El memegangi bahu Freya. Saat istrinya menatapnya, dia memberikan isyarat untuk tidak menekan Cia. Dalam waktu ini, Cia adalah orang yang paling terluka. Jika orang-orang dekatnya ikut menekan, pastinya akan membuat mentalnya lebih hancur.
Freya pun langsung memeluk adiknya. Merasa bersalah dengan apa yang baru saja dilakukannya. Cia pun hanya bisa menangis di dalam pelukan kakaknya. Kali ini dia tidak bisa memaksa Cia untuk menceritakan lebih dalam lagi dengan apa yang terjadi padanya. Memilih membiarkan Cia lebih tenang dulu. El menatap Bian dengan tajam. Dia berdiri dan keluar dari kamar Cia. Bian tahu jika kakaknya memberikan isyarat dari sorot matanya untuk ikut dia keluar. Akhirnya, dia pun mengikuti sang kakak keluar dari kamar. “Bagaimana bisa kamu tidak tahu jika Cia hamil?” El langsung melayangkan pertanyaan tajam padanya. “Aku benar-benar tidak tahu, Kak.” Memang itu yang terjadi. Dia memang tidak tahu sama sekali. “Aku memintamu menjaganya, Bi. Kenapa bisa kamu melepas pengawasannya.” El menaikkan suaranya. Dia terlampau kesal karena keadaan yang terjadi. “Kak Cia bukan anak kecil. Aku sudah berusaha menjaganya selama ini dan jika dia hamil, itu di luar kendaliku.” Bian pun membalas suara kakaknya dengan tinggi. Sama emosinya dengan kakaknya. “Apa Kak El pikir aku tidak terluka melihat Kak Cia seperti ini? Aku merasa gagal menjaganya karena dia selama ini bersamaku.”El menyadari salah jika dia menyalahkan adiknya. Karena pastinya adiknya sudah berusaha menjaga Cia dengan baik. “Maafkan aku,” ucapnya menyadari kesalahannya. “Aku tahu Kak El kesal, tetapi semua sudah terjadi. Sekarang kita harus mencari pria yang menghamili Kak Cia.” “Iya, kita harus mencarinya.” El mengembuskan napasnya. Berusaha tenang menghadapi ini semua. Tak bisa menyalahkan siapa-siapa atas kejadian ini. Apalagi melihat Cia begitu terluka. Di kamar Freya membelai lembut adiknya. Melihat sang adiknya yang begitu terluka, membuat Freya merasakan luka yang dialami oleh adiknya. Apalagi keadaan sang adik begitu lemah. Dari matanya yang sembab, dia menyadari jika adiknya hanya menangi beberapa hari ini. Freya keluar dari kamar saat melihat Freya sudah tidur. Bergabung dengan suami dan adik iparnya. Duduk di sofa, Freya menyandarkan tubuhnya. Bingung dengan situasi ini. “Bagaimana jika mama dan papa tahu? Pasti mereka akan terluka.” Freya kembali menangis. Orang yang terluka setelah Cia sendiri adalah orang tuanya. Hal itu tak bisa Freya bayangkan. “Tenanglah. Kita akan temukan pria itu dan memintanya bertanggung jawab.” El membawa istrinya ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan istrinya. Freya mengangguk. Membenarkan ucapan suaminya. Dia harus menemukan pria itu. Maka paling tidak dapat mengurangi kecewa kedua orang tuanya. ***Freya masuk ke kamar Cia dengan membawa semangkuk bubur yang dibuatnya. Bian bilang Cia belum makan sedari tadi pagi. “Bangun dan makanlah,” pinta Freya seraya menggoyangkan tubuh adiknya. “Aku tidak mau makan,” elak Cia. Mendengar jawaban adiknya, Cia begitu gemas. “Saat kita menjadi orang tua hal pertama yang dipikirkan adalah anak. Jadi mulai sekarang berpikirlah hal itu karena kamu akan menjadi orang tua.” “Tapi, aku tidak mau, aku tidak mau jadi orang tua, aku tidak mau punya anak dari orang yang aku saja tidak tahu.” Cia menangis, tetapi air matanya seolah kering, hingga yang keluar hanya sebuah isakan saja.Suara Cia yang berteriak mengundang El dan Bian masuk ke kamar. Mereka ingin melihat apa yang terjadi. Dahi Freya berkerut dalam. Mencerna ucapan adiknya. “Apa maksudmu, kamu tidak tahu siapa ayah dari bayi yang kamu kandung?”