Share

04. Taksi Online

"Hati-hati," pesan Abah ketika Cakra pamit pergi. "Lekas pulang kalau acara sudah selesai."

"Ya."

Abah curiga melihat sopir taksi demikian gagah dan berpenampilan rapi. Agak janggal mengenakan kacamata hitam malam-malam begini.

Barangkali ingin menutupi mata dari pemandangan kampung yang menjemukan. Kebanyakan warga yang duduk-duduk di beranda berusia lanjut.

Sopir itu duduk menunggu dengan sabar di belakang kemudi.

"Perasaanku agak lain sama sopir itu," kata Abah. "Benar kan taksi ini yang di booking Priscillia?"

"Benar," sahut Cakra. "Nomor polisinya cocok dengan nomor yang dikirim."

"Sopirnya membuat Abah ragu."

"Keren banget ya?"

"Jangan-jangan bunian."

Bunian adalah makhluk astral yang suka menampakkan diri dalam paras rupawan. Mereka kadang menjadi bagian dari komunitas manusia dan menjalankan aktivitas sebagaimana biasa. Misinya merayu manusia ikut ke negerinya yang sangat indah sehingga lupa untuk pulang.

"Abah ini ada-ada saja." Cakra tersenyum. "Memangnya sopir taksi tidak boleh ganteng apa?"

"Jarang sekali sopir taksi keren begitu."

"Jarang juga taksi masuk ke kampung kita. Jadi malam ini pengalaman yang sangat berkesan buat aku."

"Kalau ada orang tanya, jangan sekali-kali kamu mengaku Cakra Agusti Bimantara."

"Aku lebih senang mengaku kid slebew," tukas Cakra kecut. "Aku berangkat."

Cakra pergi meninggalkan ayahnya. Membuka pintu taksi dan duduk di sebelah sopir. Ia tidak enak duduk di belakang, kayak juragan besar. Lagi pula, ia bisa mengobrol santai untuk dua jam perjalanan.

"Siap berangkat?" tanya sopir.

"Ya," jawab Cakra singkat.

Taksi melaju meninggalkan halaman dan melintasi jalan kecil perkampungan.

Abah seakan baru sadar. Ia menepuk jidat.

"Aduh, aku lupa mencatat nomornya."

"Hatiku tidak enak," kata Ambu sambil berdiri di beranda memandang kepergian anaknya. "Aku merasa kepergian anak kita untuk waktu yang lama."

"Ambu tidak boleh ngomong begitu," tegur Abah halus. "Anak kita sudah berjanji untuk segera pulang."

"Semoga ia tidak ingkar janji."

"Ia pasti pulang." Abah berjalan menaiki beranda. "Kita siap-siap untuk lomba galah asin."

"Kita kurang satu pemain."

"Ajak tetangga."

Ambu langsung mendelik. "Janda muda itu?"

"Biasa saja ngomongnya."

Sementara itu taksi mulai meninggalkan perkampungan dan menelusuri jalan beraspal di tengah areal persawahan. Purnama mulai menampakkan sinarnya.

"Kamu itu kelewat keren jadi sopir taksi," komentar Cakra. "Ayahku sampai mencurigaimu bunian."

Pengemudi itu tersenyum samar.

Celaka, keluh Cakra dalam hati. Mentang-mentang omongan tidak dibayar, ia malas menjawab. Perjalanan pasti membosankan. Taksi online macam begini bikin kapok. Sopirnya pelit bicara.

Untuk perjalanan yang lumayan jauh, penumpang perlu teman mengobrol, kadang teman curhat. Atau sopir ini benar-benar bunian?

"Kamu pasti menyangka aku bunian," ujar sopir santai. "Karena aku tidak banyak bicara."

Cakra tersenyum. "Aku mencoba maklum, mulutmu tidak di booking oleh Priscillia."

"Aku banyak diam karena aku lagi berpikir. Apa yang menarik pada dirimu selain wajah rupawan sehingga Priscillia rela berkorban untukmu?"

Cakra tertawa geli. "Aku juga tidak tahu apa yang menarik pada diriku."

"Baju yang dipakai itu pacarmu yang beli kan?"

Pertanyaan itu cukup lancang bagi seorang sopir. Cakra bisa melaporkan ke perusahaan taksi. Tapi malam ini adalah milik kebahagiaan.

"Kau berbakat jadi paranormal," senyum Cakra kecut. "Belum setengah jam duduk bersama sudah mencium aroma gratis. Kau juga pasti tahu ukuran sepatu dan celana dalamku."

Sopir taksi tahu kalimat itu adalah bentuk sindiran halus, maka ia buru-buru meluruskan, "Kau pasti menganggapku kurang ajar. Aku ngobrol sama Priscillia biasa ceplas-ceplos."

"Jadi kau sering ngobrol sama Priscillia?" pandang Cakra surprise. "Kalian tetanggaan atau apa?"

"Kami bersahabat semasa kuliah."

"Kok aku tidak tahu ya?"

"Pasti tidak tahu karena kamu jarang sekali datang ke kampusku. Priscillia terus yang berkunjung ke kampusmu."

Mereka sudah cukup lama pacaran, tapi Cakra hanya tahu sedikit kehidupan Priscillia. Mereka banyak bertemu di kafe atau diskotik. Berkunjung ke rumahnya bisa dihitung dengan jari.

