Anak-anak mandi lebih awal, selesai adzan asar kami bersiap ke Mall sesuai permintaanku. "Kakek, ikut ya?" rengek Daffa pada kakeknya. Kakeknya paham, tidak ikut bukan karena tidak sayang dengan mereka namun memberi kesempatan untuk kebersamaan kami lebih dekat setelah lama tidak pernah jalan-jalan. "Kakek sama Nenek dirumah saja, Kakek tunggu oleh-oleh ya, Dek. Kakek sudah tua, capek kalau ikut jalan-jalan sama kalian," ucap Bapak sambil tertawa lebar. "Kami berangkat dulu ya Pak, Bu," aku pamit sama mertuaku yang sudah seperti orang tuaku sendiri. "Iya, Sayang. Hati-hati, jangan lengah sama Hilda. Dia sudah pandai jalan, jangan biarkan dia jalan tanpa digandeng," ucap Ibu khawatir."Tenang Bu, ada Akram yang menjaga InsyaAllah," jawab Akram. Kami memasuki mobil, sangat menikmati perjalanan disertai dengan canda tawa anak-anak. Bang Akram tidak mau kalah, terus meledek anak-anak membuat mereka semakin bahagia. Inilah yang ku inginkan, aku nggak mau mereka kehilangan momentum se
Bang Akram duduk di sampingku, sementara Indah duduk disamping Bang Akram. Aku sangat mengerti tatapan anakku, ku anggukan kepala sebagai tanda setuju dengan yang mereka maksud. "Tante, bisa minta tolong pindah disini? Aku mau minta tolong ayah untuk memisahkan diri ikan ini," ucap Syifa dengan lembut. Lega rasanya Syifa menuruti kataku, untuk bicara dengan lembut. Terlihat Indah pindah posisi dengan muka tak bersahabat. "Maaf ya, Dek. Mbak lagi repot dengan Hilda jadinya tepaksa ayahnya yang membantu Syifa," ucapku tidak enak dengan sikap anakku. Tepatnya pura-pura tidak enak, siapa suruh bergabung dan merusak kebahagiaan kami saat ini. Kejam ya? Kalau dia baik maka aku akan bersikap jauh lebih baik. Pantas saja anak-anakku tak terima. Kursi didepan ku baru terisi Syifa dan Daffa, kursi sampingku penuh dengan orang dewasa. Sudah terlihat jelas posisi tak seimbang kan?"Nggak apa, Mbak" ucap dia terbata. Sepertinya menahan kekesalan. "Daffa, kamu bisa sendiri? Hati-hati Sayang, ata
Akhirnya aku dapat telpon dari nomor yang nggak kukenal. Aku tersenyum, hasil tebakanku ini adalah Syifa. Segera aku mengangkat telpon, terdengar Isak tangis putriku sangat menyayat hati. Syifa memberi kabar dengan nomor ponsel sopir taxi yang dia kendarai. Lega, ternyata pelajaran yang aku ajarkan kepada dia berhasil. Segera aku hubungi Bapak mertuaku untuk menyiapkan uang dan poin terpenting supaya tidak kaget."Pak, tolong siapkan uang. Syifa sedang pulang sendiri naik taxi, nggak usah ditanya apa-apa dulu sama Syifa, Pak. Cukup dipeluk supaya dia tenang," ucapku lembut sama Bapak. "Ada apa, Fit? Jelaskan!" Bapak bertanya dengan bingung, lalu suaranya meninggi. Ah ... Bapak marah. "Nanti Fitri jelaskan dirumah, Pak. Aku akan segera menyusul pulang bareng Bang Akram. Sama adik maduku," ucapku. "Jangan coba-coba kamu bawa adik madu kerumah ini, Fit! Bapak yakin, Syifa marah ada kaitannya dengan adik madu mu, Bapak nggak mau tau jangan sampai dia kerumah ini sekarang!" ucap Bapak s
"Daffa kamu sama ayah pulang pakai mobil ya? Bunda mau pulang pakai taxi," ucapku sambil tersenyum menahan tawa. Bagiku naik apapun yang penting sampai rumah, pakai taxi nggak buruk kan? Bang Akram sudah datang dengan mobilnya. Aku bukakan pintunya segera Daffa masuk dan Hilda duduk di kursi khusus di samping kakaknya."Daffa, Hilda nanti dijaga ya, mbokan ngantuk," pesanku sama anak keduaku."Siap, Bunda. Bunda beneran mau naik taxi? Bareng kami saja ya, Bun? Pleace!" ucap Daffa masih tak percaya dan penuh permohonan."Sayang, nanti malam kita bikin pesta barbeque InsyaAllah, nanti sampai rumah ngomong sama kakak ya!" ucapku untuk mengalihkan pertanyaan Daffa dengan berbinar penuh semangat."Asyik, let's go Ayah. Biar cepat ketemu Kakak,"Kamu masih polos sayang, beda dengan kakakmu yang sangat sensitif. "Bang, sambil ditengok ya Hilda,""Iya, Dek. Abang tunggu dirumah." Kini pandanganku beralih ke Hilda yang sedang asyik dengan jajannya. "Sayang, pulang sama Kak Daffa ya, nanti in