“Iya, aku tidak tahu siapa pria yang menghamili aku. Waktu itu aku mabuk dan tidak tahu pulang dengan siapa. Saat aku bangun, aku berada di hotel dan ….” Cia tak kuasa menceritakan kejadian itu. Merasa benar-benar sakit sekali harus mengorek luka lamanya. Freya, El, dan Bian begitu terkejut dengan cerita yang keluar dari mulut Freya. Merasa hal itu benar-benar di luar dugaan mereka. Padahal mereka baru saja ingin mencari pria yang menghamili Cia, tetapi kini tidak ada harapan karena ternyata pria itu tidak diketahui. Freya membawa Cia ke dalam pelukannya. Dia bisa merasakan bagaimana perasaan adiknya. Hamil dan tidak tahu siapa orang yang menghamilinya, pastinya sangat membuatnya tertekan. “Sekali pun kamu tidak suka dan tidak mau dengan anak ini, kamu harus tetap menerimanya, karena sekarang dia berada di rahimmu.” Freya mencoba meyakinkan adiknya. Melepaskan pelukan, dia memandang wajah cantik yang kini tertutup dengan kesedihan itu. “Jika ayahnya saja tidak tahu di mana keberadaannya. Berarti dia hanya punya ibunya.” Freya menarik tangan adiknya untuk memegangi perutnya. Cia yang memegangi perutnya, mengingat bagaimana jahatnya dirinya pada anaknya sendiri. Membenarkan ucapan kakaknya, jika anaknya hanya punya dirinya saja. “Apa kamu tega menyiksanya dengan tidak memberikannya makan. Jadi sekarang makanlah.” Freya kembali mengambil bubur yang sempat diletakkannya di nakas. Kemudian menyuapinya. Ciaa sudah melakukan kesalahan. Tak mau membuat kesalahan lagi dengan menyiksa bayi yang tak berdosa yang hadir di rahimnya. Dengan tidak mau makan, berarti dia sudah menyiksa anaknya. Cia pun membuka mulutnya. Menerima kakaknya yang menyuapinya. Freya lega adiknya mau menerima makanan yang diberikannya. Paling tidak, adiknya punya tenaga lebih dulu. El dan Bian yang berada di kamar hanya bisa terdiam. Mereka yang mendengar pembicaraan Freya dan Cia, merasa bingung. Karena kini mereka tidak bisa mencari pria yang menghamili Cia. Mereka berdua keluar untuk memikirkan jalan keluar dari masalah yang ada. “Bagaimana ini, Kak, jika kita tidak tahu siapa pria itu, bagaimana bisa kita memintanya untuk bertanggung jawab?”El mengusap wajahnya. Dia pun juga bingung bagaimana caranya untuk menyelesaikan semua masalah ini. Kepalanya seketika merasa pusing memikirkan jalan keluarnya. “CCTV.” Seketika itu yang terlintas di pikirannya. “Maksud Kak El?” tanya Bian yang bingung. “Kita bisa mengecek CCTV untuk mengetahui siapa pria yang membawa Cia ke hotel.” “Iya, benar. Kita bisa cari pria itu dari CCTV.” Bia membenarkan ucapan kakaknya. “Kita tunggu dulu Cia tenang dan menceritakan hotel mana yang didatangi dengan pria itu.” Dalam keadaan adik iparnya yang masih begitu terpukul, memang tidak bisa terlalu buru-buru. Semua harus pelan-pelan agar tidak membuat Cia semakin tertekan.Bian mengangguk. Setuju dengan ide kakaknya. Setelah menyuapi adiknya, Freya keluar. El memberitahu bagaimana cara untuk mengetahui pria mana yang melakukan hal itu. Dia meminta istrinya untuk menanyakan pada Cia, hotel mana yang didatanginya waktu itu. Freya pun setuju. Akan menanyakan hotel tempat kejadian, setelah Cia jauh lebih tenang..Cia masih sangat terpukul dengan apa yang terjadi padanya. Freya yang ingin mengorek lebih dalam, kesulitan dalam hal ini. El hanya bisa pasrah menunggu karena dia tidak akan dapat memulai usaha pencarian jika Cia tidak mengatakannya.