Hati Yahya mulai kebas, dia abaikan pesan dari anak perempuannya itu, dengan kembali fokus pada barang yang akan dia bawa. Paling Tari akan marah nanti. Membentak atau mengatai banyak kalimat menyakitkan hatinya. Sudah biasa. Dan bukankah dia akan pergi sekarang seperti keinginan putrinya itu? Jadi tidak perlu ditanggapi. Karena saat Tari pulang kerja nanti, dia tidak akan melihat Yahya lagi di rumah itu. Sesuai keinginannya.
Ting! Satu lagi pesan masuk, namun Yahya tetap abai, dia masih yakin kalau itu dari Tari, yang pasti marah merasa diabaikan pesannya."Terserah, Tari. Kamu mau marah atau bagaimana juga. Bapak capek," gumam Yahya tak melihat sama sekali ponselnya.Namun tak berselang lama, justru suara dering ponselnya yang meminta perhatian kemudian. Yahya menghela napas lelah, dia masih mengira kalau Tari yang kini menghubunginya karena pesannya dia abaikan.Namun ternyata dia salah, nama Ganjar yang muncul di layar sebagai si penelpon.Dengan cepat dia pun segera menjawab."Iya, Jar?" tanya Yahya."Ganjar kirim pesan barusan, tapi akang nggak nanggapin," kata Ganjar sedikit kesal."Maaf, akang barusan lagi beresin baju. Kenapa, Jar? Kamu sudah mau berangkat kan?" jelas Yahya jujur, meski dia memang sengaja mengabaikan pesan masuk yang dikira dari Tari tadi."Oh, ya udah. Ganjar tadi sudah menghubungi teh Tini, dia nggak keberatan katanya, Fitri juga bahkan menawarkan kalau akang mau tinggal bareng kami juga, ayo saja," jelas Ganjar.Yahya tersenyum, ternyata langkahnya diberi kelancaran. Orang-orang yang dia sangka akan menunjukan ketidak sukaan, ternyata kini telah berubah sikap padanya. Karena apa? Yahya tidak mau tahu. Dia hanya yakin, kalau Tuhan - lah yang sudah menggerakkan hati mereka. Termasuk menggerakkan hati Tari anaknya, untuk jadi membencinya. Bukankah semua yang terjadi dalam kehidupan ini, semua atas ridho yang Maha Kuasa?"Alhamdulillah, syukurlah kalau seperti itu, Jar," tanggap Yahya."Iya. Sekarang Ganjar berangkat, Kang. Akang siap-siap, ya?" kata Ganjar sambil berjalan keluar rumah diantar oleh Fitri, istrinya."Iya. Kamu hati-hati di jalan, nanti akang tunggu di dekat mini market," balas Yahya mengatakan di mana adiknya harus menjemput dirinya."Loh, kenapa harus di mini market, Kang? Ganjar jemput ke rumah aja," tanya Ganjar urung menyalakan mesin roda dua kendaraannya."Nggak apa-apa, biar nggak ada yang tahu," balas Yahya."Akang sengaja mau kabur?" tanya Ganjar membuat Fitri bertanya dengan isyarat.Namun Ganjar menggeleng menjawab pertanyaan tak terucap istrinya."Nggak dibilang kabur juga. Sudahlah, pokoknya akang tungguin kamu di saat saja nanti," tegas Yahya."Baiklah kalau begitu." Ganjar pun langsung menyalakan mesin motornya, lalu pergi meninggalkan rumahnya.Yahya menghitung perjalanan Ganjar dari kampungnya, hingga sampai ke kampung Ratna. Kalau lancar, satu setengah jam kedepan adiknya itu akan sampai. Dia lantas menghembuskan napas panjang, menghitung waktu yang tersisa bisa berada di rumah miliknya sendiri, tapi harus pergi karena diusir anaknya.Yahya menutup pintu kamarnya setelah mengemas barang miliknya, lalu mengunci