“Bisa beri kami waktu sebentar?” pamit Panji, kemudian menggandeng Selma untuk menepi dari jangkauan dengar pegawai butik.
“Om, jalannya pelan-pelan, dong! Sadar usia, udah pikun juga!” hardik Selma.
Gadis itu susah payah mengiringi langkah lebar Panji dengan setelan feminim di tubuhnya. Peduli amat, gaun cantik itu berakhir ditenteng dengan tidak etis hingga setinggi betisnya. Di mana letak kesalahannya hingga Panji menyeret murka seperti itu. Kalau Selma rangkum, justru pria itu yang bersalah. Kepayahan macam apa hingga dirinya dan Angsana disamakan, padahal jelas-jelas berbeda.
Bats!
Masuk ke dalam ruang ganti, Panji menghempaskan Selma dan memegang kedua bahu gadis itu begitu erat. “Saya tidak suka bercanda. Jangan coba-coba menipu saya hanya karena kamu ingin mangkir dari perjodohan ini!” tegas pria itu, menatap Selma dengan kilat berapi-api di kedua iris gelapnya.
“Yang bohong juga siapa,” Selma menghela napas, “muka polos kaya gini masih aja dituduh penipu,” imbuhnya.
“Justru karena tingkah urakanmu ini yang membuat saya meragu!”
Selma membuang kedua tangan Panji dari bahunya, lalu tanpa kesabaran ia mengatakan, “Kenapa nggak Om coba telepon calon istrinya? Kalau muka saya emang nggak terpercaya, paling enggak nomor ponsel Selmara dan Angsana nggak ketuker.”
Tangan kiri Panji menyangkut di pinggang, tangan sisanya memijit kepala yang pening. “Saya nggak punya kontak Angsana,” ucapnya, jujur.
Bolehkah Selma menyebut pria di hadapannya itu sebagai pembohong publik? Lagaknya saja mengaku calon suami, tapi kontak calon istri ternyata tidak dikantongi. Seingatnya, nama kekasih Sana juga bukan Panji. Seharusnya di sini Selma yang meragu atas semua keterangan mulut Panji.
Membuang waktu percuma, Selma meninggalkan Panji tanpa lupa menjinjing gaun pengantinnya tinggi-tinggi. “Mau ke mana?” selidik Panji, tetapi gadis itu semakin cepat berlalu.
“Maaf, bisakah Anda membantu saya?” tanya Selma, dijawab anggukan ramah oleh pegawai butik. “Tolong, jauhkan gaun ini dari tubuh saya, pemilik sebenarnya akan segera tiba,” pungkas gadis itu.
Madam Runi menatap kebingungan pada Panji yang baru tampil di muka, matanya melirik bergantian antara Selma yang digiring ke ruang ganti kembali dan Panji yang bersandar lelah di kursi tunggu.
“Salah membawa calon pengantin, bukankah ini pertanda yang buruk?” lirih Panji, namun masih sampai ke telinga Madam Runi. Wanita pemilik butik itu hanya termenung, melarut dalam hening yang dicipta Panji.
Di lain ruang tunggu, Selma telah selesai dilucuti gaunnya. Gadis itu kini kembali dengan setelan awal–black jeans ripped dan hoodie oversize lavender, ditambah rambut kuncir kuda dengan karet gelang hasil memalak pegawai butik. Selesai mengenakan alas kaki, telinganya sibuk menunggu balasan dari nomor ponsel Sana.
“Halo, San? Lo di mana?” tanya Selma, langsung setelah panggilannya tersambung dengan sang sepupu. Dari sekian jumlah keluarga Vallence, hanya dua gadis itu yang menggunakan sapaan ‘lo-gue’ sebagai komunikasi.
Setelah menerima jawaban dari seberang, gadis itu mengatakan, “Buruan ke sini, sebelum calon suami lo jadi orang gila. Nggak usah banyak tanya, lo langsung ke alamat yang gue kirim. Lima menit, gue tunggu!”
