan.“Tunggu dulu.”Seakan teringat sesuatu, Alice memeriksa cepat pakaian yang masih dikenakannya itu. Seketika helaan nafas lega pun dihembuskan olehnya.“Syukurlah bajuku masih sama.”Alice kembali mendongakkan kepalanya dan membiarkan kedua matanya menjelajah seisi kamar ruangan yang terlihat jelas seperti sebuah kamar, karena dirinya saat ini saja berada di atas kasur berukuran king size itu.“K-Kenapa aku bisa ada di sini? Apa jangan-jangan dua orang pria tadi yang bawa aku ke sini?” tanya Alice, kepada dirinya sendiri karena masih bingung akan keadaan yang dialaminya saat ini. “Lalu mereka berdua ada di mana sekarang? Kenapa hanya ada aku sendiri di sini?”Kebingungan dan keheranan melanda Alice, mendapati hanya ada dirinya seorang diri berada di dalam kamar mewah yang sangat luas itu.Ditelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa keting. Sejenak dia meringis kesakitan ketika sudut bibirnya terasa agak perih terkena salivanya itu.“Shss masih sakit ternyata,” gumam Alice, menyentuh pelan sudut bibirnya itu.Alice menghela nafasnya. Dia berusaha menyibakkan selimut yang sempat menutupi kedua kaki jenjangnya itu. Gaun putih yang melekat di tubuhnya sebenarnya agak membuat alice kesulitan bergerak, namun dia tidak punya pilihan lain karena hanya itu satu-satunya pakaian yang dimilikinya saat ini.“A-Akh!”Pekik Alice, ketika tubuhnya terasa limbung ke depan saat kedua kakinya menapak pada lantai kamar tersebut.“S-Sakit,” lirih Alice, menyentuh kepalanya yang seketika berdenyut-denyut pening.Pikirannya pun mengarah pada dua orang pria yang sebelumnya menarik rambutnya dengan kuat. Mungkin itu sebabnya kepala Alice bisa terasa sesakit ini sekarang.“Aku harus kabur dari sini.”Alice berusaha menyeimbangkan tubuhnya meskipun kepalanya masih terasa begitu pusing. Belum lagi tubuhnya lemah sekali karena memang belum ada makanan maupun minuman yang dia masukkan ke dalam tubuh lemahnya itu.Perlahan tapi pasti, Alice mulai melangkahkan kakinya menuju ke sebuah pintu berwarna putih dengan dihiaskan gagang pintu berwarna keemasan itu.‘Hanya itu satu-satunya jalan keluar di sini. Apa aku bisa keluar dari sana dengan bebas?’ batin Alice, dilema dengan pilihan yang dia ambil sekarang. ‘Tidak, aku tidak perlu memikirkannya. Bagaimanapun itu, aku harus bisa pergi jauh dari tempat ini.’Perkataan kedua orang pria asing sebelumnya itu masih terngiang-giang jelas di dalam pikiran Alice. Tentu, dia masih ingat dengan jelas bahwa kedua orang itu mengatakan Alice sudah dijual dan dibeli oleh seseorang yang kaya raya.Mendapati dirinya yang berada di dalam kamar hotel mewah itu, Alice sudah bisa mencerna bahwa kemungkinan besar sebentar lagi dia akan bertemu dengan sosok kaya raya yang mungkin telah membelinya itu.‘Aku tidak mau hidupku menjadi milik orang lain seperti ini. Aku bahkan belum tahu siapa yang telah menjualku,’ batin Alice,bertekad untuk keluar dari kamar mewah yang terasa seperti penjara untuknya.Ceklek!Pintu dibuka pelan oleh Alice. Sebelum benar-benar keluar, dia mengeluarkan sedikit kepalanya untuk memastikan keadaan di luar sana aman.“S-Sepertinya aman,” ucap Alice pelan. “Tapi kenapa tidak ada yang menjagaku?”Alice kembali merasa heran karena baik di luar maupun di dalam ruangan, hanya ada dirinya seorang.‘Ini terasa aneh,’ batin Alice, merasa tidak nyaman dengan situasi yang seakan menguntungkannya itu. ‘Tapi mungkin saja ini memang kesempatanku untuk kabur dari sini.’Di langkahkannya kaki kotor dan penuh lukanya itu keluar dari kamar mewah tersebut. Tidak lupa dia menyeret gaun putih yang sudah melekat di tubuhnya sejak dia tidak sadarkan diri itu.Langkah pelan tersebut perlahan-lahan mulai semakin cepat menyusuri koridor yang cukup panjang itu.