Mata Emier menyala-nyala dipenuhi oleh amarah. Sudah cukup dia dibuat pusing dengan keborosan Issabel akhir-akhir ini, kini dia Issabel kembali membuat ulah yang semakin membebani pikiran Emier.“Kemana saja sebenarnya kau pergi Issabel? Mengapa kau tidak pernah berhenti membuat masalah yang membuatku terus kesulitan?”Issabel terdiam seribu bahasa, dia kesulitan untuk membela diri dalam situasi yang sulit ini, satu-satunya cara yang bisa Issabel lakukan adalah dengan membujuk Emier. “Nolan!” teriak Emier memanggil.“Emier.” Dengan terburu-buru Issabel memeluk lengan Emier. “Jangan salahkan Nolan, dia tidak tahu apa-apa, aku membawanya sendiri saat pergi ke butik malam kemarin, maafkan aku. Kau jangan khawatir, aku akan memperbaikinya dengan uang tabunganku,” bujuk Issabel berusaha meredakan amarah Emier.Issabel harus melindungi Nolan agar dia terhindar dari masalah apapun yang kemungkinan bisa membuat Nolan dipecat.“Ini bukan hanya masalah tentang uang Issabel, ini tentang kebiasa
Diantara lalu lalang orang-orang yang berjalan, Emier melihat keberadaan Floryn yang tengah duduk sendirian sambil makan, pandangan mereka saling bertemu dan mengunci.Sorot mata Emier begitu tajam dipenuhi kebencian yang tidak terelakan.Cerita Floryn dimalam itu tidak cukup mampu membuat Emier luluh apalagi memaafkan tindakannya. Cara kepergian Rafaela dan Abra jelas berbeda.Emier mengakui kesalahannya, namun kematian Rafaela bukanlah tanggung jawabnya dengan Issabel.Rafaela pergi atas keputusannya sendiri yang menyerah begitu saja, berbeda dengan Abra yang pergi karena dibunuh.Tangan Emier terkepal kuat, matanya bergerak meneliti penampilan Floryn yang kini terlihat rapi dan mampu berpakaian bagus, dia tidak lagi kusut kotor seperti gelandangan, tidak ada tas yang dia gendong.Floryn mampu makan tanpa mengais sampah dan mengantri makanan gratis.Batin Emier mulai bertanya-tanya, darimana Floryn bisa mendapatkan itu semua dalam waktu cepat? Seharusnya kini dia luntang-lantung da
“Aku bukan pembunuh,” jawab Floryn gemetar, membela dirinya sendiri dari tuduhan yang sama.Issabel tersenyum sinis mendengar jawaban Floryn. “Bukan pembunuh katamu?” Issabel mendorong Floryn sampai gadis itu itu mundur beberapa langkah. “Jika kau tidak membunuh, kau tidak mungkin mendekam dipenjara!” “Cukup Issabel,” bisik Emier kembali mengingatkan, “ini bukan saat yang tepat.”“Tidak Emier. Pembunuh ini sudah mendapatkan hukuman didalam penjara, namun sampai detik ini aku tidak pernah sekalipun mendengarkan permintaan maafnya setelah dia membunuh putraku!” jawab Issabel menunjuk mata Floryn.Ucapan Issabel yang menggebu-gebu penuh amarah bercampur kesedihan membuat Emier tidak tega untuk menahannya.“Minta maaf dan bersujud di kakiku!” tuntut Issabel kembali mendorong Floryn agar terjatuh ke lantai.Floryn memeluk lebih kuat paper bagnya agar tidak jatuh, gadis itu mengedarkan pandangannya hanya untuk melihat jika tidak ada satu orangpun yang berusaha merelai. Orang-orang yang ber
Issabel berjalan tergesa, suara ketukan heelsnya terdengar tajam disetiap langkah yang dia ambil. Wajah Issabel terlihat suram karena amarah yang sangat sulit untuk dikendalikan.Dibandingkan merasa puas karena telah meluapkan amarahnya dan mempermalukan Floryn didepan umum, justru kini Issabel menjadi semakin kesal pada gadis itu.Setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Floryn tidak pernah berubah, dia masih keras kepala, angkuh dan berani kepadanya.Watak gadis itu sungguh membuat Issabel semakin ingin menyakitinya dan melihat keterpurukannya hingga titik dimana Issabel menyaksikan dia berlutut dibawah kakinya untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi.Issabel menyibak rambutnya dengan kasar, dilihatnya Emier yang sejak tadi tidak banyak berbicara dan sibuk dengan pikirannya sendiri. “Ada apa denganmu? Kenapa kau tidak melakukan apapun untuk mendukungku Emier? Sejak tadi kau hanya menonton apa yang tengah terjadi,” cecar Issabel meluapkan kekesalannya.”“Memangnya apa yan