"Kenapa Syifa sampai pulang sendiri, kenapa kalian nggak ada satupun yang mengejar. Langkah kaki Syifa jauh lebih kecil dibanding kamu Akram! Oh ... iya bapak lupa, kamu sekarang lagi hangat-hangatnya dengan istri baru, tentu anak-anak Fitri tak lagi penting," ucap Bapak mulai mengatur nafas yang sesak. "Siapa yang mau menjelaskan!" bentak Bapak pada kami. Aku hanya terdiam mendengarkan bapak selesai bicara, aku pun tak bisa membendung air mataku mendengar kemarahan dan tangis pilu bapak. Selama bersama mereka baru kali ini mendapati bapak benar-benar kacau. Yang kemarin malam bapak kacau tapi ini jauh lebih kacau, karena berkaitan dengan cucu pertamanya. Aku melirik Bang Akram. Mata kami bertemu, seakan mengatakan biar Abang yang menjelaskan."Kemana wajah bangga kamu Akram, yang dengan bangga bisa menikah lagi. Menjelaskan hal seperti ini saja tak mampu, jika kamu tidak bertemu dengan istri barumu, kejadian ini nggak akan terjadi hari ini. Apa kalian sengaja, biar anak-anak tau den
Aku semakin terisak mendengar pembicaraan mereka, aku urungkan masuk. Tadinya aku berdiri bersandar ditembok lama kelamaan tak kuasa menopang tubuh ini akhirnya aku duduk dan aku peluk lutut sendiri. Aku tau nak, meskipun kamu mengatakan bahagia kamu sebenarnya sangat sedih seperti halnya bunda. Namun bunda harus tegar demi kalian. Di sebelahku juga terdengar Isak tangis suamiku. Kamu mengatakan nggak peduli lagi dengan ayah, tapi bunda justru mengartikan kalau kamu sangat terpukul dengan kelakuan ayah. Kamu wanita sama seperti bunda, seorang wanita jika kecewa yang terucap justru pembelaan agar tidak terlihat lemah. Padahal kita aslinya kacau. Papa, Mama, aku butuh sandaran.Aku bangkit dengan kondisi badan sempoyongan, ayolah badan kuatlah. Aku harus sehat, untuk ketiga anakku. Aku terkulai lemas, namun dengan sigap ibu menopang tubuhku. "Sayang, kamu terlalu memaksakan keadaan untuk bersikap tegar, ibu tau kamu sangat terpukul. Kamu terlihat tegar tapi justru badanmu yang nggak a
"Ayah hanya mengatakan kalau Ayah sangat menyayangimu dan juga adik-adik kamu, Sayang." "Syifa juga sayang sama Ayah," ucap Syifa. Selesai bakar-bakar tinggal makan bersama disertai dengan celoteh anak-anak. Anak-anak begitu menikmati kebahagian. Aku terus memperhatikan Bang Akram yang sangat berbahagia dengan kebersamaan ini. Syifa sudah bergelayut manja kepada ayahnya, nampaknya gadis itu benar-benar terhibur dengan acara ini. Ayahnya pun terus memperhatikan Syifa, dan tak ketinggalan Hilda yang sudah ikut mengacak-acak makanan yang didepan ayahnya. "Ayah ... Yah ... Yah," ucap Hilda. "Iya, Sayang. Ayah yang nyuapin ya? Aaa ...." mengkode anaknya untuk membuka mulut. Hilda membuka mulut menerima makanan dari Ayahnya. Dia terus berceloteh dan bertepuk tangan menandakan perasaannya berbahagia. "Sekarang giliran kakak yang buka mulut, aaa ....""Ayah, mantap ya rasanya. Rasanya tak kalah dengan restoran yang sering kita datangi dulu, kapan-kapan kesana lagi ya?""Tapi bilangnya ras
Aku melonjak girang melihat nama terpampang dilayar full dengan gambar. "MasyaAllah, Papa, Mama. Kangen kalian, apa kabarnya?" ucap Fitri terharu, dia merindukan kedua orangtuanya. Mereka lama tidak berkumpul bersama keluarga dari Fitri, tepatnya sudah tiga bulan tak pernah menginap. "Papa kangen kalian juga, ... cucu-cucuku apa kabarnya? Besan, apa kabarnya? Ternyata anak manjanya Papa lagi berbahagia, Alhamdulillah firasat yang Mama maksud tidak benar, Mah. Lihat betapa bahagianya anak kita," seloroh Papa. "Iya dong, Pa. Hidup hanya sekali jadi harus dinikmati, harus bahagia ya kan, Pak?""Selalu ya kamu minta pembelaan sama Bapakmu, Papamu sudah dilupakan, ini Mama pengin ikutan katanya, Mamamu murung sejak hari Sabtu sampai malam ini, nggak nafsu makan. Sudah lihat sendiri kan, Mah. Anak kita baik-baik saja, mereka terlihat sangat bahagia. Habis ini mama harus makan yang banyak," ucap Papa panjang lebar. Deg ... anakmu tidak dalam keadaan baik-baik saja Papa, tidak seperti yang