‘Di mana pintu keluarnya? Aku harus secepatnya kabur!’Panik mendera Alice ketika dia kesulitan mencari tempat keluarnya karena memang hotel tersebut terlalu luas untuk dia telusuri sendiri. Belum lagi kepanikan dan gelisah yang memenuhi benaknya, membuat Alice kesulitan berpikir tenang. Yang ada di dalam kepala nya hanyalah kabur secepat mungkin dan jangan sampai tertangkap.“I-itu dia!” seru Alice lega setelah menemukan tempat lift yang sebelumnya dia naiki bersama dua orang pria asing itu.Secepatnya dia masuk ke dalam lift kosong itu dan menekan tombol menuju ke lantai bawah berkali-kali hingga akhirnya pintu lift tertutup rapat.Alice menggigit ujung kuku jempol kanannya dengan perasaan gelisah, sambil melihat ke angka lantai yang dilewatinya.Ting!‘Aku harus cepat.’Alice berlari keluar dari dalam lift itu. Rasa sakit di telapak kakinya sama sekali tidak mengurungkan niat Alice untuk kabur dari hotel mewah tersebut.“A-Akhirnya,” lirih Alice, sesaat kakinya menyentuh dinginnya jalanan di luar hotel tersebut.Air mata lega menerobos keluar dari kedua mata sembabnya itu. Dia berlari menjauh dari gedung hotel mewah itu tanpa tahu kemana dirinya akan pergi, yang terpenting untuk Alice adalah menjauh dari tempat yang sudah mengurungnya itu.Dirasa cukup jauh, Alice menghentikan kedua kaki nya. Dia meraup oksigen di sekitarnya dengan cepat karena menipisnya nafasnya sehabis berlari itu.“Sekarang aku harus kema—”“Hahh, mau sampai kapan sebenarnya dia berlari?”Degh!Tubuh Alice menegang. Suara di belakangnya membuat dirinya takut dan gelisah. ‘S-Siapa itu?’ batin Alice, takut untuk menoleh.“Jangan lari lagi. Kamu itu milik Tuan kami jadi jangan macam-macam dan kabur begini, dasar wanita menyusahkan,” ucap pria di belakangnya yang sekarang sudah menarik rambut Alice.“Arghh! L-Lepaskan!” teriak Alice merasakan rasa sakit pada kepalanya itu.Bahkan saat tubuhnya mulai diangkat oleh pria itu, Alice tidak bisa melawan selain berteriak minta tolong.“Lebih baik kita buat dia diam,” ucap pria yang lain.Alice menggelengkan kepalanya, saat tangan itu mendekat pada tengkuk lehernya. ‘Tidak lagi.’Namun terlambat. Dia merasakan pukulan pada tengkuk lehernya itu dan pada akhirnya Alice kehilangan kesadarannya lagi.Sempat dia melihat dua pria berpakaian rapi dengan jas hitam itu. Saat itu juga Alice tahu bahwa dua pria itu bukan pria yang sama dengan pria yang membawanya.***“Hahaha!”Tawa menggelegar di dalam sebuah kamar mewah itu. Seorang perempuan dengan gaun tipis yang melekat di tubuhnya, berjalan mendekat ke arah televisi yang sedang menayangkan wajahnya dengan wajah suaminya itu.“Akhirnya sekarang aku tidak lagi melihat wajah wanita itu,” ucap perempuan itu, tidak lain tidak bukan adalah Federica.Mendudukkan dirinya di atas sofa kecil sambil meraih gelas berisi wine dan meneguknya sedikit. “Sudah berapa hari setelah pernikahan kita, dia menghilang, mungkin saja dia sudah mati sekarang.”Tawa kecil kembali terdengar dari kedua bibir merah itu. “Sekarang aku sudah memiliki semuanya, bahkan aku juga sudah menikahi Albert.”Federica menyandarkan punggungnya. Matanya memandang ke arah layar televisi yang tidak henti-hentinya menayangkan tentang acara pernikahan dan tentang hubungannya dengan Albert.“Rasanya bahagia sekali. Seluruh perhatian benar-benar tertuju padaku, bukan kepada Alice.” Senyuman licik terukir di wajahnya.“Akan lebih baik kalau dia benar-benar mati di luar sana. Lagian semasa dia hidup, tidak ada yang benar-benar menyayangi dia. Dasar wanita bodoh.”