Gerbang besar didepan Floryn terbuka begitu dia sampai didepan kediaman keluarga Morgan.“Selamat pagi Paman,” sapa Floryn tersenyum kepada seorang lelaki yang kini tengah duduk di bangku pos menikmati sarapan pagi.“Selamat pagi Flo.” Seperti hari-hari sebelumnya, Floryn menyapa tukang kebun yang tengah memotong rumput dan menyirami bunga, pelayan yang berlalu lalang Floryn senang dia bisa langsung akrab dengan semua orang, terkecuali Daisy.Pelayan itu masih gigih berusaha mengingat Floryn, dia kukuh dengan pendiriannya bahwa dia pernah melihat Floryn, dalam beberapa kesempatan setiap kali mereka berpapasan dan makan bersama, Daisy tidak pernah berhenti menatap Floryn hingga harus ditegur oleh beberapa pelayan lain.Floryn berharap rasa penasaran Daisy akan segera berakhir seiring dengan berjalannya waktu. Floryn bekerja di rumah ini dengan niat yang baik meski ada sebuah kebohongan yang telah dia ciptakan dibaliknya.Keberadaan kamar Nara berada di bagian utara, Floryn membelokan
Bayangan Floryn mulai menghilang di spion seiring dengan mobil yang bergerak semakin menjauh dari kediaman keluarga Morgan.Alfred meremas udara ditangannya, dia masih sangat kesal dengan tutur kata Floryn yang menghempaskannya seperti menendang krikil di jalanan. Itu cukup menyakitkan untuk seseorang yang tidak terbiasa dengan penolakan.Ali yang tengah menyetir, beberapa kali melihat spion, memperhatikan tuan mudanya yang terlihat muram.Ali sudah mendampingi Alfred sejak dia masih berada sekolah dasar hingga kini berusia dua puluh delapan tahun, dan sebentar lagi dia akan menjadi peminpin menggantikan posisi Steve Morgan.Ali tahu betul sifat Alfred seperti apa. Alfred sosok orang yang tidak peduli dengan ha-hal yang ada disekitarnya, tidak mudah juga untuk bisa memiliki ikatan dengannya, bahkan Alfred menolak melakukan sentuhan fisik dengan sembarangan orang.Banyak orang yang menilainya sebagai sososk pria angkuh.Anehnya, Floryn adalah sebuah pengecualian yang tidak pernah Ali
Julliet menghampiri salah seorang pekerja. “Ada apa ini?”“Kami sedang memasang beberapa lampu untuk menerangi tangga,” jawab pekerja itu seraya menurunkan topi keamannnya.Julliet berdecak pinggang, dia menghitung ada lima tiang lampu yang kini tengah dibangun sementara tiang lampu yang lama sudah diruntuhkan. Julliet tidak mengerti, dia sudah tinggal di tempat ini sejak berusia sepuluh tahun, baru kali ini wilayah kumuh tempatnya tinggal mendapatkan perhatian lagi dari pemerintahan setempat.Julliet kembali memusatkan perhatiannya pada para pekerja yang berseragam sebuah perusahaan, bukan seragam khusus pegawai pemerintahan. “Tangga ini hanya tertuju pada satu rumah. Aku tidak pernah menelpon siapapun untuk melakukan pekerjaan ini, aku tidak perlu membayar apapun kan?” Pekerja itu tersenyum lebar. “Tentu saja Nona, semua pekerjaan ini sudah dibayar oleh seseorang.”Kening Julliet mengerut seketika. “Seseorang?”Pekerja itu mengangguk membenarkan. “Saya tidak tahu persisnya seper
Floryn berdiri di depan pintu ruangan makan, ditengah kesunyian yang ada beberapa kali dia menengok ke belakang, melihat Nara yang tengah duduk sendirian diantara kursi-kursi kosong tanpa pemiliknya. Alfred telah pergi bekerja, sementara Nathalia dan Steve sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.Nara terlihat kesepian, anak itu tidak begitu menikmati sarapan paginya dan kedapatan hanya mengaduk-ngaduknya saja sejak beberapa menit yang lalu.Menyadari tidak adanya orang-orang disekitar, Floryn memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan makan, gadis itu membungkuk di belakang kursi tempat Nara duduk. “Nona,” panggil Floryn berbisik pelan.Nara sedikit terperanjat, anak itu melihat ke belakang, terdapat Floryn yang tengah berjongkok sambil bersandar pada kaki kursi yang didudukinya.“Nona, mengapa Anda tidak makan?” bisik Floryn penuh kehati-hatian.Nara membuang muka, dia kembali teringat dengan percakapan para pelayan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Mereka mengata