pintu kamar itu, dan menyimpan kuncinya dalam tas.Rumah itu sangat sepi, hanya detak jarum jam yang mengisi keheningan, juga lamat suara ayam jago yang berkokok milik tetangga yang terdengar. Sesekali, suara sepeda motor yang melintasi depan rumahnya, menjadi penyumbang kebisingan lainnya.Menyeret langkahnya yang tertatih dengan dibantu tongkat, Yahya menuju kamar Zaki. Diambilnya buku tulis milik Zaki, pas bagian belakang yang kosong, dia mencoretkan cacatan hati untuk anak keduanya itu. Kata salam perpisahan, juga jangan sampai Zaki mencemaskan dirinya.[Zaki, anak solehnya bapak. Bapak pergi dulu ya, Nak?! Jangan khawatir dengan bapak, bapak akan baik-baik saja. Sekolah yang bener, tinggal sebentar lagi. Setelah lulus, nanti bapak akan menghubungi Zaki lagi. Jangan tanya bapak tinggal di mana, yang penting bapak aman sampai nanti Zaki datang menemui bapak. Sehat-sehat ya, Nak? Jangan banyak pikiran. Bapak pergi. Bapak sangat sayang sama Zaki. Nurut sama tetehmu, dia yang membiayai sekolahmu sekarang.]Tes! Air mata Yahya jatuh ke kertas yang tengah ditulisnya. Tak ingin membuang waktu lama, dia pun bergegas keluar dari kamar Zaki, setelah menyimpan buku itu di atas tempat tidur.'Selamat tinggal.'Batin Yahya sambil melihat ke arah pintu kamar Tari. Di dalam sana sang menantu 'kebanggaan' tengah tidur mengganti waktunya yang semalam dipakai bekerja.Yahya berjalan dengan kesukaran, dia sedikit ragu saat akan melewati rumah Yati, tak ingin aksi 'melarikan dirinya' itu terpergok oleh kakak dari Ratna tersebut. Bisa gagal kepergian dia, kalau Yati sampai tahu.Beruntung Dewi fortuna sedang berpihak padanya, hingga langkah kakinya yang tertatih berhasil melewati ujung pagar rumah milik Yati, tak terdengar panggilan dari wanita tersebut memergoki dirinya.Namun baru saja Yahya bisa menghembuskan napas lega, satu panggilan membuat jantungnya seakan akan melompat."Loh, Mang Yahya?! Mang Yahya mau kemana?" ujar seseorang lalu mensejajari langkah Yahya, dia heran melihat Yahya membawa tas dengan kesusahan. Yahya menoleh cepat, lalu sedikit merasa lega saat yang bertanya itu adalah tetangganya. "Eh, Pak wawan, ini mau ke depan," balas Yahya dengan masih mencoba mempercepat langkahnya, tak ingin suara Wawan yang bertanya padanya, terdengar oleh Yati karena dia masih terlalu dekat dengan rumah iparnya itu. "Kenapa bawa tas segala? Memang
Air mata Yahya semakin mengering, bersamaan dengan semakin jauhnya Ganjar membawa raganya pergi. Satu jam terlewati, hingga mereka kini sudah memasuki kota kabupaten tempat kelahiran Yahya. Menepuk pundak sang adik, Yahya mengingatkan Ganjar untuk mampir dulu ke toko emas, tempatnya membeli cincin kawin berpuluh tahun yang lalu."Jar, ke Toko Emas Bintang dulu," ingatnya sambil awas mengawasi keramaian suasana kota kelahirannya."Yakin mau dijual, Kang?" tanya Ganjar memelankan laju kendaraan roda duanya."Iya, Jar. Akang butuh duit," jawab Yahya tanpa keraguan."Jangan sampai nyesel nanti, kan itu cincin kenangan," ujar Ganjar membelokkan motornya begitu sampai di toko emas yang dimaksud Yahya."Kenangan akan tetap ada di hati, Jar," elak Yahya mencoba menguatkan hati."Terserah Akang, Ganjar hanya mengingatkan, jangan sampai setelah dijual malah Akang menyesal nanti," balas Ganjar lalu menghentikan motornya tepat di depan toko perhiasan yang lumayan ramai pengunjungnya itu."Mau Aka
