“Om, berhenti, nggak! Aku lompat, nih!” ancam Selma, tetapi Panji malah menambah kecepatan mobilnya.
“Lompat aja kalau kamu bisa,” tantang Panji.
Selma menggedor kaca mobil, berulang kali menekan kunci pintu yang tidak berhasil menganga sama sekali. Pria yang belum diketahui namanya itu tidak terlihat seperti penculik. Pikiran Selma semakin sibuk bekerja. Apa mungkin karena martabat keluarganya yang terpandang, maka penculiknya pun cukup tahu diri untuk memboyong dengan kendaraan dan gaya berkelas seperti ini.
“Om, aku capek. Tolong turunin aku, nggak ada untungnya buat Om berbuat jahat kaya gini. Aku nggak tahu apa masalah Om sama keluargaku, tapi mereka nggak bakal biarin Om lolos sebelum jadi daging panggang,” cerocos Selma, menyandarkan punggungnya yang lelah.
Earbuds yang tersangkut di telinga Panji memang tidak membawa dampak apa-apa dari awal. Suara gadis di samping kemudinya terlalu kuat untuk disebut sebagai berteriak, bahkan mungkin biramanya lebih besar dari tabuhan drum konser musik rock. Pria itu berharap setelah ini dan seterusnya bisa mengamankan rumah siput dan tingkap jorong dalam kupingnya.
Lampu merah, Panji bergabung dengan jajaran kendaraan lain di belakang garis lalu lintas. Pria itu kemudian berkata, “Nah, kalau begini ‘kan enak. Apa kamu pikir saya tidak lelah, Nona Vall? Dan satu lagi, berhentilah mendakwa bahwa saya ini benar-benar menculik Anda.”
“Emang kenyataannya gitu, ‘kan?” balas Selma. “Main seret tanpa babibu, sekarang aku mau Om bawa ke mana?” pungkasnya.
“Berhenti juga memanggil saya seperti itu! Saya tidak menduga bahwa Anda sepikun ini terhadap usia dan janji kita.” Panji perlahan melajukan mobilnya kembali, lampu hijau seolah mengutarakan salam perjalanan padanya.
Selma memiringkan kepala, menatap pria di sampingnya itu begitu lekat. “Janji? Kita kenal aja enggak, gimana mau janjian. Kayanya Om salah target, deh. Kalau mau cari degem buat diajak main-main di hotel, Om udah salah sasaran,” katanya.
“Bukankah mulutmu itu perlu dijaga? Kamu pikir saya pria semacam itu? Jangan pura-pura lupa. Bukannya menciptakan kesan yang baik, kamu justru merusak citra di pertemuan pertama kita.” Emosi Panji dibuat menanjak, alisnya sampai mengerut tajam.
Kesan pertama yang buruk. Enak saja prinsip hidup yang ia pegang selama ini disamakan dengan penjaja uang yang keluar masuk lubang dan hotel. Panji memang tidak peduli dengan wajah calon istrinya, tapi bukankah kelakuan dan perkataan seorang gadis Vallence di sebelahnya itu terlalu jauh dari kriteria istri teladan? Kalau tidak cantik, tidak masalah. Masalahnya, gadis itu cantik, namun mulutnya bermasalah.
Selma mengacungkan kepalan tangannya tepat di sebelah rahang kiri Panji. “Sekarang jawab pertanyaan aku, atau kasus bogem melayang bakal dibuka kembali. Om itu siapa sebenarnya?” tanya gadis itu.
Ckit!
“Turun!” perintah Panji, seraya melepaskan kunci seatbelt Selma. “Biar saya ingatkan janji kita di dalam,” katanya, kemudian lebih dulu mengosongkan kursi kemudi.
Selma ikut turun, lantas menyambut penampakan di depan matanya dengan terbelalak. “Butik?” sebut gadis itu, menatap sekeliling dengan keheranan.
Alih-alih dibawa ke tempat gelap sejenis gudang terbengkalai atau hotel seperti yang sudah disebut tadi, Selma diseret paksa untuk memasuki bangunan yang identik dengan pakaian tersebut. Jadi, dirinya benar-benar tidak diculik? Lalu, apa maksud semua ini?