“Aku akan pergi ke tempat Noah. Kabari jika kamu sudah dapatkan hotel mana yang ditempati Cia waktu itu.” El mendaratkan kecupan di dahi Freya. Dari sejak datang ke London, El belum bertemu dengan Noah. Dia pun sama ingin sekali memukul temannya itu karena tidak menjaga adiknya dengan baik. “Baiklah, aku kabari jika Cia mau menceritakan di mana hotel tempatnya dulu menginap.” Sejauh ini Freya masih mengali informasi pelan-pelan. Tak mau terlalu memaksakan karena takut Cia kembali terpuruk. Untuk saat ini Cia sudah mau makan dan mulaimendengarkannya. Jadi tidak mau Freya kembali membangkitkan ingatan Cia yang buruk.El pergi dengan menaiki bus menuju ke kantor Noah. Sepanjang jalan, dia memikirkan bag
Belum banyak yang berubah dari Cia. Dia masih diam dan sesekali menangis. Freya berusaha keras menenangkan. Sesekali menyelipkan dukungan jika kini Cia akan memiliki anak. Bujuk rayu Freya pun berhasil membuat Cia mau makan. Namun, tidak mengubah kesedihan yang dirasakannya. “Menjadi ibu adalah hal yang paling membahagiakan. Terlepas apa yang terjadi pada orang tua mereka. Mereka lahir dengan keadaan suci. Tanpa dosa sama sekali,” ucap Freya di sela-sela Cia makan. “Jika mereka bisa memilih, mereka akan memilih dilahirkan di rahim ibu yang mau menerima mereka dengan suka cita. Bukan mereka yang menolak kehadiran mereka.” Cia terdiam sambil menunduk. Kalimat itu terdengar seperti kalimat sindiran yang dilontarkan sang kakak. Karena selama ini, dia tidak mau anak yang dikandungnya.“Jika semua calon ibu menerima dengan lapang anak yang dikandungnya, terlepas apa yang terjadi. Aku rasa tidak akan ada wanita yang menggugurkan an
El dan Noah sampai di rumah. Rumah tampak sepi. Tak ada seseorang pun di rumah. Mereka tahu ke mana orang-orang itu pergi. Bian sedang di kampus, sedangkan Freya menemani Cia di kamar. “Mau soda?” tanya El.“Boleh.” Noah menatap sejenak pada El dan kembali menatap di mana kamar Cia berada. Sambil mendudukkan tubuhnya, pandangannya tak teralih sama sekali. “Ini.” El memberikan minuman soda pada Noah. Noah menerima minuman dan membukanya. Walaupun tadi sempat minum, tetapi tenggorokannya masih terasa haus. Satu kaleng soda langsung habis saat Noah meminumnya. “Sepertinya kamu haus.” “Biasanya musim gugur tidak akan sepanas ini. Namun, entah kenapa terasa panas.” El hanya tersenyum melihat temannya. “Kalian sudah kembali.” Suara Freya terdengar saat keluar dari kamar. Dia bergegas menghampiri suaminya. Tangannya yang langsung melepas gagang pintu, membuat pintu tidak s
Malam ini El dan Freya bersiap membawa Cia untuk pulang ke Indonesia. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan anak-anak mereka lama-lama. Lagi pula, lebih aman jika Cia berada di dekat keluarganya. “Tidak mungkin kita membawa Cia pulang langsung ke rumah mama dan papa.” Freya sadar harus menjelaskan pelan-pelan pada papanya. “Sementara Cia akan tinggal di rumah kita, sampai kita bisa menjelaskan pelan-pelan pada papa.” El harus mencari waktu yang pas untuk mengatakan pada mertuanya itu. Freya mengangguk. Merasa apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Jika rumahnya yang paling aman dari pada tempat lain. “Aku masih heran melihat Noah yang tiba-tiba ingin bertanggung jawab.” Sampai detik ini, Freya masih memikirkan hal itu. El tersenyum. Kemarin, setelah kejadian di mana Noah menawarkan diri, dia masih menyempatkan diri mengobrol dengan temannya itu. “Apa yang membuatmu ingin menawarkan diri? Bu
