“Kak Cia,” teriak Bian yang terkejut saat membuka pintu kamar. Dia yang melihat Cia sedang memegangi pecahan gelas langsung berlari masuk ke kamar Cia. Saat sampai di pinggir tempat tidur, dia meletakkan makanan yang dibawanya dan bergegas mencegah Cia yang sedang ingin memotong nadinya.
“Biarkan aku, Bi,” ucapnya menangis. Berusaha keras untuk melepaskan tangannya yang dicengkeram oleh Bian. “Jangan gila, Kak. Apa begini caramu menghadapi hidup?” tanyanya. Tangannya terus berusaha menghalau Cia yang berusaha memotong nadinya. Bian berusaha keras untuk melepas pecahan gelas yang berada di tangan Cia. Setelah bersusah payah, akhirnya Bian dapat melepaskan pecahan gelas tersebut. Namun, tangan Cia sudah tergores sedikit. “Hidupku sudah tidak berarti lagi, Bi.” Air mata Cia mengalir deras dari mata indahnya. Merasa dirinya hancur setelah mendapati jika dia akhirnya hamil. Sedari tadi dia memikirkan bagaimana menghadapinya, dan mati adalah jawaban dari semua pertanyaannya. “Tidak ada manusia yang hidup tidak berarti,” ucap Bian. Dia membawa Cia ke dalam pelukannya. “Saat kamu merasakan hidupmu tidak berarti lagi, ingatlah jika sebenarnya hidupmu berarti untuk orang lain. Masih ada orang tua, kakak, adik, dan teman yang berharap kamu hidup bersama.” Tangan Bian membelai lembut rambut Cia. Di dalam pelukan Bian, Cia hanya bisa menangis. Rasanya, dia tidak kuat menanggung semua ini. “Tapi, jika mereka semua tahu, mereka tidak akan mau hidup bersamaku.” “Memangnya apa yang akan mereka tahu hingga membuat keputusan tidak mau hidup denganmu?” Cia tak berani menjawab. Dia justru menangis. Bian yang menyadari hal itu pun akhirnya memilih untuk tidak memaksa Cia. “Sebaiknya kamu istirahat saja. Jangan pikirkan apa pun sekarang.” Bian melepaskan pelukannya. Membantu Cia untuk tidur. Tubuh Cia yang lemas pun mengikuti apa yang dilakukan Bian. Merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Bian beralih membersihkan pecahan gelas. Dia pun tak lupa mengambil benda-benda yang bisa dipakai Cia untuk melakukan hal konyol lagi. Kali ini, Bian memilih untuk tidur di kamar Cia. Tak mau meninggalkan Cia barang sedikit, mengingat Cia baru saja melakukan hal nekad. Bian yang kembali ke kamar, membawa plester dan obat untuk tangan Cia yang tergores. Mengobatinya, agar tidak terjadi infeksi. Bian pun mengirim pesan pada kakaknya agar ke rumah dengan menaiki taksi, karena dia tidak bisa menjemput. Tak berani meninggalkan Cia sendirian. Sepanjang malam, Bian berjaga. Memastikan Cia tidak akan mengulang hal gila. ***El dan Freya sampai di Bandara. El menyalakan ponselnya untuk menghubungi Bian, tetapi justru mendapati pesan jika adiknya itu tidak bisa menjemput. “Bian tidak bisa menjemput, karena tidak berani meninggalkan Cia,” ucap El pada istrinya. Cia mengembuskan napasnya. Semakin khawatir dengan apa yang akan terjadi dengan adiknya. Dia pun mengangguk, menyetujui untuk menggunakan taksi ke rumah kediaman Maxton. Taksi sampai di kediaman Maxton. Cia yang begitu khawatir dengan adiknya bergegas masuk. Meninggalkan El yang masih harus menurunkan koper. Asisten rumah tangga membukakan pintu untuk Freya, membuatnya bisa segera masuk ke rumah. Tempat pertama yang dituju Freya adalah kamar Cia. Di sana Freya melihat adiknya meringkuk di tempat tidur. Bian duduk tepat di sofa di seberang tempat tidur. Berdiri saat melihat kakak iparnya sudah datang. “Kak,” ucap Bian. Saat mendengar Bian bersuara, Cia langsung menoleh ke arah pintu. Dilihatnya kakaknya di sana. “Kak,” panggilnya. Air matanya kembali menetes. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia buang untuk semua yang terjadi. Yang jelas, itu membuat matanya begitu sembab. “Cia.” Freya benar-benar tidak tega melihat apa yang terjadi pada adiknya. Wajah yang biasanya ceria tampak begitu menyedihkan. Yang dilihatnya sekarang Cia dengan mata sembab dan wajah pucat. Freya langsung menghampiri adiknya. Membawanya ke dalam pelukan. Isak tangis Cia pun kembali pecah ketika berada di dalam pelukan kakaknya. “Apa yang terjadi?” tanyanya. Cia tak bisa menjawab. Hanya bisa menangis saja. Dia tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. El yang baru masuk ke dalam kamar, mendapati istrinya yang sedang memeluk adiknya. Masuk ke kamar, dia ikut duduk bergabung dengan istrinya. Duduk tepat di samping sang istri dan menatap adik iparnya. “Apa yang terjadi?” tanyanya. Tak ada jawaban dari Cia. Dia masih menangis seperti kemarin-kemarin. “Aku sudah bertanya berkali-kali, tetapi dia tidak mau menjawabnya,” ucap Bian pada kakaknya. El menatap adik iparnya. Terlihat jelas jika adik iparnya begitu rapuh. Namun, jika dia tidak tahu masalahnya apa, tidak akan mungkin bisa dia menyelesaikan semua itu. “Jika kamu tidak menceritakan apa yang terjadi, bagaimana kami bisa tahu.” El mencoba membujuk adik iparnya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Cia.“Aku sudah jauh-jauh ke sini dan meninggalkan anak-anak demi kamu. Apa kamu tetap akan bungkam?” Freya melepaskan perlahan tubuh adiknya. Menjangkau wajah cantik yang sekarang tertutup oleh wajah sendu. Tangannya memegangi bahu adiknya. Menyakinkan jika dia bisa berpercaya padanya.Cia menimbang-nimbang apa dari mana dia akan mengatakan pada kakaknya. Mulutnya terasa berat. Namun, melihat pengorbanan kakaknya, dia tak bisa egois. “Baiklah, jika kamu tidak mau mengatakannya.” Freya tidak bisa memaksakan. Menjauhkan tangannya. “Istirahatlah kalau begitu.” Freya beranjak bangun dari tempat tidur. “Aku hamil.”Mendengar hal itu, Freya yang baru saja hendak berdiri-terdiam ketika mendengar apa yang dikatakan oleh adiknya. Membalikkan tubuhnya dia melihat adiknya. “Apa?” tanyanya memastikan. “Aku hamil, Kak,” ucap Cia diiringi isak tangis. Tubuh Freya langsung lemas mendengar hal itu. Tak menyangka jika adiknya hamil saat belum menikah. El yang berada di samping Freya tak kalah kaget. Dia langsung beralih menatap Bian yang berdiri di sisi tempat tidur. Bian yang mendapati tatapan tajam dari kakaknya merasa takut. Padahal dia pun juga terkejut dengan kenyataan jika Cia hamil. “Kamu hamil?” tanya Freya memastikan. “Iya,” jawab Cia.Hancur sudah hati Freya ketika melihat adiknya hamil. Dia tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan kedua orang tuanya jika mengetahui jika putri mereka hamil di luar nikah. “Anak siapa yang kamu kandung?” Freya menggoyang-goyangkan tubuh Cia. “Sayang.” El mencoba menenangkan istrinya. Meminta istrinya agar bicara lebih lembut. Mengingat Cia begitu dengan terpukul.“Aku tidak tahu, Kak.” Cia benar-benar tidak tahu siapa pria yang menghamilinya. Ingin mengatakan jika itu adalah Ken, tetapi dia tidak punya bukti. Namun, tak ada yang terpikir di kepalanya, tentang siapa yang menghamilinya selain Ken.“Bagaimana bisa kamu tidak tahu? Apa kamu diperkosa?” Freya mencari celah untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan adiknya. “Aku tidak tahu, Kak.” “Bagaimana bisa kamu tidak tahu, Ci? Padahal kamu yang melakukannya.” Freya pun ikut menangis. Perasaannya campur aduk. Suaranya yang meninggi terdengar penuh kekesalan dan kekecewaan.El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur. Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekal
Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
El dan Noah sampai di rumah. Rumah tampak sepi. Tak ada seseorang pun di rumah. Mereka tahu ke mana orang-orang itu pergi. Bian sedang di kampus, sedangkan Freya menemani Cia di kamar. “Mau soda?” tanya El.“Boleh.” Noah menatap sejenak pada El dan kembali menatap di mana kamar Cia berada. Sambil mendudukkan tubuhnya, pandangannya tak teralih sama sekali. “Ini.” El memberikan minuman soda pada Noah. Noah menerima minuman dan membukanya. Walaupun tadi sempat minum, tetapi tenggorokannya masih terasa haus. Satu kaleng soda langsung habis saat Noah meminumnya. “Sepertinya kamu haus.” “Biasanya musim gugur tidak akan sepanas ini. Namun, entah kenapa terasa panas.” El hanya tersenyum melihat temannya. “Kalian sudah kembali.” Suara Freya terdengar saat keluar dari kamar. Dia bergegas menghampiri suaminya. Tangannya yang langsung melepas gagang pintu, membuat pintu tidak s
