"Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri
"Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu
Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa
Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas
[Kamu belakangan ini beda Bang, tiap akhir pekan justru tidak pernah pulang. Kemana sosok penyayang yang selama ini selalu bersamaku. Anak-anak mencarinya, apalagi si kecil selalu menyebut-nyebut namamu. Menangis terus menerus hingga akhirnya tidur karena kelelahan] pesan terkirim ke hp suamiku.[Maaf, Sayang. Abang pekerjaan dari kantor banyak, harus lembur lagi] balas suamiku.Aku menitipkan anak-anak di tempat mertua setelah mendapat balasan dari suami. Aku bergegas menyetop taxi untuk menuju kantor, 30 menit kemudian sampailah di kantor Bang Akram yang megah. Aku mengenal Bang Akram, melalui perkenalan singkat melalui seorang Ustadzah dengan proses ta'aruf. Hanya dalam waktu 3 bulan aku sudah berstatus menjadi istri Akram. Laki-laki penuh tanggungjawab, berkharisma, berwawasan agama luas. Ya, Bang Akram terkenal laki-laki alim diantara teman-temannya. Seorang laki-laki berpakaian scurity menghampiriku"Maaf, cari siapa, Bu?" tanya scurity dengan sopan."Mau menemui Pak Akram, Pak
"Dek, tiap orang akan bawa rejeki masing-masing, ketika menikah lagi tentunya Abang akan ada rejeki buat mereka," bela Bang Akram masih kekeuh dengan ucapannya."Bang, maaf kalau saat ini Abang mau menikah lagi jelas ekonomi kita morat marit, berantakan," aku mengingatnya."Doa itu yang baik-baik, Rasulullah saja istrinya banyak," ucap Bang Akram."Tujuan Rasulullah bukan sekedar syahwat, tapi menolong terutama janda tua, jika Abang sudah mampu menolong bukan harus menikahi tapi bisa saja kita bersedekah kepada mereka," ucapku lagi dengan lembut. "Bang, aku jadi meragukan cinta Abang," suamiku mendekat memeluk erat."Jangan ragukan cintaku, Dek. Abang cinta dan sayang sama kamu. Sosok wanita cantik, anggun, Solehah. Kamu tetap ada diposisi utama dihati Abang, kamu yang menemani disaat aku terpuruk, kamu yang begitu sabar dengan kondisi Abang, kamu tak akan tergantikan dihati Abang," ucap Bang Akram meyakinkan aku, siapa sih yang nggak meleleh mendapat pujian seperti itu. Tapi apa ke
"Setiap Ayahnya nggak tidur dirumah, Pak," jawabku jujur."Biar sama Bapak, kasihan kamu harus begadang sendirian. Akram benar-benar, akalnya ditaruh dimana? Sini sama Kakek, sayangnya Kakek, sekarang bobo ya, Sayang," Bapak menimang Hilda dengan sabar, MasyaAllah ketika tangan Bapak mulai menimang Hilda seakan terhipnotis dengan kelembutan Bapak, Hilda terdiam tidak menangis lagi dan tertidur. "Kasihan cucuku, pasti kamu kecapekan. Hilda biar tidur di gendongan Bapak dulu ya, Fit. Kamu tidurlah dulu pasti capek dari kemarin begadang. Nanti Hilda tak tidurkan di kamarmu," aku beranjak menuju kamar, percuma Bapak tidak akan menerima bantahan. "Bentar Fit, besok-besok jika Akram nggak dirumah kamu tidur disini saja, biar ada Bapak dan Ibu yang membantu," aku mengangguk. Aku merasa tenang karena Hilda sudah tidur bersama Bapak, aku meluruskan badan yang sudah terjaga dari pukul 03.00 pagi dini hari belum istirahat sama sekali. Berkali-kali istighfar memohon kepada Allah digugurkan dosa
*AKRAM*Aku sudah menikah lagi tanpa ijin keluarga, sudah tiga bulan aku menjalankan Sunnah Rasul dengan seorang janda beranak satu kenalan dari teman kantorku. "Akhir pekan temani aku untuk melamar, Bos," ucapku semangat."Sip Bro, aku sudah kirim fotomu sama dia. Aku juga mengatakan kalau kamu sudah punya istri dan 3 anak. Dia setuju, karena kamu temanku, jadi dia percaya kamu orang baik. Tapi bagaimana dengan keluargamu Bro?" tanya Ihsan."Itu menjadi urusanku," jawabku singkat. Pertemuan pertama dengan calon istri keduaku sangat mengesankan, wanita penuh kelembutan tampilan sederhana. Aku membayangkan Fitri akan setuju jika aku membawa dia berkenalan nantinya. Satu minggu setelah lamaran langsung melakukan prosesi pernikahan. Namun setelah menikah sungguh diluar dugaan, tiap ketemu dia mengajak jalan-jalan, mengajak belanja. Aku bisa menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, Lulu nama anaknya, Indah nama istri keduaku. Tiap ketemu dia begitu agresif sampai-sampai kegiatan kami leb