Daddy Bryan yang melihat temannya sebegitu terluka hanya bisa terdiam. Netranya menatap sang istri yang sedang duduk menenangkan temannya. Kejadian Cia sama dengan sang istri. Dia membayangkan jika mungkin orang tua istrinya itu ada, mungkin sama terlukanya dengan temannya saat ini. Ada sedikit terbesit penyesalan di hatinya. Namun, beruntungnya semua sudah terbayar dengan kebahagiaan keluarga mereka.“Sabar. Kamu harus kuat. Jika kamu saja lemah, apa jadinya Cia? Dia butuh dukungan.” Daddy Bryan membelai bahu temannya. Mencoba menenangkan. Felix yang menangis, menghapus air matanya. Anaknya mungkin lebih butuh dirinya. Apalagi sampai sang anak tidak berani pulang untuk menemuinya. Pastinya anaknya takut jika mama dan papanya marah.“Kamu harus kuat. Jangan tinggalkan dia sendiri.” Mommy Shea menatap temannya. Dia tahu bagaimana rasanya dulu sendirian. Tak ada tumpuan untuknya bersandar. Apalagi saat hamil. Mama Chika menatap
Pagi ini, Cia berniat untuk memeriksakan kandungannya ke dokter. Sejak mendapati dirinya hamil, Cia belum pernah memeriksakan kandungannya. Saat keluar samar-samar, dia mendengar suara si kembar-anak dari kakaknya. Suara terdengar ramai sekali. Rasa penasarannya membawanya mengayunkan langkahnya. Menuruni anak tangga. Tepat di anak tangga ke lima, dia melihat dari kejauhan si kembar-Kean dan Lean berlarian. Sang mommy yang takut anaknya terjatuh pun terus mengikuti ke mana buah hatinya berlari. Balita dua tahun itu tampak tak peduli. Terus berlarian bercanda. Di sana tidak hanya ada kakaknya-Freya. Ada Mommy Shea juga di sana. Duduk memerhatikan cucunya yang berlarian.“Pagi,” sapa Cia ketika sampai di anak tangga terakhir. “Pagi, Sayang,” sapa Mommy Shea lembut. “Sini.” Mama Chika melambaikan tangan-memberikan isyarat untuk Cia duduk di sebelahnya. Cia duduk tepat di antara mamanya dan Mommy Shea. Sang papa d
Pulang kerja Papa Felix sibuk di dapur. Setelah tadi menanyakan pada istrinya apa saja yang dimakan Cia, dia langsung bergegas membuatkan salad buah untuk Cia. Mama Chika yang melihat suaminya heboh hanya bisa menggeleng saja. “Ini, cepat makan!” ucap Papa Felix memberikan mangkuk yang berisi salad buah. Cia mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan sikap papanya itu. “Aku baru saja makan jeruk, Pa,” jawabnya. “Katanya orang hamil itu lapar, jadi kamu harus sedikit-sedikit makan.” Papa Felix kembali menyodorkan mangkuk yang berisi salad. Cia menoleh ke arah mamanya. Meminta bantuan untuk menjawab papanya. Sayangnya, mamanya hanya menaikkan bahunya sedikit. Tidak bisa menjawab. Cia pun tersenyum. Sadar jika sebenarnya papanya hanya ingin memberikan yang terbaik. “Terima kasih,” jawabnya seraya menerima mangkuk. Dengan lahap dia memakannya. Tak mau mengecewakan. Cia memakannya sampai habis. Selain karena untuk menghargai, alasan
Selang beberapa saat kedatangan Al dan Shera, akhirnya tamu terakhir datang. Noah datang karena El mengundangnya. Mereka semua menyambutnya dengan hangat. El memperkenalkan Raven pada Noah. Menceritakan jika dia akan membangun mal di perumahannya. “Hai, Cia kita bertemu lagi,” ucap Noah tersenyum ketika meliat Cia. “Memang kalian bertemu di mana?” tanya El yang penasaran. “Kami bertemu di supermarket tadi, Kak,” jelas Cia.Akhirnya setelah mereka saling berbincang, El mengajak semua untuk mulai makan malam. Mereka menikmati makan malam bersama-sama. Saling bercerita dan mengobrol. “Semua masakan ini Cia yang buat,” ucap Freya memamerkan pada semua orang di meja makan. “Wah … ternyata kamu jago memasak,” puji Raven. Dari tadi dia merasakan makanan begitu nikmat dan cocok di lidahnya. “Dia lulusan universitas ‘culinary’ yang bercabang di London, jadi wajar dia pandai memasak,” puji