Ketika Tuan Muda Arvin melihat wajah Kiya, ia merasa khawatir. Wajah Kiya terlihat sembab dan pucat, menandakan bahwa ia masih sakit. Namun, meskipun kondisinya belum pulih sepenuhnya, Kiya tetap bersedia menemani Arvin untuk berlatih berjalan.Arvin menginjak kedua kakinya pada lantai dengan berpegangan pada alat peraga di dekatnya. Kiya berdiri di sisinya dengan memperhatikan gerakan dan langkah Arvin. Meskipun Kiya diam dan tidak berkomentar apapun, jelas terlihat bahwa ia khawatir dan ingin memastikan Arvin aman selama berlatih.Namun, tiba-tiba Arvin kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kiya cepat bereaksi untuk menolongnya, menarik lengannya agar Arvin tidak benar-benar jatuh."Biar Kiya bantu," ucap Kiya dengan suara lembut, menawarkan bantuan pada Arvin."Enggak, aku bisa sendiri," jawab Arvin dengan sedikit kesal. Dia ingin membuktikan pada Kiya bahwa ia bisa melakukan apapun sendiri dan tidak bergantung pada orang lain.Kiya memperhatikan Arvin dengan seksama saat ia mencob
Di sebuah meja makan, Kiya duduk bersama Arvin, Nyonya Ratih, dan seluruh staf pelayan yang lainnya. Makan malam disajikan dalam suasana yang indah di teras rumah keluarga Arvin yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan.Mereka duduk untuk menikmati makanan yang tersedia di meja. Kiya hanya memperhatikan Rey saat ia sedang menikmati santapannya dengan lahap."Aku ingin ayam bagian kanan," ucap Rey sambil menunjuk pada potongan ayam yang berada di depan Arvin."Yang mana yang kanan? Sejauh ini, aku tidak melihat adanya tanda penunjuk pada potongan ayam untuk membedakan antara kanan dan kiri," tanya Kiya dengan nada agak kesal."Kalau begitu, mohon ambilkan yang bagian kanan atau tanyakan pada si ayam sendiri," jawab Rey dengan sok cuek.Seketika suasan di dalam ruangan tersebut menjadi riuh gembira karena mereka menertawakan apa yang telah diucapkan oleh Rey. Tawa riang terdengar di seluruh ruangan dan bahkan seorang pria bernama Arvin pun tersenyum kecil ketika melihat Rey dengan
Ketika Dinda memasuki kamar Arvin, ia langsung memberikan salam pagi dengan ramah."Selamat pagi, Tuan," ucapnya sopan.Arvin memandang Dinda, masih terbaring di atas tempat tidur dan masih terlihat kurang segar. Namun, ia tak dapat menahan rasa penasaran saat melihat ke hadapan."Kok kamu bukan Kiya? mana Kiya?" tanya Arvin penasaran."Duh, Kiya terlambat bangun pagi. Ia sedang mandi," jawab Dinda sambil mempersiapkan sarapan Arvin. Ia meletakkan susu dan roti di atas meja kecil di sebelah tempat tidur Arvin.Arvin merespon jawaban Dinda dengan mengangguk saja tanpa berkata apa-apa. Ia masih menatap bingung ke depan, sementara Dinda merapikan meja makan.Arvin masih menatap ke arah lampu gantung di atas plafon kamar tidurnya, seakan tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Walaupun mata terbuka lebar, raut wajahnya masih menampakkan tanda-tanda mengantuk.Namun, Dinda mengamati Arvin dari jauh dan terus memantau tubuh tuannya yang malas bangkit. Ia menunggu Kiya datang, sementara caha
Terlahir dari keluarga petani padi, kondisi keuangan keluarganya hanya bergantung pada hasil panen. Seorang gadis berusia 21 tahun yang baru saja menerima ijazah dengan status perawat memilih untuk mencoba mencari pekerjaan di kota untuk memperbaiki keadaan keuangan keluarganya. Selain itu, dia juga ingin menghindari kejaran juragan tanah seorang lelaki tua bangka. Zakiya Zahira yang lebih akrab dipanggil Kiya sangat menunjukkan keteguhan dan kebijaksanaannya. Terlepas dari kenyataan bahwa Kiya merupakan gadis kampung yang masih naif, dia tidak melupakan prinsip hidupnya. Ia tidak ingin menerima tawaran dari juragan sekalipun dengan iming-iming apapun. "Apakah Mbak Kiya benar-benar pergi ke kota hari ini?" tanya Ara kepada kakaknya."Tidakkah kamu melihat Mbak membawa koper sebesar ini?" Kiya replied sambil merapikan rambut Ara."Ara tidak punya teman di sini," kata Ara dengan polos.Kiya tersenyum melihat adiknya yang polos. Kemudian, dengan lembut dia merangkul Ara dan berkata, "T