“Selamat datang, Tuan Panji. Sepertinya hari ini Anda cukup sibuk hingga terlambat datang ke mari,” sambut salah satu wanita berseragam batik peach, sepertinya sudah akrab dengan Panji.
“Oh, namanya Panji,” gumam Selma. Meski sudah tahu namanya pun gadis itu tidak merasa ingat sesuatu hal terkait perjanjian.
“Maaf atas keterlambatan saya, Madam Runi. Tadi ada sedikit masalah,” Panji melirik Selma, “tapi sudah berhasil saya atasi,” imbuh pria itu, mendapat hadiah pelototan maut dari Selma.
“Tidak apa, Tuan. Mari, ikut saya! Untuk calon istrinya bisa mengikuti pegawai saya ke sebelah sana.” Madam Runi menunjuk sudut berlainan dengan arah yang ia tempuh bersama Panji.
“W-what, calon istri?” Muka Selma yang lelah terlihat semakin kacau setelah mendengar dua kata krusial dari pegawai butik tersebut.
“Sekarang kamu sudah ingat?” bisik Panji, disertai senyum yang meledek. Pria itu kemudian berjalan santai mengekori Madam Runi.
“Tunggu, Om! Ini maksudnya apa, ya? Om, Om Panji!” Teriakan Selma tak mengenai telinga Panji. Lagi pula, ia sudah ditenteng dua karyawati menuju ke ruang ganti.
Selma pikir ini adalah sebuah kekeliruan besar. Baru saja ia memutuskan hubungan dari Viko, dan sekarang sudah disuguhi gaun pernikahan bersama pria yang masih anonim di kepalanya. Orang tuanya tidak pernah membahas soal perjodohan. Selma menolak keras diatur sedemikian itu, sehingga ia diberi kebebasan dalam urusan asmara. Lagi pula, ayah dan ibunya juga tahu pasal Viko, meski dua orang itu belum mendapat kabar terkini dari nasib asmara putrinya.
Hanya melongo kebingungan, hingga tanpa Selma sadari gaun putih mengembang telah terpasang apik di tubuh moleknya. Bukan, masalah terbesarnya bukan di situ. Pria yang katanya bernama Panji tadi sangat mengganggu pikirannya. Entah berapa usianya, hanya diamati sekilas pun Selma tahu bahwa pria itu bukan dari golongan umurnya. Menikah dengan om-om sama sekali bukan impian gadis sarjana sastra pecinta bunga daisy itu.
“Sudah siap, Nona,” ujar karyawati yang membantu Selma, “Anda cantik sekali, Tuan Panji hebat dalam memilih calon istri,” pujinya, kemudian menuntun Selma untuk memposisikan diri di tengah tirai ruang ganti.
Hebat apanya, bahkan kapan ia dipilih saja Selma tidak tahu. Tiba-tiba diseret dan dipaksa mengenakan gaun pengantin, apakah pernikahan memang sekonyol itu? Tidak dapat ditampik, hati kecil Selma menyukai gaun sakral yang membungkus tubuhnya. Menikah, tentu saja ia ingin. Hanya saja, pria yang diharap menuntunnya ke pelaminan baru selesai dicampakkan beberapa waktu yang lalu. Miris, tapi nasib seperti itu terlalu konyol untuk Selma bubuhi tangis.
Srek!
Begitu tirai cokelat pastel itu dibuka, seluruh pegawai butik beserta Panji tampak terpana dengan penampilan Selma. Jika gadis itu malu-malu cengo, maka Panji justru terpesona sampai melongo. Kesan gadis urakan yang direkatkan Panji langsung hilang entah bagaimana, seolah gadis bercelana jeans barut di lutut itu bukanlah gadis yang saat ini dibalut gemerlap gaun pengantin.
Pria dengan tuxedo hitam dan dasi kupu-kupu itu berjalan mendekati Selma. “Ekhem! Kamu kalau diam seperti ini ‘kan jadi pantas dilihat,” katanya.
“Maksud Tuan Panji, Anda cantik sekali, Nona Angsana,” ucap Madam Runi.
Spontan, Selma mengerutkan dahi. “Apa, Angsana?” tanyanya, memastikan bahwa gendang telinga berusia dua puluh satu tahun itu tidak salah menangkap sinyal suara.
Madam Runi sedikit tersenyum kaku, lantas menimpali, “I-iya, Nona Angsana Vallence.”