Tutt!
Dalam pikiran Selma sangat berharap sepupunya itu tidak salah paham dengan keberadaannya dan Panji. Kalau sampai salah paham pun, Panji yang berkontribusi besar sebagai pihak bersalah. Kini, gadis yang merasa sebagai pihak dirugikan itu sudah duduk di hadapan Panji seraya memainkan jari di atas layar ponselnya.
Pria yang masih setia membalut tubuh gagahnya dengan tuxedo itu memicingkan mata mendapati Selma bersantai tanpa menjelaskan apa-apa. “Di mana Angsana?” tanya Panji.
“Sebentar lagi sampai, Om nggak usah khawatir,” jawab Selma, tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.
“Selma!”
Tepat sekali. Gadis yang dipanggil pun langsung sumringah mendapati sepupunya tiba sebagai penyelamat. Tanpa basa-basi lagi, Selma menghampiri Sana yang sedikit terengah-engah mencerna napas dan fakta yang berkelumit di otaknya.
“Kok lo bisa ada sama dia, sih?” desis Sana.
Selma mengendikkan bahu, lantas melirik Panji sekilas. “Nggak tahu, calon suami lo payah banget,” ejeknya.
“Hei, kamu …,” Panji menudingkan telunjuk pada Selma, “lupakanlah,” pungkasnya, pilih menyerah saja. “Jadi, ini yang namanya Angsana?” tanya pria itu, menelisik penampakan gadis lain di hadapannya.
Sepertinya lebih baik. Kesan pertama yang Panji dapat adalah calon istri sebenarnya jauh lebih kalem dan feminim. Lain dengan Selma, sarkas dan berpotensi kuat menjadi penyumbang pasien gagal jantung terbanyak di rumah sakit. Syukurlah, Panji mulai mempercayai pilihan ayahnya kembali.
“Iya, saya Angsana,” mengulurkan tangan, “panggil Sana aja,” pintanya.
Tentu saja Panji menyambut uluran tangan itu dengan senang hati. Cinta tidak cinta, pria itu mengira setidaknya Sana lebih pantas digandeng daripada Selma. Sekarang ia tahu mengapa Selma memangilnya ‘Om’. Mulai dari tabiat, wajah, sampai penampilan, gadis itu tampak tidak sejajar dengan Sana yang diinformasikan hanya berusia empat tahun di bawahnya.
Selma menatap Panji. Dengan senyum penuh kemenangan, ia berkata, “Sekarang udah jelas, ‘kan? Harusnya Om minta maaf ke saya, tapi emang lebih baik nggak usah. Saya nggak gampang terima permintaan maaf dan terima kasih.”
“Selma.” Sana menyenggol lengan sepupunya, mencoba mengingatkan.
“Tidak apa,” balas Panji. “Sepertinya permintaan maaf saya sudah habis untuk menebus betapa kurang ajar sikap kamu hari ini,” katanya.
“Whatever.” Selma mengacungkan telapak tangan pada Sana, lalu mengatakan, “Sini kunci mobil lo! Nanti lo bisa pulang sama si Om.”
Sana malah menggenggam telapak tangan Selma. “Jangan, Sel. Lo di sini aja tungguin gue, kita pulang bareng. Fitting gaun nggak akan lama,” gadis itu mendekat ke telinga Selma, “gue nggak mau pulang sama dia,” bisiknya.
Setelah dipikir-pikir, benar juga. Selma merasa kasihan jika harus membiarkan sepupunya berdua dengan pria menyebalkan seperti Panji. Hitung-hitung menikmati kesempatan sebelum Sana melepas status lajang. Lagi pula, ia perlu mendapat beberapa penjelasan dari Sana, seperti kondisi Randi–kekasih Sana–dan masalah perjodohan yang luput dari pengetahuannya ini.
Selma menarik napas, kemudian menjawab, “Oke, gue tunggu di sini.”