"Tari lelah, Pak! Setiap hari harus kerja, belum ngurus bapak yang sakit, belum lagi biaya buat si Zaki sekolah. Udah capek badan, uang gaji habis pula. Mending bapak pergi saja dari sini. Ikut si mbah, kek. Atau siapalah itu. Yang penting jangan di rumah ini saja. Capek!" omel Tari sambil menyimpan kasar piring plastik berisi sarapan Yahya, ada setengah piring nasi putih dengan dua potong tempe goreng di sana.Wajah masam Tari bukan sekali ini saja ditunjukan pada Bapaknya, sejak sebulan menikah dengan Badar, sikap putri sulung Yahya dan almarhum Ratna itu memang berubah. Sangat berubah bahkan. Selalu marah saat berbicara dengan bapaknya, memaki, mengomel, seakan lelaki yang baru bisa bangun lagi setelah empat tahun terbaring karena stroke, tak pernah memanjakan dia dengan segala kemewahan. Meski bukan seorang kaya raya, Yahya selalu berusaha mementingkan kebutuhan anak gadisnya saat dia bugar dulu. Handphone terbaru, motor matic terbaru, baju, dan semua perintilan khas anak gadis
"Teh, dia Bapak kita! Bapakmu!" pekik Zaki yang kembali emosi. "Memang siapa bilang dia bukan bapakku? Aku hanya meminta dia pergi dari sini, karena aku sudah capek mengurusnya!" bentak Tari dengan kencang. "Iya, tapi mau kemana bapak pergi, Teh? Ini rumah Bapak!" Zaki masih mencoba menyadarkan kakaknya, apalagi melihat Yahya menghapus air matanya diam-diam, hati Zaki sakit sekali. "Terserah! Yang penting bukan di rumah ini. Kamu juga, kalau kamu mau pergi bareng bapak dari sini, ya silakan! Makin berkurang beban Teteh nanti," pungkas Tari dengan senyum meremehkan, dia lantas berbalik melanjutkan langkah menuju ke kamarnya. Dia harus bekerja, jangan sampai karena mengurus dua lelaki yang hanya bisa meminta uangnya, dia harus terlambat masuk bekerja dan mendapat surat peringatan. Perusahaan tempatnya bekerja, saat ini tengah sangat ketat menerapkan aturan, surat peringatan akan mudah sekali diberikan pada karyawan, meskipun hanya terlambat beberapa menit saja. Kalau dia sampai dipe
"Te--""Zaki! Sudah!" tahan Yahya saat Zaki akan menumpahkan kekesalan pada kakaknya, tak berselang lama suara deru motor terdengar meninggalkan rumah mereka, pertanda Tari sudah pergi."Keterlaluan dia, Pak! Bahkan motor yang dia pakai sekarang pun adalah motor yang dibeli menggunakannya uang Bapak, rumah ini juga dibangun oleh Bapak, tapi kenapa si brengsek itu malah bersikap seperti itu pada Bapak?!" raung Zaki melepaskan kekesalan dalam dadanya, air matanya berjatuhan, lalu diusapnya kasar dengan lengan bajunya."Zaki! Zaki sadar, Nak. Istighfar! Sudah."Tangan Yahya melambai meminta Zaki yang tengah berdiri penuh kemarahan, mendekat padanya.Zaki menurut dia kembali bersimpuh di depan Yahya. Menangis menyembunyikan wajahnya di pangkuan sang ayah. "Maafkan Zaki, Pak. Sebagai anak laki-laki, Zaki tidak bisa melindungi Bapak, maaf," sesal Zaki sambil menangis. "Tidak, Nak. Kamu hanya belum bisa, bukan tidak bisa. Pergilah sekolah, jemput masa depan kamu, Nak." Yahya mengusap kepal
