Freya duduk sendirian di tepian jalan. Malam makin larut tapi Freya tak peduli. Ia merasa sangat hancur. Dan sekarang penampilannya pun sudah sangat lusuh. Pipinya basah oleh air mata. Dress yang ia pakai sudah kusut dan kotor karena Freya duduk begitu saja di jalanan.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan Freya. Lalu seorang pria turun menghampirinya. “Hai nona, kau butuh tumpangan?” tanya pria itu.
“Tidak, pergilah. Aku tidak butuh siapapun.” Jawab Freya lirih.
“Tapi ini sudah hampir larut. Tidak baik seorang gadis sendirian disini.” Jawab pria itu.
“Percayalah padaku, aku akan mengantarmu sampai ke rumah.” Jawab pria itu.
“Kubilang pergi!” seru Freya tanpa memandang laki-laki itu.
"Ayolah nona, aku tidak ingin ada sesuatu yang buruk terjadi padamu." ucap pria itu.
"Apa kau ini tidak mengerti bahasa manusia?" ucap Freya.
"Apa kau tidak paham aku menyuruhmu pergi sejak tadi?"
"Aku hanya menawarkan pertolongan." jawab pria itu.
Freya tak menjawab lagi. Ia terlalu lelah untuk berdebat dengan pria itu. Untuk memandangnya saja, Freya sudah malas. Tak lama pria itu akhirnya pergi meninggalkan Freya sendirian. Freya, ia tak peduli lagi dengan siapapun sekarang. Tiba-tiba ponselnya berdering. Dita meneleponnya. Tapi sekali lagi, Freya tak mempedulikan sahabatnya itu.
Malam semakin dingin. Freya akhirnya memutuskan untuk pulang dengan naik taksi. Tubuhnya terasa sangat lelah. Freya tahu, semua ini karena hatinya yang patah.
Sesampainya Freya di kos, ia langsung berbaring di ranjang. Freya memejamkan matanya. Ia ingin melupakan semua yang terjadi hari ini dan semua yang sudah ia lewati dengan Arga.
“Memang aku yang bodoh.” Ucap Freya.
“Harusnya sejak awal aku mendengarkan Dita.”
“Dan lagipula siapa aku? Aku terlalu berharap bisa bersanding dengan Arga.”
Malam itu Freya tak henti-hentinya memaki dirinya sendiri. Dan malam itu menjadi malam yang merubah dirinya. Sejak saat itu ia sudah tak selembut dulu. Freya menjadi seorang gadis yang keras kepala. Ia tidak ingin ada seseorang yang menyakitinya lagi.
***
Beberapa hari Freya tidak pergi ke kampus. Ini semua dia lakukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia juga menghapus nomor Arga dan semua foto-foto yang pernah ia ambil bersamanya. Berulang kali Dita menelepon Freya. Ia ingin datang untuk menghibur, tapi Freya menolaknya. Ia ingin kuat tanpa bantuan orang lain dan jalan satu-satunya adalah dengan menyendiri sementara waktu.
Empat hari setelah tidak masuk kampus, Freya akhirnya memutuskan untuk berangkat. Ia menata kembali penampilannya yang kacau karena patah hati beberapa hari yang lalu. Matanya masih sedikit sembab, tapi itu bukan masalah untuk Freya.
Sesampainya di kampus, Dita langsung memeluknya dengan erat. “Kau baik-baik saja? Kenapa kau tidak mengizinkanku datang?” tanya Dita.
“Aku baik-baik saja.” Jawab Freya lirih.
“Kau berbohong. Kau tidak baik-baik saja.” Sahut Dita.
“Aku tahu persis apa yang terjadi padamu. Kau tidak bisa membohongi sahabatmu, Frey.”
Freya hanya terdiam lalu duduk di bangkunya seperti biasa. “Aku tidak mau membahas hal itu lagi.” Kata Freya dengan nada dingin.
“Aku ingin menyelesaikan ini semua.”