Senyum lebar terpatri di wajah Sana, di samping air muka Panji yang masam seperti menyesalkan sesuatu. Melelahkan sekali jika harus satu lingkup oksigen bersama gadis pecicilan macam Selma lagi. Harap-harap aktivitas di butik ini dapat segera diselesaikan dan kondisi kesehatan jantung pria itu bisa bertahan menghadapi muka julid Selma.
“Permisi, bisa kita mulai sekarang?” Madam Runi menyela, lantas menuntun Sana ke ruang ganti bersama beberapa pegawainya.
Tersisa Panji dan Selma, dua manusia berlainan jenis yang dipersatukan oleh prahara salah paham. Tak ada interaksi yang berarti. Selma sibuk dengan pesan grup dalam ponsel, sementara Panji hanya hening sambil melemparkan sorot tajam ke arah gadis yang bahkan mempedulikannya pun tidak. Aneh, pria itu masih terbayang betapa mempesona Selma saat mengenakan gaun pengantin tadi.
Sudah hampir setengah jam berlalu, tetapi Sana belum juga dipertontonkan dari balik tirai layaknya Selma tadi. Kesibukan berhenti, Selma mengetuk-ngetuk ponselnya sembari menatap bosan ke arah ruang ganti. Hari ini memang tidak ada baik-baiknya. Sudah berubah status menjadi jomblo, bermasalah dengan Panji, dan sekarang harus menunggui Sana bersama pria menyebalkan itu. Terlepas dari semua, adakah yang pantas Selma syukuri selain kesempatan hidup yang diberikan Tuhan padanya?
“Kenapa lama sekali?” Panji bangkit dari sofa, hendak memasuki ruang ganti Sana.
“Heh, mau ke mana, Om?” tegur Selma.
“Kamu pikir ke mana lagi.”
“Payah,” Selma meninggalkan sofa juga, “Om nggak malu masuk ke ruang ganti perempuan? Iya, saya tahu kalau Sana bakal jadi istri Om, tapi kalau sekarang sama aja Om ngintip anak perawan,” ejeknya.
Panji berkacak pinggang, menatap Selma dengan segala kemurkaan yang tampil di tepi muka. “Lalu, kamu mau saya bagaimana? Mereka lama sekali,” pria itu melempar pandangan ke arah lain, “padahal kamu tadi tidak selama ini,” imbuhnya, sedikit lirih bin gengsi.
“Kalau cuma ngecek ke dalam, saya lebih pantas daripada Om.” Selma melangkah santai ke ruang ganti, diiringi kepalan tangan Panji yang meredam emosi di udara.
Baru kali ini ada yang berani semena-mena padanya. Akan Panji pastikan untuk membuat Selma mendapat pelajaran setimpal atas perlakuan kurang ajarnya hari ini. Lihat saja, gadis itu akan diluruskan akhlaknya setelah ia resmi masuk ke lingkup keluarga Vallence.
“Coba, carikan ukuran lain.”
Selma heran melihat jajaran gaun di dalam ruang ganti Sana. Sepupunya itu belum menunjukkan apa-apa pada Panji, tapi sepertinya gaun berserakan itu sudah dikenakan semua. Ah, itu Sana. Mengapa sepupunya itu tampak gelisah?
“Ini kenapa, kok berantakan banget?” Selma mendekati Sana. “Lo nggak kasih lihat gaunnya ke Om Panji, kenapa anteng di sini aja?” tanya gadis itu, dibalas senyum kikuk oleh Sana.
“Maaf, Nona, sepertinya saya harus membicarakannya dengan Tuan Panji. Kalau beliau berkenan, maka kita bisa menunggu beberapa saat lagi untuk melakukan pemesanan gaun secara khusus. Permisi.” Madam Runi keluar dari ruang ganti, menyisakan tatapan menelisik Selma untuk Sana.
“San, ini kenapa?”
“Gaun pengantinnya … nggak muat,” jawab Sana, kepalanya menunduk dalam.