"Kalau kalian sahabatan, berarti kau sudah tahu namaku," pancing Cakra.

"Cakra Agusti Bimantara," senyum sopir tipis. "Nama itu cocok dengan penampilanmu saat ini, trah bangsawan."

"Begitu lengkap kau tahu namaku. Apa kau juga begitu lengkap tahu tentang pacarku?"

"Pertanyaan tricky. Tahu apa dulu? Kehidupan atau fisik?"

"Dua-duanya."

"Untuk fisik aku hanya tahu apa yang terlihat."

"Aku juga."

"Jangan kira aku percaya. Empat tahun pacaran bisa memperoleh semua yang diinginkan."

Penganut kehidupan bebas, pikir Cakra tawar. Ucapannya secara tidak langsung membuka kedok sendiri. Tapi itu urusan masing-masing.

"Bagaimana ceritanya baru lulus langsung jadi sopir taksi?" tanya Cakra ingin tahu. "Kepo ya?"

"Sementara menunggu panggilan kerja, kebetulan ada taksi nganggur. Oh ya, sudah ngobrol ke mana-mana aku belum memperkenalkan diri. Namaku Fredy Erlangga."

Erlangga, pikir Cakra terkejut. Nama itu mengingatkan pada orang yang sering disebut orang tuanya.

Cakra bertanya dengan hati-hati, "Erlangga Agusti Bimantara nama ayahmu?"

Fredy tersenyum. "Ayahku lumayan terkenal rupanya."

Mungkinkah orang itu yang dimaksud orang tuanya? Cakra berniat mencari tahu sosoknya dan tidak menyangka mendapat informasi secepat ini. Tapi orang yang bernama Erlangga tentu tidak cuma satu.

"Erlangga yang kukenal adalah eksportir tekstil."

"Ayahku pengusaha tekstil sejak lama. Beliau biasa disebut saudagar. Tapi apa arti sebuah sebutan?"

"Lalu taksi ini?"

"Ayahku belum lama terjun dalam bisnis transportasi."

"Setahuku punya perkebunan kopi juga."

"Betul. Usaha turun-temurun."

Cakra jadi yakin kalau ayah Fredy adalah anak buah kepercayaan Abah yang dititipi harta. Perkebunan kopi adalah bisnis warisan leluhur yang tidak boleh ditinggalkan. Fredy pasti tidak tahu sejarah itu, kecuali ayahnya bercerita.

"Kau pernah dengar nama Dwipa Agusti Bimantara?" tanya Cakra.

"Tidak."

"Citraresmi?"

"Siapa mereka?"

Berarti Erlangga tidak pernah bercerita tentang asal usul kekayaannya. Barangkali Abah minta dirahasiakan untuk menghapus jejak masa lalu.

"Mereka orang tuamu?" tanya Fredy penasaran.

"Buat apa kau tahu kalau tidak pernah dengar?"

"Aku sedikit heran, di antara kita ada kesamaan nama. Apa kita satu klan?"

"Kira-kira pantas tidak? Kamu keluarga bangsawan, aku keluarga bangpakwan!"

Cakra merasa tiada orang yang paling beruntung di dunia selain Erlangga, mendapatkan harta dan gelar kehormatan secara cuma-cuma. Apakah ia tahu malam ini bakal kehilangan puteranya?

Taksi melaju kencang memasuki kawasan hutan yang sepi. Di sepanjang jalan tidak terdapat perkampungan. Saung jerami untuk musafir beristirahat saja tidak ada.

Hutan ini terkenal angker. Penduduk menyebutnya hutan bunian. Kendaraan yang lewat sering diberhentikan lelaki atau perempuan dengan paras rupawan. Mereka cari tumpangan ke kota atau menghilang begitu saja di ujung hutan.

"Kalau ada perempuan cantik cari tumpangan, bagaimana?" tanya Fredy. "Kita tabrak atau dirudapaksa?"

"Jadi kau percaya dengan cerita orang kampung? Malam Jumat kliwon, pada bulan purnama, di sepanjang jalan ini ramai oleh bunian yang mencari manusia yang disukai, kemudian dibawa ke negerinya dan tidak ingat pulang."

"Takut?"

"Kau bertanya pada orang yang salah."

"Malam ini adalah malam penjemputan."

Cakra terperangah. Jadi Fredy tahu mitos itu? Ayahnya pasti bercerita!

Ia pura-pura bertanya, "Maksudnya?"

"Malam ini aku akan dijemput utusan dari kerajaan Nusa Kencana. Aku berharap tidak dijemput di hutan ini. Kasihan kamu harus nyetir sendiri."

"Kau kelihatannya senang dijemput."

"Aku dijemput untuk memenuhi perjanjian leluhur, menikah dengan puteri mahkota. Siapa yang tidak senang jadi pangeran?"

"Meski hidup di dimensi lain?"

"Sejak dewasa aku berfantasi bisa hidup di dunia berbeda, meski jadi budak nafsu. Namanya puteri kerajaan pasti sangat rupawan."

"Kau tidak bisa pulang selamanya."

"Bukan tidak bisa pulang tapi tidak ingat pulang, karena Nusa Kencana sangat indah sehingga melenakan."

"Latar belakang kita berbeda, jadi berpengaruh pada prinsip. Seindah-indahnya negeri mereka, aku lebih suka tinggal di negeri manusia."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Naylasyafira
ini jaka atay cakra
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status