“Ini makanannya.”Alice menolehkan kepalanya, ke arah makanan yang diantar oleh seorang pria berjas hitam yang berprofesi sebagai bodyguard yang menjaganya selama berapa minggu ini, tidak. Bukan minggu bahkan kini sudah satu bulan lamanya ini. Alice membuang wajahnya ke arah lain, enggan sekali menatap makanan yang tidak membuatnya merasa berminat itu. Blam!Suara pintu yang tertutup pun tidak membuat Alice beranjak dari tempatnya. Tatapannya juga hanya menatap pada jendela kamar yang memperlihatkan langit cerah di luar sana. “Sampai kapan aku di sini?” lirih Alice, menyatukan kedua lututnya lalu dipeluknya dengan erat. Sejak malam dirinya ditangkap oleh dua pria berjas hitam itu, Alice pun berakhir di rumah mewah yang tidak dia ketahui pasti di mana letaknya. Beberapa kali juga sejak malam itu dia berusaha kabur dari rumah ini, namun hasil yang didapatnya selalu sama karena cukup banyak bodyguard yang menjaga dirinya. Padahal Alice tidak merasa dirinya sespesial itu sampai menda
Alice menelan ludahnya kasar. Ditatapnya penuh kecurigaan kepada pembantu wanita di depannya itu. “A-apa maksud kamu bilang seperti itu?”Pelayan wanita itu menegakkan tubuhnya dan berkacak pinggang seraya tetap menatap pada Alice. “Saya rasa Nona tahu pasti apa yang saya katakan. Saya akan membantu Nona keluar dari rumah ini, tapi nantinya Nona jangan pernah datang ke sini lagi. Bagaimana?”Alice mengernyitkan keningnya. Selama dia dikurung di dalam rumah besar ini, tidak ada satu pun orang yang menawarkan bantuan untuk dirinya kabur. Hanya pelayan wanita ini saja yang berani menawarkan bantuan kepadanya. Namun entah kenapa Alice merasa tidak nyaman dengan sorot mata pelayan wanita itu yang entah kenapa menatapnya dengan penuh kebencian. “K-kenapa kamu mau membantuku?” tanya Alice lagi, dia tidak ingin mempercayai seseorang dengan mudahnya. Sudah cukup Alice ditipu oleh orang yang dia percayai selama ini. Karena itulah Alice tidak mau terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kal
‘A-Apa aku ketahuan lagi?’ batin Alice, meratapi nasibnya yang begitu sialnya sampai selalu ketahuan."Kenapa kalian diam?" Alice mengeratkan genggamannya pada ujung bajunya yang kebesaran. Hatinya tiba-tiba menciut, tubuhnya begitu kaku untuk sekedar menolehkan kepalanya. Suara di belangnya mampu menghancurkan tulang di tubuhnya.Pelayan itu tak jauh berbeda dengannya. Tubuhnya semakin bergetar saat pemilik suara itu terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Pelayan wanita itu melepaskan tangannya seketika dingin bagaikan salju menutupi tubuhnya.“T-Tuan!” ucap pelayan cantik itu dengan panik. Tubuhnya semakin bergetar dan dia pun langsung membungkukkan tubuhnya 90 derajat ke arah pria di belakang Alice itu. “M-Maafkan saya, Tuan. S-saya melakukan ini karena sa–" lirihnya dengan bibir bergetar.Hari ini adalah hari terakhir untuknya, wanita itu siap menerima hukuman apa pun yang akan dia terima dari tuannya, meski nyawanya akan melayang. Meski hal itu berat di lakukan mengingat apa
"M–maksud anda?" Alice berbalik memberanikan diri untuk melihat pria bertopi.Diam bahkan senyum meremehkan tercetak jelas di sana. Alice menghela napas hal biasa jika harus di remehkan."Ck! Pantas mereka memperlakukan hal ini padamu. Ternyata kamu biang rusuh." Ejek pria bertopi."Selain biang rusuh, ternyata kamu wanita yang sangat bodoh. Lihat dirimu, pantas mereka memperlakukan kamu seperti ini. Karena kamu sangat pantas untuk ditindas, dan tentunya di jual." Ejeknya, beralih meninggalkan Alice yang terpaku dengan ucapan pria bertopi."Tunggu, tuan. Katakan siapa yang sudah menjual 'ku pada anda? Lalu untuk apa Anda membeli saya?" lirih Alice. Tubuhnya tidak di pungkiri merasakan hawa mencekam. Pria di depan yang begitu dingin dan sulit untuk di lihat wajahnya."Jika kamu sudah tahu siapa orangnya, lantas apa yang akan kamu lakukan?" ujarnya, sebelah bibirnya tertarik ke atas."A–Aku," Melihat Alice terbata saat mengatakan, bibir Alaric semakin tertarik keatas. "Tuan, saya belu