Selma tertawa sumbang, mengabaikan Panji yang tidak melepas sorot mata dari wajahnya. “Sepertinya keluarga Vallence harus membuat spanduk besar untuk memperkenalkan siapa-siapa anggota keluarganya,” ujar gadis itu.
“Maksud Nona?” tanya Madam Runi.
“Perkenalkan, saya Selmara Vallence. Sama-sama Vallence, tapi bukan Angsana.” Gadis itu menutup perkenalannya dengan membungkuk anggun bak sedang melakukan salam ala-ala putri kerajaan. Seluruh penghuni butik dibuat kikuk oleh pernyataannya.
Aktivitas serius Panji dalam memandangi penampakan Selma otomatis buyar setelah mendengar pengakuan gadis itu. Ia yakin tidak salah tempat. Tiga rumah besar dalam satu kompleks dengan warna berlainan. Panji yakin tadi telah berhenti di rumah pertama dari jalur pintu masuk.
Rumah bercat dominasi broken white yang menurut informasi adalah kediaman keluarga Sastama, tapi kenapa malah membawa anak gadis keluarga Sasmara? Apa ayahnya telah salah memberi informasi? Ah, tidak. Sepertinya sekarang Panji sadar betapa pentingnya selembar foto yang ditelantarkan di atas meja kantor.
“Bisa beri kami waktu sebentar?” pamit Panji, kemudian menggandeng Selma untuk menepi dari jangkauan dengar pegawai butik.“Om, jalannya pelan-pelan, dong! Sadar usia, udah pikun juga!” hardik Selma.Gadis itu susah payah mengiringi langkah lebar Panji dengan setelan feminim di tubuhnya. Peduli amat, gaun cantik itu berakhir ditenteng dengan tidak etis hingga setinggi betisnya. Di mana letak kesalahannya hingga Panji menyeret murka seperti itu. Kalau Selma rangkum, justru pria itu yang bersalah. Kepayahan macam apa hingga dirinya dan Angsana disamakan, padahal jelas-jelas berbeda.Bats!Masuk ke dalam ruang ganti, Panji menghempaskan Selma dan memegang kedua bahu gadis itu begitu erat. “Saya tidak suka bercanda. Jangan coba-coba menipu saya hanya karena kamu ingin mangkir dari perjodohan ini!” tegas pria itu, menatap Selma dengan kilat berapi-api di kedua iris gelapnya.“Yang bohong juga siapa,” Selma
Sret!Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!”
“Pa, jangan tarik-tarik, dong!” protes Selma, kaki gadis itu tertatih mengimbangi sang ayah yang melangkah lebar sambil menenteng lengannya. Bruk! Setelah memaksa Selma duduk di sebelah Damar, Sasmara memelototi gadis itu. “Diam, jangan banyak ulah!” peringatnya. Gadis itu kesusahan menelan saliva, lantas merapatkan dua lembar bibirnya secara paksa. Ternyata memang benar, ia kelewat terlambat di pertemuan krusial itu. Lihat, seluruh akar hingga cabang keluarga Vallence sudah berjajar lengkap–kecuali Sana–di ruang tamu Kakek Sagara, bahkan seorang Panji yang bukan siapa-siapa saja ikut hadir di sana. Gadis yang semula memberontak itu terpaksa hening setelah dirasuki atmosfer tidak ramah dari orang-orang di sekitar. “Tama!” Pita suara Kakek Sagara memecut dari arah pintu utama, meneriakkan nama sang putra sulung. Netranya sama sekali tidak berkedip, menjurus pada satu orang yang tengah menenangkan tangisan sang istri. Langkah demi langkah semakin mendekat, membuat nuansa tegang kian
“Maksudmu adalah Selma?” timpal Sasmara, diakhiri dengan menunjuk putri semata wayangnya. “A-apa? Tunggu, tunggu!” Selma berekspresi aneh, rumit untuk dijabarkan seperti kondisi otaknya yang tiba-tiba buram. Seluruh mata langsung terfokus pada gadis itu, terlebih lagi Panji. Pria itu semakin jelas menunjukkan niatnya di muka, menggariskan bibir miring yang mana maksudnya hanya dipahami oleh Selma. Panji mengangguk. “Siapa lagi, Tuan Sasmara? Apakah Anda memiliki putri selain dia?” tanyanya. “Om Panji jangan bercanda, ya!” seru Selma, diiringi dengan tatapan nyalak. Kakek Sagara mengerutkan dahi, semakin memperjelas garis penuaan di wajahnya. “Memang benar, satu-satunya kandidat yang mungkin hanyalah Selma,” tutur pria itu. “Kalau kau menolak Sana, cucuku tersisa dia dan Damar,” pungkasnya. Lelucon macam apa lagi ini, Selma sampai terbengong saking gagalnya diajak melawak. Seumur hidup, baru kali ini telinganya diperdengarkan candaan yang menyebalkan. Ia mencoba untuk tidak serius