Sementara Zaki, remaja berusia delapan belas tahun itu seperti biasa mampir ke rumah uwanya, kakak dari almarhum Ratna yang rumahnya terhalang satu rumah lain sebelum berangkat sekolah untuk menitipkan Yahya. "Uwa Yati!" panggil Zaki dari depan pintu pagar dari bambu, terlihat Yati sedang menyapu halaman. Yati menoleh saat mendengar namanya dipanggil. "Zak! Belum berangkat kamu?" balas Yati berjalan mendekat, "tumben masih di rumah? Kesiangan kamu nanti," tambah Yati menatap keponakannya. "Iya, Uwa. Titip bapak, ya?" kata Zaki seperti biasa setiap dia akan pergi meninggalkan Yahya. "Kamu ini, Zak, Zak! Tiap hari nitipin bapakmu terus. Udah jangan khawatir, setelah beres nyapu juga nanti uwa tengokin bapakmu, jangan khawatir!" kata Yati menatap wajah Zaki yang terlihat murung. "Wajah kamu ditekuk gini kenapa?" tanya Yati mengusap tangan Zaki. "Teh Tari bertingkah lagi, Uwa." Zaki menghembuskan napas kasar, pada siapa lagi dia mengadu kalau bukan pada uwanya. "Bertingkah gimana?
"Assalamua'aikum," salam Yati memasuki rumah Yahya yang memang tidak dikunci. Dia langsung menuju ke ruang tengah di mana Yahya biasa duduk di sana saat siang."Wa'alaikumussalam, Teh!" jawab Yahya yang sudah sangat mengenal baik suara kakak satu-satunya Ratna. Ipar yang sangat peduli padanya."Kamu sudah makan, Mang?" tanya Yati menyematkan panggilan Mamang pada Yahya, mengikuti panggilan anak-anaknya pada lelaki itu."Sudah, Teh, sudah minum obat juga," jawab Yahya sebelum Yati bertanya pertanyaan yang sama setiap harinya.Sudah makan? Sudah minum obat? Perlu apa? Dan pertanyaan lain bentuk dari perhatian iparnya itu."Syukurlah, kalau sudah. Teteh ada yang mau ditanyain," kata Yati sambil duduk di kursi yang berjarak lumayan jauh dengan Yahya."Tanya apa, Teh?" tanya Yahya menatap wanita yang beda dua tahun dengan almarhum istrinya itu.Yati juga seorang janda yang ditinggal menikah lagi oleh suaminya, dia berjuang seorang diri membesarkan kedua anak lelakinya sejak dari mereka mas
"Yang nyuruh Yahya pergi bukan Badar, Teh, tapi Tari," ralat Yahya tak ingin menuduh orang tak bersalah. Belum tentu Badar mengetahui kalau Tari mengusirnya, bisa fitnah kan akhirnya?Yahya masih ingin berpikiran baik pada menantunya, meski dia juga sudah merasakan sikap Badar berubah padanya sejak berbulan lalu."Itulah, kamu selalu saja berpikir baik sama orang, tapi orang malah memanfaatkan kebaikan hati kamu itu. Buktinya jelaskan, kamu bahkan sampai dipecat dari pekerjaan karena fitnah dari teman yang kamu anggap baik itu?" racau Yati semakin jauh berkomentar, kejadian lima tahun silam pun tak luput dari bahasannya, kembali diungkit. Masalah yang sekuat tenaga Yahya berusaha lupakan, karena dari sanalah kemalangan hidupnya bermula, satu per satu kebahagiaan juga kesehatan tubuhnya terenggut, dan dia langsung menjadi beban anaknya Tari."Jadi jauh amat bahasannya, Teh?!" Yahya tertawa sumbang."Bukan maksud teteh mengungkit tapi mengingatkan saja, biar kamu tidak lagi dicurangi.