Meski tak terlalu paham dengan maksud Freya, Dita akhirnya memilih untuk diam. Ia tahu sahabatnya itu butuh waktu sendiri.
Di hari itu, Freya tak banyak bicara. Termasuk pada sahabatnya. Freya juga memilih untuk langsung pergi ke perpustakaan setelah kelas. Ia tahu Dita ingin mengajaknya berbicara, tapi kali ini Freya sedang tak ingin bicara pada siapapun.
***
“Sial.” Batin Freya.
Langkah Freya terhenti saat melihat Arga dan teman-temannya berkumpul di lorong menuju perpustakaan. Awalnya Freya berniat untuk berbalik, tapi ia ingat janjinya pada diri sendiri. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Arga. Maka setelah itu, Freya memberanikan diri untuk melangkah menuju ke gerombolan para pria itu.
“Hey,hey, bukankah itu bonekamu?” ucap seorang pria.
Arga menoleh lalu tertawa keras. “Hai sayang, sudah lama aku tidak melihatmu. Apa karena aku sudah berpacaran dengan Viona?” ucap Arga dengan sombong.
Freya berhenti tepat di depan Arga. Ia menatap pria sialan itu dengan tajam.
“Kau tidak mungkin mencintaiku kan?” ucap Arga dengan nada menghina.
“Aku menyukaimu.” Sahut Freya.
“Tapi itu dulu.”
“Wah wah, tidak kusangka kau juga ternyata menyukaiku.” Ucap Arga.
“Tapi kau harus sadar diri. Kau ini siapa?”
“Apa kau tidak punya kaca di rumahmu? Aku akan membelikannya kalau kau tidak punya uang untuk membelinya.”
“Sadarlah, kau ini bukan tipeku. Kau sama sekali tidak menarik. Kau terlalu naif, kau bodoh.”
"Aku tidak mungkin menyukai gadis sepertimu. Kau sama sekali bukan seleraku."
"Kalau bukan karena aku ingin mempermainkanmu, aku tidak akan pernah bicara denganmu."
"Aku juga tidak akan pernah menerima makanan sampah darimu. Kalau kau mau tahu, aku tidak pernah makan makanan itu. Setelah kau berbalik dan pergi, aku membuangnya." lanjut Arga dengan sombong.
“Aku memang bodoh karena menyukai pria sepertimu.” Jawab Freya.
“Kau tahu, seorang gadis harusnya cantik dan menarik. Tapi lihat dirimu? Binatang saja sepertinya tidak mau denganmu.” Ucap Arga.
Hati Freya seakan mendidih. Sudah cukup Arga mempermainkannya, tapi sekarang pria itu justru mengata-ngatainya di depan teman-teman sialannya. Sekuat tenaga Freya menahan tangisnya, meski matanya sudah terasa panas.
“Pergilah! Dasar tidak berguna.” Ucap Arga lalu tertawa.
Freya melangkah dengan cepat melewati gerombolan pria yang sedang menertawakannya. Hatinya kembali hancur karena hinaan yang Arga berikan.
Sampai di perpustakaan, ia langsung mengambil buku dan duduk di sudut favorinya. Kali ini, Freya tak bisa menahan tangisnya. Dadanya terasa sangat sesak. Air matanya menetes membasahi halaman-halaman buku yang ia baca. Ia berharap bisa cepat pergi dari kampus itu. Pergi untuk melupakan kenangan buruk yang ia alami. Pergi agar ia tak bertemu pria sialan yang menghancurkan hatinya.