Ah, pasti Sana bercanda. Mana mungkin tidak muat, bagian tubuh mana yang tidak cukup dibungkus gaun cantk-cantik itu. Selma pikir Sana tidak segemuk itu, kurang lebih ukuran tubuh mereka sebelas-dua belas. Biasanya saja mereka sempat dikira kembar jika dilihat dari belakang. Kalau tadi gaunnya muat ia pakai, harusnya muat juga di tubuh Sana.
“Apa?”
Pecut pita suara Panji terdengar sampai ke ruang ganti, Selma segera keluar untuk memastikan sesuatu yang buruk tidak terjadi. Sekilas ia lihat, muka Sana memerah dan buku jari gadis itu mengerut ke dalam genggaman.
“Kami bermasalah di bagian pinggang dan sekitaran perut, Tuan. Apa Tuan yakin, tidak terjadi sesuatu di antara kalian? Seperti … berhubungan–”
“Tidak! Saya belum menyentuhnya, ini adalah pertemuan pertama kita. Madam harusnya juga tahu seperti apa keluputan saya sampai keliru membawa wanita lain ke sini.”
“Maaf, menyela,” Selma tiba-tiba muncul, “Sana bukan wanita seperti yang kalian bicarakan,” klaim gadis itu, sangat yakin tidak mengandung kekeliruan di setiap embusan napasnya.
Madam Runi menatap ragu. “Maafkan kelancangan saya, Nona. Saya juga tidak berharap itu benar. Namun, saya tidak mungkin menodai pengalaman saya sebagai ibu dengan tuduhan tidak berdasar,” ujar wanita itu, begitu hati-hati dan lirih.
Tatapan Selma berakhir pada Panji. Sebanyak apa pun ia kesal terhadap pria itu, pikirannya masih sadar untuk tidak menuduh orang yang bahkan baru mengenal Sana hari ini. Angsana Vallence. Apa yang Madam Runi katakan tentang sepupunya itu adalah kebenaran?
Sret!Panji merebut kunci mobil dari tangan Sana. “Kamu pulang sendiri, ada yang harus kubicarakan dengan Nona Angsana,” ucapnya, ditujukan pada Selma.Acara fitting baju pengantin gagal total, bahkan sampai jam operasional butik hampir selesai pun tidak ada yang bisa diperoleh melainkan sebuah kerumitan. Dari tatapan pria itu, Selma memiliki firasat yang tidak baik. Kendati demikian, gadis itu seratus persen yakin bahwa Sana tidak seperti yang Madam Runi dan Panji bicarakan.“Hati-hati, ya, Om! Kalau sampai Sana kenapa-kenapa,” Selma menudingkan telunjuk, “urusannya sama saya!” peringat gadis itu.“Justru kalian yang akan berada dalam masalah karena mencoba menipu saya.” Selesai dengan kalimatnya, Panji menarik Sana dengan kasar. Calon pengantin baru itu meninggalkan butik lebih dulu.“Siapa yang menipu siapa, perasaan dari tadi nggak ada satu pun omongan gue yang dipercaya. Ampun, deh!”