“Kau bisa apa sekarang?” tanya Zee pada Arvin yang terbaring lemah di tempat tidur. Arvin tersenyum tipis, namun ia merasa terpojok oleh pertanyaan Zee. Ia tidak tahu harus menjawab apa, apa lagi menjelaskan kondisinya saat ini.“Saat ini, aku tidak bisa melakukan banyak hal.” Jawab Arvin dengan suara perlahan.Zeeshan Carameda Maida, wanita yang dicintai oleh Arvin Nirwan Kusuma, hampir saja kehilangan Arvin, kekasihnya, setahun sebelum pernikahannya. Lelaki 27 tahun itu mengalami kecelakaan hebat beberapa minggu sebelum hari anniversary . Saat itu, sebuah truk bermuatan berat menabrak mobil Arvin di dini hari.Mobil yang dikendarai Arvin terpental beberapa meter dari tempat kejadian, dan terguling beberapa kali sebelum akhirnya terhimpit oleh kendaraannya sendiri dan terbakar. Namun, beruntunglah beberapa warga sekitar segera menarik tubuh Arvin dari dalam mobil yang terbakar tersebut.Arvin merasa sakit hati mendengar kata-kata yang kasar dari Zee. Terlebih lagi, di waktu seperti i
Kiya berdiri dengan kedua tangan melipat di dadanya , memandang ke arah lelaki yang akan menjadi pasiennya. Dia melihat Arvin yang masih terus mengamuk, menyakitinya sendiri bahkan orang-orang yang ada di sekitarnya."Biar kan saja dia mengamuk, nyonya jangan beri dia makan dan minum," ujar Kiya dengan tegas. Dia melihat Arvin terus mengamuk dan merasa bahwa memberikan makanan dan minuman mungkin akan membuat kondisi Arvin semakin parah.Namun, Nyonya Ratih lebih berfokus pada keadaan kesehatan Arvin. Dia berkata, "Tapi Arvin harus minum obat."Kiya merasa bahwa memberikan obat mungkin akan sulit saat Arvin masih dalam keadaan marah seperti ini dan merasa kesulitan untuk merawatnya. Namun, dia memberikan bantal yang tergeletak di lantai dan dengan lembut memasangnya di bawah kepala Arvin."Percayalah, tuan tidak akan mati sekarang. Cukup biarkan dia mengamuk dan jangan beri dia makan dan minum obat sekarang, Nyonya," jawab Kiya dengan penuh kehati-hatian.Kiya terus memandang Arvin de
"Aku tidak akan mudah percaya padamu apalagi kau orang asing di hidupku. Suster Kiya! Lihat saja apa yang akan kuperbuat sampai kau pergi dari rumah ini," gumam Arvin dengan wajah yang mengekspresikan rasa ketidaksukaannya.Namun, Kiya justru menunjukkan profesionalisme dalam menangani situasi tersebut. Meskipun disinggung oleh Arvin, Kiya masih dapat memberikan pelayanan dengan baik. "Tuan, Kiya ke dapur dulu ya," pamit Kiya setelah berhasil membersihkan makanan yang dibuang oleh Arvin. Namun, Arvin hanya diam dan memberikan jawaban yang singkat yaitu "Hmm".Arvin lalu mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas diterima oleh Kiya. "Aku akan buat kamu ilfil, malu," gumam Arvin. Meskipun begitu, Kiya tetap menjalankan tugasnya tanpa menunjukkan perasaan yang terlalu dirugikan oleh kata-kata kasar dari Arvin.Kiya merasa terkesima melihat dapur yang penuh dengan ornamen glamor. Ia hanya bisa merenung sejenak dan teringat akan kampung tempat ia dibesarkan, dimana segala sesuatunya terbila
Nyonya Ratih begitu cemas tentang kesehatan putranya dan menatap Kiya dengan tatapan harap-harap cemas. Takut jika putranya akan tamnah sakit dan semakin hari semakin memburuk. “Aku meminta padamu suster Kiya,” kata nyonya Ratih, menggenggam tangannya dengan erat. “Hanya bisa berharap padamu untuk kesembuhan putraku,” tambahnya dengan nada khawatir dalam suaranya.Kiya merasakan kekhawatiran Nyonya Ratih dan melepaskan satu tangannya seraya mengusap bahu ibu yang cemas itu. Dia ingin menenangkan orang tua itu agar tidak khawatir berlebihan, "Ini sudah tanggung jawab Kiya," jawabnya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian. "Nyonya tidak perlu khawatir, Kiya akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan tuan arvin nyonya.”"Terima kasih banyak, jika gaji kamu kurang akan saya tambah," ucapnya dengan nada tulus.Namun, Kiya menolak tawaran tersebut dan mengatakan bahwa itu tidak perlu, "Tidak nyonya, itu sudah sangat cukup dan malah lebih banyak dari gaji saya di kampung halaman.""P