Setelah wisuda, Freya berusaha mencari pekerjaan yang layak untuknya. Ia terpaksa berpisah dengan sahabatnya untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Freya pindah ke sebuah tempat di pinggiran kota. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan kecil disana. Lagi-lagi Freya tinggal di kamar kos yang sempit dengan perabotan seadanya. Tidak jauh beda dengan kamar kosnya yang dahulu. Freya sadar, ia tidak seberuntung orang lain. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membangun bisnis sendiri atau melanjutkan kuliah. Yang Freya tahu ia hanya harus bekerja. Setiap hari ia berjalan mencari-cari lowongan pekerjaan. Satu demi satu lamaran pekerjaan ia sampaikan di gedung-gedung perusahaan kecil. Sayangnya, setelah menunggu dua minggu belum ada satupun perusahaan yang memanggilny
“Terimakasih.” Ucap Freya.David kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa gadis itu terasa menarik bagi Freya. Dan memang benar, dialah yang membuat David bertahan di tempat makan menjijikan seperti tadi. Entah apakah tempat itu pantas untuk disebut tempat makan. David yakin ada yang berbeda dengan gadis itu. Kalau tidak, tidak mungkin David mau membawa gadis itu pergi. “Frey, bagaimana jika kau berangkat bersamaku besok?” tanya David. “Hmm sebelumnya, aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kupikir, itu akan menghemat uangmu bukan?”
David berjalan dengan gelisah di ruangannya. Sudah pukul setengah sepuluh, tapi sosok Freya belum juga muncul. “Sudah terlambat tiga puluh menit, kenapa dia tidak datang?” ucap David.“Apa dia tidak mempercayaiku?” “Arrgghhh!” Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Krisna masuk dengan santainya ke ruangan itu. “Ada apa? Kau terlihat gelisah.” Ucap Krisna.‘Aku sedang menunggu seseorang.” Jawab David.
Krisna membuka pintu ruangan David. Ia begitu terkejut melihat sosok wanita yang duduk di ruangan itu. “Freya?” ucap Krisna.“Kris, hai!” seru Freya dengan gembira.“Kau bekerja disini?” Krisna mengangguk. “Dan kau tahu apa yang lebih istimewa? Dita juga bekerja disini.” Kata Krisna. Freya berteriak gembira. Ia sama sekali tak tahu kalau sahabatnya itu berada di kantor yang sama dengannya. “Benarkah?” ucap Freya.“Kalian saling kenal?
Dita melangkah bersama kekasihnya untuk kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. “Rasanya sedikit aneh.” Ucap Dita.‘Sejak kapan ada lowongan untuk menjadi asisten David?” “Setahuku tidak ada lowongan kerja di posisi itu selama ini.” “Memang benar.” Kata Krisna.“Lagipula, untuk apa David butuh asisten? Sepertinya dia lebih nyaman bekerja sendirian.” Jawab Dita. “Apa ada sesuatu antara mereka?” “Tapi kelihatannya Frey
Krisna cepat-cepat menghampiri Dita dan Freya yang sudah menunggunya. “Aku tidak bisa mengantar kalian pulang kali ini. Aku ada urusan mendadak.” Ucap Krisna. “Baiklah kalau begitu.” Ucap Freya. Dita masih terdiam sambil memasang wajah cemberutnya. “Kau bilang mau membelikanku es krim.” Gerutunya. “Besok pasti akan kubelikan. Tapi kali ini aku minta maaf sekali, aku tidak bisa mengantarmu pulang.” Ucap Krisna.
“Dit, besok bantu aku mencari tempat baru ya.” Ucap Freya. “Iya Frey, kau tenang saja tidak perlu buru-buru. Kalau besok belum dapat, kau bisa tinggal denganku dulu.” Jawab Dita. “Aku tidak mau terlalu lama merepotkanmu.” Jawab Freya.“Ck, kau ini.” Gumam Dita. “Kita kan sudah lama bersahabat,
Freya kembali dengan membawa beberapa bungkus roti. Ia lalu duduk di samping ranjang David. Freya melihat David yang sedang tidur. Ia tak bisa berbohong, pria itu terlihat tampan bagi Freya. Tapi, ia tak mau berharap banyak dari pria itu. Apalagi terlalu banyak perbedaan antara mereka. “Pasti akan sulit sekali kalau sampai aku menyukainya.” Batin Freya sambil tersenyum tipis. “Mungkin seperti pungguk merindukan bulan.” “Kenapa kau senyum-senyum?&