“Pa, jangan tarik-tarik, dong!” protes Selma, kaki gadis itu tertatih mengimbangi sang ayah yang melangkah lebar sambil menenteng lengannya. Bruk! Setelah memaksa Selma duduk di sebelah Damar, Sasmara memelototi gadis itu. “Diam, jangan banyak ulah!” peringatnya. Gadis itu kesusahan menelan saliva, lantas merapatkan dua lembar bibirnya secara paksa. Ternyata memang benar, ia kelewat terlambat di pertemuan krusial itu. Lihat, seluruh akar hingga cabang keluarga Vallence sudah berjajar lengkap–kecuali Sana–di ruang tamu Kakek Sagara, bahkan seorang Panji yang bukan siapa-siapa saja ikut hadir di sana. Gadis yang semula memberontak itu terpaksa hening setelah dirasuki atmosfer tidak ramah dari orang-orang di sekitar. “Tama!” Pita suara Kakek Sagara memecut dari arah pintu utama, meneriakkan nama sang putra sulung. Netranya sama sekali tidak berkedip, menjurus pada satu orang yang tengah menenangkan tangisan sang istri. Langkah demi langkah semakin mendekat, membuat nuansa tegang kian
“Maksudmu adalah Selma?” timpal Sasmara, diakhiri dengan menunjuk putri semata wayangnya. “A-apa? Tunggu, tunggu!” Selma berekspresi aneh, rumit untuk dijabarkan seperti kondisi otaknya yang tiba-tiba buram. Seluruh mata langsung terfokus pada gadis itu, terlebih lagi Panji. Pria itu semakin jelas menunjukkan niatnya di muka, menggariskan bibir miring yang mana maksudnya hanya dipahami oleh Selma. Panji mengangguk. “Siapa lagi, Tuan Sasmara? Apakah Anda memiliki putri selain dia?” tanyanya. “Om Panji jangan bercanda, ya!” seru Selma, diiringi dengan tatapan nyalak. Kakek Sagara mengerutkan dahi, semakin memperjelas garis penuaan di wajahnya. “Memang benar, satu-satunya kandidat yang mungkin hanyalah Selma,” tutur pria itu. “Kalau kau menolak Sana, cucuku tersisa dia dan Damar,” pungkasnya. Lelucon macam apa lagi ini, Selma sampai terbengong saking gagalnya diajak melawak. Seumur hidup, baru kali ini telinganya diperdengarkan candaan yang menyebalkan. Ia mencoba untuk tidak serius
“Lihat! Gara-gara kamu, Kakek jadi sakit!” omel Sasmara, suaranya berdesis mengisi keheningan ruang keluarga di rumah utama. Bahu Selma bergetar hebat, bahkan tangis membuat tenggorkan gadis itu sulit menjawab tuduhan yang dilayangkan ayahnya. Semua orang yang ada di sana dengan mudah melimpahkan salah padanya, padahal sudah jelas siapa yang lebih pantas dihakimi daripada dirinya. Membuat jantung kakeknya kambuh sama sekali bukan tujuan Selma, tetapi itu semua juga di luar kendalinya. Dokter yang memeriksa Kakek Sagara baru saja pulang. Sekarang, pria tua itu tengah beristirahat di kamar bersama Nenek Sasti. Semua anggota keluarga masih lengkap ada di sana, bahkan Panji mendadak seperti pengangguran dan meninggalkan perusahaannya begitu saja. Entah apa urusan pria itu, tetapi keberadaannya tidak ada yang menolak. Oh, kecuali Selma tentunya. “Pa, sudah. Jangan bikin suasana makin ribut, Ayah masih butuh istirahat,” lerai Azalea. Wanita itu kemudian mengelus pundak putrinya sambil ber