"Jika aku menurut, apa dia akan membebaskan aku?" Alice, berdiri bagaikan patung membiarkan pelayanan wanita menanggalkan pakaiannya mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Aroma terapi dan wangi bunga tercium menenangkan. Alice merindukan rumahnya, kamar yang begitu nyaman untuknya. Semua hanya kenangan sebelum mereka menikam dirinya dari belakang.Terbesit untuk balas dendam, walau hal itu tidak akan mudah mengingat untuk bisa menyelamatkan diri saja itu hanya dalam mimpi."Hal itu bisa terjadi, asal nona menjadi penurut. Semua kembali –""Jika tidak, akan mati seperti wanita itu? Jangan terkejut, aku tahu semua." Ujar Alice, menyela perkataan pelayan wanita."Nona sudah selesai, silahkan ikut dengan saya. Tuan sudah menunggu di ruang makan.""Ck, kau menghancurkan mood ku. Singkirkan dia dari sini!" Alaric mendorong kursi yang di duduki ke belakang, mengejutkan Alice yang baru tiba."Maafkan saya tuan,"Melihat pelayanan yang bergetar Alice merasa iba. Hukuman pria tak berkemanusiaa
"Tutupi tubuhmu, aku tidak berselera menyentuhmu!" Alaric pergi begitu saja dari kamar pribadinya. Saat akan menutup pintu terdengar suara dinginnya. "Kau adalah wanita terbodoh yang pernah aku temui."Brak!Suara dentuman keras berhasil membuat tubuh Alice tersentak. Tubuhnya ambruk beruntung dalam kamar Alaric terdapat karpet bulu yang terbentang luas sehingga tubuhnya mendarat empuk di sana."Mereka sudah berhasil, aku kalah, kalah," racau Alice.Di ruangan yang berbeda pria yang tengah menuntaskan hasratnya pada wanita lain begitu tak peduli meski wanita di bawahnya mendesah panjang."Aaahh, Alice–" lirihnya panjang. Wanita di bawahnya terluka untuk kesekian kalinya, pria yang begitu di cintainya memanggil nama wanita lain saat bersamanya. Memberontak? Tak terima? Itu tidak mungkin jika tak ingin berakhir dalam ruang penyekapan."Pergilah jalang!" sentak Alaric."T–tuan....""Kau bisa menuntaskan hasratmu dengan mereka." Ucap Alaric dingin. Alaric membersihkan dengan berbagai s
Kesibukan pelayan di kediaman Alaric tidak sedikit pun mengalihkan perhatian Alice yang memilih duduk di pinggir balkon, melihat indahnya pagi untuk pertama kalinya setelah sekian lama terkurung dalam kamar. Tak sekali pun Alice tahu tentang hari, atau pun jam. Yang terlintas dan dapat ia ketahui pagi dan malam."Non, sarapan sudah siap. Silahkan anda ke ruang makan," pelayan wanita menundukkan wajahnya saat berhadapan dengan Alice. "Terima kasih–" "Ratmi, panggil saya Ratmi, non. Jika anda menginginkan sesuatu panggil saya." Sela pelayan wanita itu."Baiklah, salam kenal mbak Ratmi,""Panggil saja Ratmi, non. Saya lebih suka begitu," "Ya,""Silahkan." Ucap Ratmi, membiarkan Alice melangkah lebih dulu dan di ikuti olehnya.Tanpa berniat untuk menjawab Alice melangkahkan kakinya menuju ruang makan. Di sana tepat di depannya sosok pria yang akhir-akhir ini tak juga datang ke kamarnya setelah berapa hari yang lalu. Hanya saat itu di mana Alice harus mendatangi berkas tanpa di baca lebi
Dua jam berakhir sesuai perintah Alaric. Berkas telah rapih dan kini telah di berikan pada yang empunya. Namun sayang, Alaric meremehkan kinerja Alice. Membuka satu persatu berkas di yang di berikan pada Alice hasil yang memuaskan tidak ada satu pun yang terlewat apa lagi kesalahan."Oke, tapi tunggu dulu. Kamu jangan senang dulu, aku tidak bisa percaya padamu. Sebelum melihat semua hasilnya!" Alaric membuka lembar demi lembar, tidak ada yang perlu di periksa semua sesuai."Boleh aku bertanya?" tanya Alice, lirih.Terkejut mendengar suara Alice yang ingin bertanya padanya. Alaric menutup berkas yang kini tidak menjadi minatnya."Apa yang ingin kamu, tanyakan?" Alaric memperhatikan gerak-gerik Alaric, sejak tadi begitu tanang tanpa terganggu atau pun protes meski Alaric sengaja mengulur waktu agar Alice tetap berada di dalam ruang kerjanya."Mengenai kebebasan itu, apa aku bisa–" Alice menundukkan wajahnya, takut jika Alaric akan menolak keinginannya dan hukuman itu semakin berat untukn