Malam ini El dan Freya bersiap membawa Cia untuk pulang ke Indonesia. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka lama-lama. Lagi pula, lebih aman jika Cia berada di dekat keluarganya. “Tidak mungkin kita membawa Cia pulang langsung ke rumah mama dan papa.” Freya sadar harus menjelaskan pelan-pelan pada papanya. “Sementara Cia akan tinggal di rumah kita, sampai kita bisa menjelaskan pelan-pelan pada papa.” El harus mencari waktu yang pas untuk mengatakan pada mertuanya itu. Freya mengangguk. Merasa apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Jika rumahnya yang paling aman dari pada tempat lain. “Aku masih heran melihat Noah yang tiba-tiba ingin bertanggung jawab.” Sampai detik ini, Freya masih memikirkan hal itu. El tersenyum. Kemarin, setelah kejadian di mana Noah menawarkan diri, dia masih menyempatkan diri mengobrol dengan temannya itu. “Apa yang membuatmu ingin menawarkan diri? Bu
Daddy Bryan yang melihat temannya sebegitu terluka hanya bisa terdiam. Netranya menatap sang istri yang sedang duduk menenangkan temannya. Kejadian Cia sama dengan sang istri. Dia membayangkan jika mungkin orang tua istrinya itu ada, mungkin sama terlukanya dengan temannya saat ini. Ada sedikit terbesit penyesalan di hatinya. Namun, beruntungnya semua sudah terbayar dengan kebahagiaan keluarga mereka.“Sabar. Kamu harus kuat. Jika kamu saja lemah, apa jadinya Cia? Dia butuh dukungan.” Daddy Bryan membelai bahu temannya. Mencoba menenangkan. Felix yang menangis, menghapus air matanya. Anaknya mungkin lebih butuh dirinya. Apalagi sampai sang anak tidak berani pulang untuk menemuinya. Pastinya anaknya takut jika mama dan papanya marah.“Kamu harus kuat. Jangan tinggalkan dia sendiri.” Mommy Shea menatap temannya. Dia tahu bagaimana rasanya dulu sendirian. Tak ada tumpuan untuknya bersandar. Apalagi saat hamil. Mama Chika menatap
Pagi ini, Cia berniat untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Sejak mendapati dirinya hamil, Cia belum pernah memeriksakan kandungannya. Saat keluar samar-samar, dia mendengar suara si kembar-anak dari kakaknya. Suara terdengar ramai sekali. Rasa penasarannya membawanya mengayunkan langkahnya. Menuruni anak tangga. Tepat di anak tangga ke lima, dia melihat dari kejauhan si kembar-Kean dan Lean berlarian. Sang mommy yang takut anaknya terjatuh pun terus mengikuti ke mana buah hatinya berlari. Balita dua tahun itu tampak tak peduli. Terus berlarian bercanda. Di sana tidak hanya ada kakaknya-Freya. Ada Mommy Shea juga di sana. Duduk memerhatikan cucunya yang berlarian.“Pagi,” sapa Cia ketika sampai di anak tangga terakhir. “Pagi, Sayang,” sapa Mommy Shea lembut. “Sini.” Mama Chika melambaikan tangan-memberikan isyarat untuk Cia duduk di sebelahnya. Cia duduk tepat di antara mamanya dan Mommy Shea. Sang papa d
Pulang kerja Papa Felix sibuk di dapur. Setelah tadi menanyakan pada istrinya apa saja yang dimakan Cia, dia langsung bergegas membuatkan salad buah untuk Cia. Mama Chika yang melihat suaminya heboh hanya bisa menggeleng saja. “Ini, cepat makan!” ucap Papa Felix memberikan mangkuk yang berisi salad buah. Cia mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan sikap papanya itu. “Aku baru saja makan jeruk, Pa,” jawabnya. “Katanya orang hamil itu lapar, jadi kamu harus sedikit-sedikit makan.” Papa Felix kembali menyodorkan mangkuk yang berisi salad. Cia menoleh ke arah mamanya. Meminta bantuan untuk menjawab papanya. Sayangnya, mamanya hanya menaikkan bahunya sedikit. Tidak bisa menjawab. Cia pun tersenyum. Sadar jika sebenarnya papanya hanya ingin memberikan yang terbaik. “Terima kasih,” jawabnya seraya menerima mangkuk. Dengan lahap dia memakannya. Tak mau mengecewakan. Cia memakannya sampai habis. Selain karena untuk menghargai, alasan