Blam! “Selma!” Mengetahui sepupunya baru tiba, Damar segera menghampiri gadis itu. “Sel!” panggilnya, setengah berteriak. Gadis itu pun menoleh. “Kak Damar ….” Air mata Selma tumpah begitu saja di pelukan Damar. Mungkin para orang tua tidak tahu, tetapi sedalam-dalamnya perasaan tetap saja mereka bisa saling mengerti. Entah Sana sudah kembali atau belum, ia tidak bisa menduga hanya dengan menatap kerisauan di wajah Damar. Damar mengurai dekapannya, lalu menghapus air mata Selma. “Kamu dari mana aja? Aku khawatir, tahu,” lapor pria itu. “Sana mana, Kak? Dia udah pulang?” Enggan menjawab pertanyaan kakaknya, Selma justru mendapat perlakuan serupa dari Damar. Pria itu terlihat tidak memiliki penjelasan lewat ekspresi masamnya. Dilihat dari sisi garasi pun, gadis itu seharusnya tahu bahwa kendaraan yang ditumpangi Sana belum masuk kandang lagi. “Kita ngobrol di dalam aja, Sel,” ajak Damar, bermaksud menuju rumahnya. Setibanya di kamar pria itu, Selma langsung menghambur ke sudut fa
“Gimana, nih? Menjijikkan, itu kaya bukan gue banget.” Selma masih terbayang-bayang testpack temuannya kemarin. Namun, sejijik apa pun itu, tetap harus ia tempuh jika memang bisa menyelamatkannya dari Panji. Tidak apa, toh pada kenyataannya ia masih perawan. Asal perjodohan ini batal dahulu, setelahnya bisa dipikir nanti. “Mbak Selma, saya mau cari makan siang, mau nitip?” tawar Risda, karyawati florist milik Selma. Gadis itu menggeleng, lalu menjawab, “Terima kasih, kamu aja. Ajak yang lainnya makan juga biar saya yang handle di sini, mumpung sepi.” “Baik, Mbak. Saya duluan kalau gitu,” pamit Risda, lalu terlihat menghampiri dua rekannya yang lain. Toko bunga sederhana ini dirintis Selma sejak masih duduk di bangku kuliah, tentu menggunakan uang tabungannya sendiri. Dulu tidak sebesar ini, sekarang sudah cukup untuk menampung aneka jenis warna dan aroma kesukaan gadis itu. Hanya dengan menatap mahkota yang bermekaran, ia dengan mudah menanggalkan beban pikiran. Biasanya semua tr
“Sana?” Mata Selma sampai lupa diajak berkedip, begitu intens menelisik sosok yang mencegatnya di halaman. Dengan mata berkaca, Sana memeluk sepupunya tersebut. “I’m sorry, Sel,” lirihnya. Sejujurnya Selma bingung harus bereaksi seperti apa. Saking terkejutnya, ia sampai lupa mengangkat tangan untuk membalas sepupunya. Pantas beberapa waktu belakangan ia selalu ditolak setiap kali hendak memeluk, ternyata benjolan perut sepupunya itu sudah kentara dan cukup menggelikan. “Selma, kamu marah sama aku?” Sana mengakhiri dekapan, menghapus air mata yang mengalir tipis di pipi tembam miliknya. “Harusnya lo tahu perasaan gue, San.” Air mata Sana sedikit menderas. “Aku minta maaf, Sel,” mohonnya, mengguncang lengan Selma. “Tapi gue lebih marah sama diri sendiri karena nggak bisa marah sama lo.” Kedua ibu jari Selma menyingkirkan air mata Sana. “Are you okay, Dear?” Air mata itu kini berpindah sumber ke pelupuknya sendiri. Ini berat, sangat berat. Definisi pura-pura kuat di depan orang ya
“Aaa … g–gue, gue nggak mau!” Air mata Selma giat membasahi bantal Sana, tangannya geram sekali hingga meremas objek empuk itu dengan penuh luapan emosi. “Sorry, Sel, gue pikir lo udah tahu soal itu.” Sana menggigiti bibirnya, merasa bersalah. “Ngapain lo minta maaf? Justru salah kalau gue tahunya pas udah nikah.” Selma berdiri, membanting bantal yang semula begitu lekat dengan wajahnya. “Ini nggak adil! Gue bakal bikin perhitungan sama itu laki penipu!” Kaki gadis itu brutal menjejaki lantai, untungnya Sana tidak membuntuti. Bruk! Selma bergerak tanpa membawa akal sehat hingga kebablasan menubruk Damar di ruang tengah. Masih dengan energi putus-nyambung, gadis itu memperhatikan penampilan sepupunya yang sudah tidak mengenakan setelan kerja lagi. “Kak Damar mau ke mana?” Seraya mengenakan jaket kulit hitamnya, Damar menjawab, “Nggak ke mana-mana.” “Jangan bohong!” bantah Selma, “Kakak mau ke mana?” tedasnya, dengan tatapan mengintimidasi. “Jangan bilang siapa-siapa.” Pria itu m