“Lihat! Gara-gara kamu, Kakek jadi sakit!” omel Sasmara, suaranya berdesis mengisi keheningan ruang keluarga di rumah utama. Bahu Selma bergetar hebat, bahkan tangis membuat tenggorkan gadis itu sulit menjawab tuduhan yang dilayangkan ayahnya. Semua orang yang ada di sana dengan mudah melimpahkan salah padanya, padahal sudah jelas siapa yang lebih pantas dihakimi daripada dirinya. Membuat jantung kakeknya kambuh sama sekali bukan tujuan Selma, tetapi itu semua juga di luar kendalinya. Dokter yang memeriksa Kakek Sagara baru saja pulang. Sekarang, pria tua itu tengah beristirahat di kamar bersama Nenek Sasti. Semua anggota keluarga masih lengkap ada di sana, bahkan Panji mendadak seperti pengangguran dan meninggalkan perusahaannya begitu saja. Entah apa urusan pria itu, tetapi keberadaannya tidak ada yang menolak. Oh, kecuali Selma tentunya. “Pa, sudah. Jangan bikin suasana makin ribut, Ayah masih butuh istirahat,” lerai Azalea. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya sambil ber
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa
“Gimana, nih? Menjijikkan, itu kaya bukan gue banget.” Selma masih terbayang-bayang testpack temuannya kemarin. Namun, sejijik apa pun itu, tetap harus ia tempuh jika memang bisa menyelamatkannya dari Panji. Tidak apa, toh pada kenyataannya ia masih perawan. Asal perjodohan ini batal dahulu, setelahnya bisa dipikir nanti. “Mbak Selma, saya mau cari makan siang, mau nitip?” tawar Risda, karyawati florist milik Selma. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, “Terima kasih, kamu aja. Ajak yang lainnya makan juga biar saya yang handle di sini, mumpung sepi.” “Baik, Mbak. Saya duluan kalau gitu,” pamit Risda, lalu terlihat menghampiri dua rekannya yang lain. Toko bunga sederhana ini dirintis Selma sejak masih duduk di bangku kuliah, tentu menggunakan uang tabungannya sendiri. Dulu tidak sebesar ini, sekarang sudah cukup untuk menampung aneka jenis warna dan aroma kesukaan gadis itu. Hanya dengan menatap mahkota yang bermekaran, ia dengan mudah menanggalkan beban pikiran. Biasanya semua tr
“Sana?” Mata Selma sampai lupa diajak berkedip, begitu intens menelisik sosok yang mencegatnya di halaman. Dengan mata berkaca, Sana memeluk sepupunya tersebut. “I’m sorry, Sel,” lirihnya. Sejujurnya Selma bingung harus bereaksi seperti apa. Saking terkejutnya, ia sampai lupa mengangkat tangan untuk membalas sepupunya. Pantas beberapa waktu belakangan ia selalu ditolak setiap kali hendak memeluk, ternyata benjolan perut sepupunya itu sudah kentara dan cukup menggelikan. “Selma, kamu marah sama aku?” Sana mengakhiri dekapan, menghapus air mata yang mengalir tipis di pipi tembam miliknya. “Harusnya lo tahu perasaan gue, San.” Air mata Sana sedikit menderas. “Aku minta maaf, Sel,” mohonnya, mengguncang lengan Selma. “Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak bisa marah sama lo.” Kedua ibu jari Selma menyingkirkan air mata Sana. “Are you okay, Dear?” Air mata itu kini berpindah sumber ke pelupuknya sendiri. Ini berat, sangat berat. Definisi pura-pura kuat di depan orang ya